"Lo dari dulu ga berubah" Lee Heeseung terkekeh disela ucapannya. Menghela napas setelahnya, ia mengulas senyum. Heeseung tahu, pasti ada sesuatu yang mengganjal ketika Seeun tiba-tiba mengajaknya berbicara. Ia sudah menduga ini. Pria itu benar benar menahan amarah ketika mendengar tawaran Seeun.
"Gue nggak mau ngomong kasar, karena lo cewek. Tapi, gue harap lo cepet sadar sama perbuatan lo dari dulu"
Seeun terdiam untuk beberapa saat lantas tertawa kecil. "Lihat si paling pengalah ini" Ujarnya, kemudian maju satu langkah untuk menepuk sebelah bahu pria didepannya.
"Gue cuma nawarin, bukan minta pendapat dari lo, Lee Heeseung. Tenang aja, tawaran itu masih berlaku sampai kapanpun, hubungi gue kalau lo udah siap" Lanjutnya, melipat tangan didepan dada, gadis itu memiringkan kepala.
"By the way, gue kasihan sama Karina. Ckck, gadis malang itu. Dia gatau kalau lagi di bodohin kalian, dia gatau kalau cuma lo jadiin pelampias–"
"Stop it" Sela Heeseung. Tatapan pria itu berubah dingin. "Cukup sampai sini. Lo yang gatau apa apa. Gue duluan" Lanjutnya, melenggang pergi meninggalkan Seeun yang tersenyum kecut.
"Hubungi gue secepatnya, Lee Heeseung-sshi" Teriak Seeun ketika Heeseung belum belum benar jauh dari pandangan.
☆☆☆
Jina masih berada di dapur dengan tangan yang sibuk mengaduk teh jahe yang ia buat untuk dirinya sendiri. Ia menyuruh Jake untuk kembali terlebih dahulu sedangkan dirinya memilih membuat teh untuk meredakan pusingnya. Kepalanya benar benar penuh akan banyak hal. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk tidak terlalu memikirkan perkataan nenek.
"Maaf nona, nanti teh nya dingin kalau tidak segera di minum"
Jina mengerjap ketika mendengar suara maid yang sejak tadi menemaninya di dapur. Ah, sudah berapa menit ya? Pasti Jake sebentar lagi akan menyusulnya.
"A-ah, iya. Aku nungguin biar agak dingin" Jawab Jina kemudian mulai meneguk teh hangat itu.
"Nona benar benar tidak perlu sesuatu yang lain? Seperti obat?" Tawar maid itu karena ia khawatir sejak tadi Jina terlihat beberapa kali memijat pelipisnya.
Mengulas senyum, Jina menggeleng pelan. "Enggak bi, terima kasih ya"
"Sini biar saya saja yang beresin, nona kembali saja ke ruang keluarga. Nanti takut di cariin tuan Jake"
Jina mengangguk, menyerahkan gelas kecil itu. "Terima kasih sekali lagi ya"
"Sama sama nona"
Jina lantas melangkah pergi meninggalkan dapur. Ia beberapa kali menghela napas, meyakinkan dirinya jika semuanya akan baik baik saja. Ia tidak boleh terlihat canggung di tengah moment bahagia keluarga ini.
Saat melewati sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruang kerja tuan Shim. Jina menghentikan langkah, karena melihat pintu ruangan itu sedikit terbuka. Ia berniat mengabaikan dan hendak melangkahkan kaki kembali namun sebuah suara terdengar membuatnya mengurungkan niat.
Itu suara papanya yang terdengar berdebat dengan tuan Shim.
"Bukan begitu, Jung. Mungkin terjadi salah paham–"
"Semua orang disana yang tahu mengenai Jina pasti akan berpikiran sama dengan kami, tuan Shim."
Jina mengernyitkan dahi ketika papanya lebih dulu menyela ucapan tuan Shim. Apalagi menyebutkan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCONDITIONALLY
Fanfictionkinda 17+ Kehidupan Jeon Jina seperti dipermainkan oleh kakaknya sendiri. Dia dipaksa untuk selalu menuruti permintaan kakaknya bahkan mengenai masa depan dirinya sendiri. - #1 in Jungwon (03.03.22) #1 in Sunghoon (12.6.22) #1 in Jay (04.10.22)