EPS 17

5 0 0
                                    

 "Kamu gak papa, Alya?" tanya Aldo dengan nada risau. Sebenarnya, sisi inilah yang Alya sukai dari Aldo. Perhatian dan lemah lembut, hal yang sudah pudar dari Aldo. Semua sikap kasar Aldo padanya, seakan melunturkan kelembutan Aldo. Alya rindu masa di mana Aldo masih bersikap perhatian seperti ini. "Angin malam gak baik, mari masuk."

Alya menatap Aldo yang tengah menatapnya, tatapan mereka bertemu. Suasana yang mendukung sekali untuk saling berbagi cinta, tapi... "Kamu, siapa?" tanpa sadar Alya menanyakan hal itu pada Aldo. Saking Alya sudah lupa Aldo itu yang mana, apa pria perhatian dengan lemah lembut? Atau sebaliknya, si pemarah dan suka kasar?

"Ha? Kamu demam?" Aldo tertawa kecil, tidak menganggap serius pertanyaan Alya. Alya masih hanya diam, dia rasanya ingin menangis saat ini juga. Dia merasakan ada jarak yang tak terlihat, namun begitu nyata antara dirinya dan Aldo. Seolah mereka berdua berada di dua dunia yang berbeda, yang hanya terlihat dari luar, tapi sebenarnya terpisah jauh di dalam.

Alya menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia merasa begitu lelah, tidak hanya fisik tapi juga mental. Kegelisahan yang ia rasakan tadi malam kembali menyerangnya. Kenapa Aldo tidak bisa melihat betapa sakit dan bingungnya dia sekarang? Kenapa Aldo yang perhatian dan lemah lembut itu berubah menjadi seseorang yang dia hampir tidak kenali lagi?

"Kamu kenapa sih, Al? Kok diem aja?" Aldo mencoba meraih tangan Alya, tapi Alya dengan lembut menarik tangannya, menghindar dari sentuhan Aldo. Sikap itu membuat Aldo terkejut, seolah dia tidak menyangka Alya akan bereaksi seperti itu.

"Aldo, aku mau kamu berhenti gangguin anak kelas satu." Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Alya.

"Kenapa Al? Siapa yang gangguin Bima?" Aldo tertawa berpura-pura bodoh.

"Aku bahkan belum bilang siapa namanya," wajah Alya seperti tanpa ekspresi, masih menatap kolam yang memantulkan cahaya bulan.

"Siapa yang ngasih tahu kamu?" Suara Aldo berubah jadi lebih serius.

"Semua orang pun tahu," ujar Alya dengan datar. "Bisa kamu tidak gangguin Bima? Dia ga tahu apa-apa. Aku akan langsung bilang ke Bima, biar dia ga gangguin aku, kamu ga usah ikut campur."

"Enggak bisa begitu! Anak itu harus diberi pelajaran! Aku ini lindungin kamu, Alya! Kamu harusnya seneng aku bela! Gada orang yang bisa gangguin kamu, ga ada orang yang bisa nyentuh kamu!" Nada bicara Aldo meninggi.

Alya menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meskipun hatinya bergejolak. "Aldo, aku tahu kamu niatnya mau bela aku. Tapi jika harus melalui kekerasan, aku tidak suka sikap kamu yang seperti itu!" air mata mengambang di mata Alya dan menegaskan suaranya agar Aldo mau mengerti maksudnya.

"Ini bukan soal cemburu, Alya! Ini soal harga diri! Gak ada yang boleh mendekati kamu. Kamu milik aku seutuhnya, selamanya! Gak ada yang boleh berpikir mereka bisa merebut kamu dari aku! Jika ada lelaki lain berpikir untuk mendekati mu, maka dengan apa yang aku punya, akan menyelesaikannya dengan cara apapun!" Aldo mendekat, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam.

"Kenapa kamu selalu berpikir seperti itu? Kenapa semuanya harus tentang kekuasaan dan kontrol? Aku bukan barang yang bisa kamu miliki, Aldo." Alya membalas dengan suara tegas, mencoba menunjukkan bahwa dia tidak akan mundur dari pendiriannya.

Aldo tertawa sarkastis, "Hak? Kamu ngomongin hak sekarang? Alya, dunia ini gak seideal yang kamu pikirkan. Kalau aku gak jaga kamu, mereka semua bakal ngambil kesempatan. Dan Bima, dia cuma bocah tengil yang perlu dikasih pelajaran."

"Dia gak perlu pelajaran dari kamu, Aldo. Dia cuma anak ibu kota yang main-main, kamu harusnya bisa baca itu dong! Mana mungkin aku bisa segampang itu jatuh cinta!" Alya memandang Aldo dengan tatapan penuh keprihatinan.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang