(14) Melepas rindu Mee

786 60 0
                                    

Setelah kepulangan Alina, ibu langsung pergi kedapur. Firman juga langsung masuk ke kamar setelah memastikan keberadaan Mee.

"Ibu, mau ngapain?" Tanya Mee sopan saat menyusul ibu ke belakang.

"Mau nyuci piring"

"Mee bantuin ya, bu" ucap Mee lembut.

"Ya sudah, kamu aja yang nyuci. Saya mau mandi dulu" jawab ibu, lalu meninggalkan Mee sendiri.

Mee mengiyakan dan langsung mencuci piring kotor yang menumpuk di wastafel. Tak hanya itu, Mee juga membersihkan seluruh sisi dapur.

Saat sedang menyapu lantai, mbak Hana menghampiri dan membantu Mee "kok malah disini sih, dek. Ayo kedepan, kumpul sama ibu juga"

"Heheh iya, mbak. Sebentar lagi selesai kok"

"Habis nyapu ini kedepan lho, ya. Ditungguin Maira lho dari tadi. Sampai ketiduran anaknya" jelas mbak Hana membuat Mee tertawa tipis.

"Kasian banget. Iya, mbak. Habis ini langsung kedepan"

Setelah mengiyakan perkataan Mee, mbak Hana kembali kedepan. Ia sempat membantu Mee mengelap meja tadi.

Mee melangkah menuju ruang TV. Di mana ada ibu juga mbak Hana disana. Sedangkan, Maira tertidur dipangkuan ibu.

Mee duduk disebelah mbak Hana lalu mengikuti iparnya yang memijati kaki ibu.

"Semenjak menikah sama kamu, Firman jarang ngabari saya. Kenapa? Apa sesibuk itu dia sekarang?" Tiba-tiba ibu bertanya seperti itu pada Mee.

"Mmm, iya bu. Mee juga sering ingetin mas buat nelpon ibu. Seenggaknya supaya ibu masih bisa denger suaranya, walaupun gak ketemu orangnya" jawab Mee lembut.

"Akhir-akhir ini mas juga lagi banyak kegiatan di galeri. Ngelatih anak-anak sanggar yang lain juga, bu" lanjutnya.

"Dulu, sesibuk apapun pasti ngasih kabar. Sekarang nggak!" Kata ibu menekankan kalimat akhirnya.

"Firman sekarang sudah punya kehidupan sendiri juga, bu. Harus bisa membagi waktu buat Mee juga. Buat kita juga. Bukannya dia nggak mau ngabarin ibu setiap hari" mbak Hana mencoba menjelaskan kepada ibu.

"Bener bu, Man sekarang lagi banyak kerjaan. Pulang ke rumah juga pasti malem terus" Firman tiba-tiba keluar kamar dan ikut duduk disebelah ibu.

"Ya makanya, kamu tuh ajarin Mee buat kerja. Bantu-bantu kamu. Biar kamu nggak usah kerja keras sampai segitunya. Masa ngabarin orang tua aja kamu gak punya waktu"

Deg. Mendengar ucapan ibu barusan membuat Mee tertunduk. Secara tidak langsung ibu mertuanya ini menginginkan ia bekerja.

"Ya nggak gitu, ibu. Aku kan tetep telpon ibu, setiap hari juga aku kirim pesan. Dari dulu kan kerjanya aku memang begitu, to?"

"Iya. Maksud ibu, kan kamu bisa ajak Mee buat belajar kerja. Dia itu istri kamu, harus bisa meringankan beban kamu. Kamu juga, harus ngerti sama anak saya" ucap ibu.

"Ibu... Aku sama Mee udah punya tugas masing-masing. Kalo Mee kerja, siapa yang bakal urus rumah? Siapa yang bakal ngurusin aku?" Firman mengusap bahu ibunya.

"Le, awakmu kui wes... " ucapan ibu terpotong saat anak laki-lakinya mencium pipi sang ibu.

"Bu, apa pernah dulu bapak nyuruh ibu kerja? Bapak selalu aja menolak kalau ibu mau kerja. Bapak pernah bilang sama aku, bu. Istri itu adalah permata yang kita ambil dari tempat terbagus" Firman menjeda kalimatnya, memberikan waktu supaya sangat ibu mengerti arah pembicaraannya.

"Dan permata itu harus dijaga, disimpan biar nanti bisa menghasilkan permata lain, yang gak kalah bagusnya, bu"

Ibu menatap Firman tak percaya. Itu benar. Dulu, saat ayah dari Firman masih bersama mereka semua. Beliau selalu melarang ibu memegang sebuah pekerjaan. Tugasnya hanya mendidik anak-anak supaya menjadi orang yang bisa membanggakan nantinya.

OmmeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang