Part 44

2.2K 51 2
                                    

"Setelah malam itu, aku hamil. Tetangga aku selalu ejek aku, kamu tahu? Aku selalu berharap kamu mau tanggung jawab, tapi kamu malah gak ada kabar," lanjutnya.

"Gue udah baik nolongin lo, dan lo malah fitnah-fitnah gue, gak sopan banget lo! Satu lagi, gue gak kenal sama lo, gue ketemu sama lo nya juga hari ini, dan gue gak lakuin hal itu sama lo, inget itu!" tegas Jidan lagi.

"Dan anak ini, bukan anak gue!"

"Kamu tega? Dia darah daging kamu!"

"Dia bukan anak gue! Gue juga gak kenal lo!"

"Jidan, aku Lea, pacar kamu," ucap wanita bernama Lea itu.

"Lea?"

"Iya, Lea. Kamu inget?"

"Jangan ngaku-ngaku jadi pacar gue. Karena gue gak punya pacar yang namanya Lea. Atau jangan-jangan... lo sekongkol sama seseorang buat fitnah gue?" tuduh Jidan.

"Buat apa aku sekongkol?" tanya Lea.

"Ya gue gak tahu lah, tanya aja sama diri lo sendiri," jawab Jidan acuh.

"Tugas gue udah selesai, gue permisi." Jidan pergi.

"Kamu harus nikahin aku dan tanggung jawab atas bayi ini. Kalo enggak, aku bakal sebarin kamu. Kalo kamu udah tega lecehin aku sampe hamil, dan gak mau tanggung jawab," ancam Lea membuat langkah Jidan terhenti. Lelaki itu berbalik ke arahnya.

"Harus berapa kali sih, gue bilang sama lo? Gue gak lakuin itu sama lo, gue juga gak kenal sama lo," tegas Jidan mulai kesal.

"Itu terserah kamu. Kalo kamu gak mau aku sebarin aib kamu, kamu nikahin aku sekarang juga," balas Lea.

Astaga! Masalah apa lagi ini? Mengapa Jidan bisa dituduh seperti itu? Apa ia harus menikahi wanita yang bernama Lea itu agar nama baiknya tetap terjaga? Tetapi, bagaimana dengan Shella?

Malam harinya...

Shella sedang tiduran di atas kasurnya sambil memandangi foto Jidan dan dirinya saat berada di basecamp.

Dari tadi, ia terus saja senyum-senyum sendiri menatap foto tersebut.

Duar!

Suara geledek terdengar begitu nyaring di telinga Shella, membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan foto itu ke lantai dan membuat kacanya pecah.

"Astaga!" kaget Shella. Ia segera bangun dan turun dari kasur, membersihkan pecahan-pecahan kaca itu agar tak ada yang terluka nanti.

"Kenapa fotonya bisa pecah gini? Astaga, ceroboh banget sih aku," monolog Shella sambil memunguti pecahan itu satu-satu.

Tiba-tiba ia teringat dengan Jidan. Lelaki itu belum juga pulang, padahal sudah malam.

"Kenapa Jidan belum pulang? Apa dia balapan, tapi... ini kayaknya mau hujan, masa sih dia balapan hujan-hujanan gini?"

Shella mengambil fotonya dan menyimpannya di atas meja, ia pisahkan dengan pecahan kacanya.

"Sshh!" Jari Shella tergores oleh pecahan kaca itu dan mengeluarkan darah.

"Aww, perih!" Ia meniupi jarinya. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan membungkus jarinya dengan hansaplast.

Perasaannya tiba-tiba merasa gelisah tak karuan. Ia khawatir dengan keadaan Jidan. Suara geledek begitu keras membuatnya ketakutan.

"Jidan, kamu kemana aja sih? Aku khawatir sama kamu..." lirih Shella memandangi hujan lebat dari jendela.

Ia terus menelpon nomor Jidan, tetapi handphonenya tak aktif. Ia coba telpon teman-temannya Jidan, tetapi ia ingat jika ia tak punya nomornya.

Dijodohkan dengan Ketua Geng [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang