EPS 2

5 0 0
                                    

Kelas Alya di SMA itu penuh dengan suasana belajar yang serius namun tetap terasa hidup. Meja-meja kayu berbaris rapi, masing-masing dipenuhi oleh buku-buku, alat tulis, dan catatan para siswa. Di bagian depan kelas, terdapat papan tulis putih yang dipenuhi dengan rumus-rumus matematika, beberapa di antaranya masih tersisa dari pelajaran sebelumnya. Jendela-jendela besar di sisi kelas membiarkan sinar matahari masuk, menerangi ruangan dengan cahaya alami yang hangat.

Alya duduk di barisan tengah, matanya terfokus pada buku catatan di depannya. Dia mencatat dengan teliti setiap penjelasan yang diberikan, wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh. Di sekitarnya, teman-teman sekelasnya juga sibuk mencatat atau memperhatikan papan tulis, walaupun beberapa siswa sedang berusaha menahan kantuk dan stress sekaligus. Karena sekarang, matematika sedang menerjang mereka.

Di depan kelas, berdiri Pak Samsir, guru matematika yang terkenal tegas namun sangat berdedikasi. Pak Samsir memiliki kumis tebal yang melintang di atas bibirnya, kalo dislepet sama kumisnya mungkin bisa langsung jago matematika. Dengan suara yang lantang dan jelas, ia menjelaskan konsep-konsep aljabar yang rumit, sesekali mengangkat spidol dan menulis di papan tulis dengan tulisan yang besar dan mudah dibaca. Pak Samsir mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung sampai siku, tampak bersemangat dan penuh energi meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Pak Samsir memang definisi bapak-bapak sangar yang kalo kesenggol dikit langsung bacok.

"Perhatikan baik-baik, anak-anak. Kalo kalian gagal di ujian, awas aja nanti," katanya, sambil menatap murid-muridnya dengan mata yang penuh ketegasan. Sementara murid-muridnya yang mendengarkan hanya bisa menelan ludah sembari pasrah akan nasib yang menunggu mereka di depan. Alya mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari papan tulis, memastikan setiap informasi terekam dengan baik dalam ingatannya. Suasana kelas yang semula hening sesekali diwarnai dengan suara siswa yang bertanya atau Pak Samsir yang menjawab dengan sabar dan jelas.

Di tengah penjelasan Pak Samsir yang penuh semangat dan penuh penekanan, tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kelas. Suara ketukan itu segera menarik perhatian semua siswa, termasuk Alya yang berhenti mencatat dan menoleh ke arah pintu. Alya langsung resah dan berdecak bibir karena melihat Bima. Pak Samsir juga menghentikan penjelasannya, lalu memandang ke arah pintu dengan alis sedikit terangkat.

Di daun pintu, berdiri Bima dengan wajah yang berusaha tersenyum ramah. Rambutnya yang sedikit berantakan dan jaket hitam yang biasa ia kenakan masih terlihat, namun kali ini ada upaya untuk terlihat lebih sopan. Tatapan mata Bima sedikit ragu, tapi senyumnya berusaha menunjukkan niat baik.

Pak Samsir menghela napas sejenak, kemudian berkata dengan nada yang tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan kejengkelan, "Ada apa? Ini bukan kelas kamu, kan?" Kumis tebal Pak Samsir naik satu senti, tanda ketidaksenangannya karena anak berandal ini memang sudah tiga kali ga masuk di kelasnya.

"Iya Pak, izin saya mau mengumumkan sesuatu di kelas ini," jawab Bima dengan suara yang mencoba terdengar serius. Wajah tegang Pak Samsir sedikit mengendur, berpikir mungkin ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan oleh Bima. Berusaha berpikir positif, Pak Samsir menggerakkan tubuhnya untuk mempersilakan Bima maju.

Bima nyengir lebar karena sudah mendapat izin, lalu melangkah pelan ke depan kelas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu dengan satu kali hembusan napas, ia mengatakan, "I love you, Alya!" sambil memberikan kiss bye ke arah Alya yang sudah menatapnya dengan sinis. Ada beberapa detik keheningan di seluruh kelas, termasuk Alya, membeku karena kelakuan Bima. Beberapa saat kemudian, meledaklah kelas itu dengan tawa.

Alya berusaha menutup wajahnya karena malu, sementara para cowok di kelas itu bersorak seperti serigala yang melolong, kagum atas keberanian Bima. Kagum atas keberanian kaum mereka. Pak Samsir yang baru sadar akan kelakuan nyeleneh Bima, langsung berjalan cepat ke arahnya, hendak menerkam. Bima, menyadari bahaya yang mengancam, langsung menghindar dan lari. "Makasih, Pak!" serunya sambil berlari keluar dari kelas Alya, meninggalkan suasana kelas yang masih riuh karena kelakuannya yang tak terduga.

Pak Samsir menggelengkan kepala, setengah menyesal telah memberikan izin kepada Bima. "Astaga, apa sih isi kepala anak itu? Nyesel saya ngizinin, harusnya saya sudah curiga di awal. Yasudahlah, kita lanjut saja," katanya dengan nada pasrah. Kelas mulai mereda dari keriuahan, meskipun beberapa siswa masih ada yang cekikikan, termasuk Rini dan Ranti, sahabat Alya.

Di kantin yang ramai, Alya, Ranti, dan Rini duduk di salah satu meja kayu sambil menikmati semangkuk bakso yang menguarkan aroma gurih. Suasana kantin dipenuhi dengan obrolan dan tawa siswa-siswa lain yang juga menikmati waktu istirahat mereka.

Alya masih terlihat agak malu, pipinya sedikit memerah saat memutar-mutar baksonya dengan garpu dan sumpit. Bahkan sempat terpikirkan di benak Alya, apa dia colok aja mata Bima dengan garpu yang ia pegang? Ranti dan Rini, di sisi lain, tampak bersemangat membicarakan kejadian tadi di kelas.

"Kayaknya dia suka sama kamu deh, Al," kata Ranti sambil tersenyum jahil, bahkan memainkan matanya untuk mempertegas kejahilannya.

"Iya tuh, udah keliatan banget," sambung Rini, memperkuat pendapat temannya. Si pintar ini main nimbrung aja biar keliatan nyambung.

"Apaan sih, males banget aku kalau ada dia di sekolah ini. Dari ratusan sekolah di Cirebon, kenapa harus dia coba? Dan kenapa harus aku yang dia gangguin?" balas Alya sambil menghela napas kesal, garis

"Tapi, Bima itu cakep lho, ya gak Rin?" kata Ranti, melirik ke arah Rini.

"Iya Ran, manis banget. Dia kayak masih anak-anak gitu, kayak belum dewasa gitu," jawab Rini sambil tersenyum kecil.

"Ya kita emang belum dewasa, Rin. Gimana sih? Gak gitu maksud gw!" sentak Ranti. "Maksud gw tuh ya manis aja, nice aja gitu lho."

"Kayak karakter anime gitu ya?" tanya Rini dengan polos, matanya berbinar-binar.

"Ya enggak lah! Gila lho ya, gak ada... Sekali lagi, gak ada satupun cowok di dunia ini yang gantengnya setara karakter anime, catet itu!" Ranti menegaskan dengan nada serius. Jangan bicara soal anime sama Ranti kalo ga tahu apa-apa, apalagi biar keliatan asyik sok akrab gitu, jangan pernah.

"Udah deh, ngomongin apa sih? Bakso aku jadi gak enak tahu," ujar Alya, mencoba menghentikan pembicaraan yang membuatnya semakin risih.

Mereka bertiga terdiam sejenak, lalu tertawa bersama. Meski topik pembicaraan berubah, bayangan tentang kejadian di kelas tadi masih menyisakan tawa di antara mereka, mempererat ikatan persahabatan yang sudah terjalin kuat. Sambil menikmati bakso mereka, Alya berharap hari-hari berikutnya tidak diwarnai kejutan aneh dari Bima lagi. Namun, di dalam hatinya, sedikit rasa penasaran mulai tumbuh, bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Bima.

"Tapi itu goblok banget si Al, dia kayaknya ga tahu siapa cowok lu deh," Alya langsung terdiam, bahkan jauh lebih bad mood dari sebelumnya. Ranti juga nampaknya menyesal telah mengatakan itu. Rini menyenggol Ranti dengan sikunya, matanya seolah mengatakan tuh kan, elu sih.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang