Eps 42

1 0 0
                                    

"Akhirnya kau pulang!" Kapolri menyambut Zidan dengan ekspresi serius namun penuh empati. Begitu Zidan masuk ke ruangan, Kapolri mengunci pintu, menutup tirai, dan duduk dengan tatapan iba pada Zidan. "Sudah, kau cuti dulu."

Zidan menghela napas panjang, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Apa Bapak pernah merasakan seperti ini? Rasanya sangat tidak nyaman," ujarnya dengan nada lemah, seolah ada yang putus di otaknya.

Kapolri menghembuskan napas pelan, menatap Zidan dengan penuh pengertian. "Pernah," jawabnya singkat. Ia langsung paham apa yang dimaksudkan Zidan. Menjadi intel, berarti menjalani berbagai kehidupan, dan di salah satu dari entah berapa kehidupan yang dijalani seorang intel, salah satunya mungkin membuat seorang intel merasa terikat. Sebagai manusia biasa, intel akan merasa kosong bahkan frustrasi ketika harus meninggalkan kehidupan itu.

"Bagaimana Bapak menangani hal ini?" Zidan meremas dada bagian kirinya, karena di sanalah ia merasa sesak. Hening sesaat menyelimuti ruangan.

"Kau, mau berhenti?" Kapolri bertanya dengan suara tenang, namun pertanyaan itu mengguncang Zidan.

Zidan tersentak mendengar pertanyaan dari Kapolri. "Jangan bicara seolah ada pilihan berhenti, Pak. Saya sudah bersumpah untuk mengabdi seumur hidup saya. Yang saya butuhkan adalah cara untuk mengatasi perasaan seperti ini," Zidan menarik napas dalam, dadanya semakin terasa sesak. Ia merasa lebih baik terkena tembak di kakinya dan harus berjalan pakai tongkat selama tiga tahun daripada harus merasa seperti ini.

"Saya menutupi yang ada di sini dengan misi-misi yang saya ambil," Kapolri tersenyum, berusaha menghibur Zidan. Namun, Zidan merasa tidak nyaman dengan senyum Kapolri. Orang itu, dalam pandangan Zidan, tidak cocok tersenyum.

Zidan menatap Kapolri, mencari jawaban dalam mata tuanya. "Bagaimana Bapak bisa menutupi semuanya? Bagaimana Bapak bisa melanjutkan hidup tanpa merasa kehilangan?"

Kapolri menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya sejenak ke luar jendela. "Tidak ada jalan mudah, Zidan. Setiap misi membawa beban, setiap identitas membawa luka. Yang bisa kita lakukan adalah mengingat tujuan kita, mengingat mengapa kita memilih jalan ini. Kita berkorban untuk yang lebih besar, untuk keamanan banyak orang."

Zidan mendengarkan dengan saksama, namun rasa sesak di dadanya belum juga mereda. "Tapi, Bapak, rasanya berbeda kali ini. Aku merasa... terikat. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang jika aku tidak kembali." Bayangan sinar mata Alya, tawa Syahrul dan jalanan Cirebon lewat begitu saja di pikiran Zidan layaknya kereta api yang cepat melintas.

Kapolri mengangguk perlahan, memahami perasaan Zidan. "Itulah harga yang kita bayar, Zidan. Terkadang, kita harus merelakan sesuatu yang kita sayangi demi tugas. Tapi, ingatlah bahwa setiap misi yang kita jalani, setiap pengorbanan yang kita buat, adalah demi melindungi banyak orang, termasuk mereka yang kita cintai."

Zidan hanya diam saja mendengar perkataan Kapolri, tidak menjawab, tidak menyangkal, tidak mengiyakan. Hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya ini benar-benar membuatnya merasa terikat. Tidak hanya pada satu orang, tidak hanya ada pada satu titik. Cirebon benar-benar membuatnya kosong.

"Sudahlah, kau cuti dulu. Urusan di Cirebon hanya tinggal menunggu waktu, para bajingan itu sebentar lagi akan merasakan dinginnya penjara," Zidan tersenyum kecil mendengar pernyataan dari Kapolri, tapi tidak bisa mengubah apa yang ia rasakan.

Zidan lalu keluar dari kantor Polri, merasakan angin sejuk Jakarta yang sedikit meredakan rasa sesak di dadanya. Namun, pikirannya masih kacau. Langkahnya terasa berat, dan ia berharap cuti ini bisa membantunya mengembalikan ketenangan yang telah lama hilang. Tiba-tiba, handphonenya berdering, mengejutkannya dari lamunan. Ia melihat nama yang tertera di layar, dan seketika, senyuman kecil terlukis di wajahnya. Ada panggilan dari sahabatnya sejak kecil, Amar, sahabat dari identitas aslinya, yaitu sahabat Zidan yang sebenarnya.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang