EPS 30

2 0 0
                                    

Setelah percakapannya dengan Alya, Syahrul mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap berangkat sekolah setiap pagi, mengenakan seragamnya dengan rapi, dan memasang wajah yang seolah-olah semuanya baik-baik saja. Namun, di dalam hatinya, kesedihan, amarah, dan kekesalan selalu menyertai.

Di dalam kelas, ia duduk di bangkunya, tetapi pikirannya selalu melayang. Ketika guru menjelaskan pelajaran di depan kelas, Syahrul hanya bisa menatap kosong ke arah papan tulis. Buku catatannya tetap kosong, pensil yang dipegangnya tidak bergerak, karena pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang Bima.

"Pak Samsir kaya biasa, bosen banget, istirahat nanti kita cabut ke rumah elu yuk! Gue tadi baru beli ga⸻" Syahrul baru menyadari kalau kursi di samping dia tidak ada Bima.

Dari yang Syahrul tahu, Bima memang dinyatakan pindah ke Jakarta oleh sekolah. Tapi yang Syahrul merasa ganjil, Bima tidak pernah mengatakan apapun soal kepindahan ini. Tidak pernah Bima menyinggung soal ia akan pindah kembali ke Jakarta. Dan Bima juga tidak bisa dihubungi, kata apalagi yang bisa Syahrul deskripsikan selain Bima hilang karena Aldo? Syahrul mengacak rambutnya pelan. Sementara Pak Samsir tengah fokus menjelaskan materi yang sama sekali tidak Syahrul pahami.

Waktu istirahat pun tidak jauh berbeda. Syahrul duduk sendirian di sudut kantin, menatap makanan di depannya tanpa nafsu makan. Biasanya, di saat-saat seperti ini, Bima akan duduk di sebelahnya, bercerita tentang hal-hal lucu atau membahas rencana mereka untuk akhir pekan. Kini, suara itu hilang, dan yang tersisa hanya keheningan yang menusuk.

Di rumah, Syahrul berusaha bersikap normal di depan keluarganya. Ia tersenyum dan berbicara seperti biasa, tetapi di dalam hatinya, ia merasa hampa. Setiap kali ia berada di kamarnya sendirian, kenangan tentang Bima selalu datang menghampiri. Foto-foto mereka bersama, hadiah-hadiah kecil yang pernah mereka tukarkan, semuanya kini menjadi pengingat akan kehilangan yang ia rasakan.

Malam hari, ketika ia mencoba tidur, bayangan Bima selalu menghantui pikirannya. Ia sering terbangun tengah malam, berkeringat dingin, merasakan ketakutan yang sama seperti ketika ia kehilangan sahabatnya dulu. Trauma lama itu kembali menyeruak, membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Syahrul berusaha keras untuk menjalani harinya dengan normal, tetapi setiap sudut sekolah, setiap tempat yang pernah ia kunjungi bersama Bima, semuanya kini menjadi pengingat akan kehilangan yang harus ia terima. Ia merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi sahabatnya, marah pada keadaan yang membuat Bima menghilang.

Namun, di balik semua amarah dan kesedihan itu, ada rasa kesal yang terus menghantui. Kesal karena ia tidak tahu harus mencari Bima ke mana, kesal karena merasa tidak berdaya, dan kesal karena dunia seolah tidak peduli dengan apa yang ia rasakan.

Hari-hari Syahrul menjadi perjuangan yang berat. Ia mencoba untuk tetap kuat, tetapi kehilangan Bima adalah fakta menyakitkan yang harus ia terima sekarang. Meskipun begitu, dalam hatinya, ia terus berharap bahwa suatu hari nanti, Bima akan kembali, dan semuanya akan kembali seperti semula. Tapi sampai saat itu tiba, ia harus terus berjuang, menghadapi hari demi hari dengan kekuatan yang tersisa.

Syahrul terkejut dari lamunannya ketika mendengar suara yang familiar. "Rul? Gue boleh duduk?" Suara Rini memecah kesunyian di sekitar Syahrul. Ia menatap gadis itu dengan mata yang sedikit terbelalak, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk. Rini sudah ada di hadapannya, menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya. Syahrul bahkan tidak menyadari bahwa saat itu sudah waktu istirahat. Rasanya baru saja guru Bahasa Inggris mengabsennya.

"Kenapa Rin? Ada perlu apa?" tanya Syahrul dengan suara yang lelah dan nada yang tidak bersemangat. Matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam, bayang-bayang hitam di bawah matanya menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia alami belakangan ini.

Rini menatapnya dengan penuh perhatian. "Gue liat-liat elu jadi lesu setelah Bima pindah. Ya gue cuma mau nanya, elu ga papa?" tanyanya dengan nada lembut dan penuh perhatian.

Syahrul menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Gue... Gue gak papa," Syahrul menjawab sekenanya.

Rini tersenyum tipis, rasanya seperti melihat dirinya dulu. "Gue tahu, berat rasanya kehilangan sahabat." Syahrul mengangkat wajahnya, sekali lagi melihat Rini. Rini tersenyum dan menyadari Syahrul mulai mendengarkannya. "Dia kena tabrak lari, waktu gue SMP. Dia orangnya asik, kami saling ngerti, sering jalan bareng, dan semuanya hilang gitu aja. Gue kesel, gue marah, gue benci banget yang namanya geng motor."

"Temen elu..."

"Iya, temen gue itu korban tabrak lari sama geng motor dua tahun lalu. Elu mungkin tahu beritanya. Ga dijelasin sama polisi siapa yang nabrak sahabat gue. Tapi, kaya kasus yang udah-udah, elu tahu kan maksud gue?" Rini tersenyum miris, sementara itu Syahrul jadi merasa prihatin. Syahrul seakan menemukan koneksi antara dirinya dan Rini. Syahrul menatap Rini, merasakan empati mendalam.

Rini menggeleng pelan. "Kita semua punya luka masing-masing, Rul. Dan kehilangan sahabat itu luka yang dalam banget. Apalagi, kita kehilangan mereka tanpa perpisahan. Waktu itu gue sama dia udah janji bakal SMA bareng, kuliah bareng, kerja di kantor bareng, nikahnya bareng... bahkan, kita pokoknya udah janji, kalo hamil bakalan bareng." Rini tersenyum mengingat masa-masa itu. "Tapi, dia pergi gitu aja, tanpa tanda, tanpa perpisahan, gue saat itu langsung kacau dan kosong, Rul. Kaya elu gini." Syahrul diam.

"Anggap Bima pergi, penyebabnya apapun itu, pokoknya anggap dia pergi⸻ oke?" Syahrul tidak menjawab, "nah, Bima kan udah pergi, ga mungkin ketemu sama kita lagi. Terus, elu mau kaya gini aja?"

"Maksud lo?"

"Yang gue maksud, hidup itu harus lanjut ga si Rul? Coba bayangin, kalau dulu gue terus murung dan malah putus sekolah, ga mau lanjut hidup⸻ ya gue sekarang ga bakal ketemu Alya, ga bakal ketemu Ranti, dan gabakal ketemu elu buat bilang kaya gini⸻ hidup, harus lanjut, Rul!" Rini tersenyum penuh semangat. Syahrul berusaha tersenyum. Mungkin benar apa kata Rini.

"Gue juga kemarin dengerin elu sama Alya. Gue cuma mau bilang, enggak, Alya bukan kaya yang elu bilang, Rul." Syahrul juga paham jika dirinya kelewat emosi pada saat itu, "Alya juga korban dari mereka, plis elu jangan anggap Alya bagian dari apapun yang mereka lakukan. Alya bukan mereka, Rul."

Syahrul mengangguk pelan, merasa perlu untuk mengakui kesalahannya. "Gue paham, Rin. Gue kelewat emosi saat itu. Gue cuma takut dan khawatir. Kadang gue gak bisa kontrol diri gue." Suasana hati Syahrul lebih baik karena merasa tidak sendiri. "Makasih ya Rin, udah mau ngobrol sama gue," Rini tersenyum melihat Syahrul jadi lebih baik. "Terus, kita harus ngapain?"

"Jujur, enggak ada Rul. Gue juga ga pernah tahu gue harus ngapain buat lawan mereka, mereka itu kuat Rul, mending jangan usik mereka. Kita doakan saja yang terbaik," Syahrul tidak bisa menerima perkataan Rini, tapi Syahrul mengakui kalau apa yang Rini katakan ada benarnya. Mereka bisa apa melawan kekuasaan sebesar itu? Apa yang bisa mereka perbuat? Tidak ada, tidak pernah ada. Mungkin, mereka memang harus diam. 


Catatan:

KAMU SUKA CERITA SEJARAH? KAMU SUKA MEME?

Cobe cek ini yah!!!!

Cek Youtubenya Sekarang!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cek Youtubenya Sekarang!!!

https://youtube.com/@andipati777?si=njK_kSiIrjg-a8ii

atau tiktoknya!!!

https://www.tiktok.com/@andipati17?is_from_webapp=1&sender_device=pc 

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang