EPS 34

4 0 0
                                    

Berhari-hari Alya mencari jejak Bima, berjalan melintasi jalan-jalan yang ramai di Jakarta, menyusuri sudut-sudut kota dengan harapan menemukan sosok yang selalu menghantui pikirannya. Setiap kali dia melihat seseorang dengan wajah yang mirip Bima, hatinya selalu berdebar-debar, berharap bahwa itu adalah dia.

Sampai pada suatu hari, ketika Alya sedang menunggu bus di halte yang ramai, dia melihat seseorang dengan penampilan yang sangat familiar. Pria itu mengenakan pakaian kantor yang rapi, berdiri sedikit jauh darinya. Alya memperhatikan dengan seksama, hatinya berdegup kencang. Dia yakin, itu adalah Bima.

"Bim, masih ingat aku ga?" Alya menyapa dengan suara penuh harap.

Pria itu menatapnya tajam sesaat, kemudian raut wajahnya berubah menjadi bingung. "Maaf, siapa ya?" tanyanya, suaranya terdengar asing dan jauh.

Hening. Alya merasa dunia seakan berhenti berputar. Pria yang dia yakini sebagai Bima memandangnya dengan tatapan kebingungan, seolah berusaha mengingat sesuatu yang terlupakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pria itu hanya mengangguk kecil, "permisi," ujarnya dengan sopan lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Alya sendirian di tengah keramaian. Kenapa? Padahal Alya yakin seratus persen itu adalah Bima.

Alya merasa patah hati. Dia yakin bahwa itu adalah Bima. Bentuk bibir, bentuk mata, tangan penuh urat yang sangat khas—semuanya tidak mungkin salah. Bima adalah sosok yang tak pernah lepas dari ingatannya. Selama dua tahun terakhir pun, Bima selalu ada dalam pikiran Alya! Tapi kenapa? Setiap hari, setiap saat, pikirannya selalu kembali pada Bima, mengingat momen-momen yang pernah mereka lalui bersama. Bima adalah pusat dari dunianya, lebih sering dia pikirkan daripada apa yang akan dia makan hari ini.

"Kenapa Bima seperti tidak mengenaliku?" pikir Alya, hatinya perih. Apakah dirinya berubah sedrastis itu? Rasanya tidak. Mungkin kehidupan di Jakarta telah merubah Bima menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang lebih memikirkan strata sosial sehingga melupakan semua yang pernah dia kenal di kota kecil mereka.

Alya terdiam di halte, merasakan angin sore yang bertiup lembut. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Dia berusaha memahami situasi ini, namun semakin dia mencoba, semakin perih hatinya. Dia tahu bahwa perasaan dan ingatannya terhadap Bima tidak bisa begitu saja terhapus, namun kenyataan bahwa Bima tidak mengenalinya adalah pukulan yang sangat berat.

Alya berada dalam fase kebingungan yang mendalam setelah bertemu dengan pria yang sangat mirip dengan Bima di halte bus. Tidak, bukan mirip, itu memang Bima. Alya sangat yakin itu adalah Bima. Pertemuan singkat itu terus berputar di benaknya, memunculkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu dekat dengannya tiba-tiba tidak mengenalinya sama sekali? Apakah Bima telah mengalami sesuatu yang membuatnya berubah begitu drastis?

Dengan banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya, Alya memutuskan untuk pulang ke Cirebon. Dia berharap suasana di kampung halamannya bisa memberinya sedikit ketenangan. Dia membeli tiket kereta dan bersiap untuk perjalanan panjang tersebut.

Di dalam kereta, Alya duduk di dekat jendela, menatap pemandangan yang melintas dengan cepat. Kepalanya penuh dengan kebingungan dan keraguan. Dia terus memikirkan pertemuannya dengan pria yang mirip Bima itu. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah pria itu muncul dalam benaknya, dengan tatapan bingung yang membuat hatinya sakit.

"Apa mungkin Bima mengalami amnesia?" Alya berpikir keras, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. "Atau mungkin dia sengaja berpura-pura tidak mengenaliku? Tapi, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanpa sadar, di tengah kebisuan kereta yang melaju cepat, Alya meneteskan air matanya. Seperti melihat sesuatu yang telah lama kau kejar, lalu sesaat ketika kau merasa akan menggapainya, sesuatu pergi begitu saja.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang