EPS 45

2 0 0
                                    

"Dan? Zidan!?"

"Eh?" Zidan tersentak, sementara itu daging sapi di piringnya sudah tercacah seperti masuk ke mesin penggilingan.

"Elu lagi mikirin apa sih?" Zidan dan temannya, yaitu Amar, tengah makan di restoran. Zidan memilih steak tanpa alasan pasti. Mungkin pikirnya lebih mudah dimakan. Ia tak berselera makan dua hari terakhir, interogasinya sedikit kacau namun ia bisa menanganinya, sekarang semua proses kasus kepala kantor pajak itu tengah diurus oleh timnya. Ia bisa bersantai sedikit, tapi ya begini jika ada waktu senggang di hidupnya. Bengong. Sedari tadi hanya mencacah daging steak di depannya.

"Gue perhatiin nih ya, dua tahun terakhir, tiap kita ketemu, elu itu selalu lemes tahu Dan," Amar adalah seorang polisi, divisi yang berbeda dari Zidan. Sehingga Amar tidak pernah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Zidan. Amar hanya tahu Zidan itu intel, itu saja. Kasus yang Zidan tangani, siapa saja yang terlibat, ia sebagai apa, Amar tidak tahu.

"Enggak juga, perasaan kamu doang kali," Zidan menyangkal pernyataan sahabatnya. Amar hanya tersenyum, tidak berusaha mengusik Zidan lebih jauh.

"Tapi gini, Dan." Wajah Amar langsung serius, "kalo ada yang bisa gue bantu, bilang aja ke gue, ya? Gue udah banyak cerita tadi, entah elu denger apa enggak."

"Cerita apa?" Wajah Zidan nampak dungu. Sesaat ia memang mendengar Amar bercerita, tapi di detik keberapa ia mulai kehilangan fokus dan jatuh di pikirannya sendiri.

Amar menghela napas, meletakkan garpunya dan menatap Zidan dengan pandangan penuh perhatian. "Elu tuh, kayak punya dunia sendiri. Gue ngerti sih kerjaan kita kadang bikin kita jauh dari kehidupan normal, tapi lu kayaknya lebih dari sekedar sibuk. Ada apa sih, Dan?"

"Enggak ada apa-apa, cuma kerjaan doang," Zidan mengelak. Amar paham, masalah kerjaan tidak mungkin mengganggu sahabatnya menjadi begini. Pasti ada hal lain yang mengganggu Zidan, tapi Amar lagi-lagi berusaha tidak menguliknya dari Zidan. Amar paham mungkin saja Zidan tengah merahasiakan sesuatu yang berhubungan dengan misinya. Sebuah hal yang Amar pahami sebagai polisi "Eh, gimana tadi cerita mu?" Zidan mengubah wajahnya dan memasang wajah antusias.

"Gue lagi suka sama cewek," Amar berusaha kembali antusias menceritakan ceritanya. "Ya gue kenal dia waktu gue ngisi seminar di...."

Zidan kembali hilang fokus dengan pikirannya dan mengabaikan cerita Amar. Dunianya kembali menelan dirinya. Ia teringat pada pertemuan dengan Alya beberapa hari yang lalu. Bayangan wajahnya masih jelas dalam ingatan, senyumannya yang hangat, dan sinar mata yang indah. Bagaimana mungkin Alya ada di sini? Bagaimana Alya bisa menemukan dirinya?

"...dan dia tuh pinter banget, Dan. Lu pasti suka ngobrol sama dia kalau ketemu," Amar melanjutkan ceritanya dengan semangat.

Zidan hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengar. Pikirannya berputar-putar, terjebak antara masa lalu dan sekarang. Setiap kali ia mencoba fokus pada saat ini, bayangan Alya kembali menghantuinya. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam lingkaran tak berujung, tak bisa lepas dari perasaan bersalah dan kerinduan yang mendalam.

Zidan menjalani hari-hari dengan semakin buruk. Setiap pagi, dia terbangun dengan perasaan hampa dan kepalanya dipenuhi oleh bayangan masa lalu yang menghantuinya. Ia sering berdiri termenung di depan pintu kamarnya, matanya menerawang jauh tanpa fokus pada apapun. Kadang, pembantu di rumahnya menemukannya dalam keadaan seperti itu, dan mereka hanya bisa saling berbisik dengan penuh keprihatinan, tidak tahu bagaimana cara membantu majikan mereka yang tampak semakin tenggelam dalam kesedihan.

Ayahnya, yang dulu selalu menjadi sosok kuat dan tegas, kini semakin sering melihat Zidan dengan raut wajah prihatin. "Zidan, kamu harus tetap fokus pada hidupmu," tegurnya suatu pagi saat mereka duduk di meja makan. "Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam pikiran-pikiran yang tidak bisa kamu ubah."

Zidan hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya, dia merasa tidak mampu lagi berpura-pura kuat. Setiap kata yang diucapkan ayahnya hanya membuatnya merasa semakin terbebani, seakan ada harapan besar yang harus dia penuhi tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Yang paling buruk adalah ketika ia tiba-tiba berada di stasiun dengan memegang tiket kereta menuju Cirebon. Ia tidak ingat bagaimana dia sampai di sana, tidak ingat membeli tiket, tapi di tangannya ada bukti nyata bahwa pikirannya tengah berusaha kembali ke tempat yang ingin ia lupakan. Seakan hidupnya otomatis, seakan kendaraan autopilot yang membawa dirinya ke tempat yang paling ingin dia hindari tapi sekaligus paling dirindukan.

Zidan berdiri di peron stasiun, melihat kereta yang bersiap untuk berangkat. "Apa yang aku lakukan di sini?" bisiknya pada dirinya sendiri, merasa bingung dan kehilangan arah. Hatinya berdebar keras, seolah-olah tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan meski pikirannya masih terpecah belah.

Dia duduk di bangku peron, memandangi tiket di tangannya. "Apa ini yang aku mau?" tanyanya dalam hati. Pertanyaan itu terus menggema, namun jawabannya tidak pernah muncul. Ia merasakan dorongan kuat untuk naik kereta itu, untuk kembali ke Cirebon, tapi ia juga merasa takut akan apa yang mungkin ia temui di sana.

Hari-harinya semakin berputar dalam lingkaran kebingungan dan ketidakpastian. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Alya dan Syahrul kembali menghantui pikirannya. Zidan merasa dirinya semakin terjebak, tidak bisa maju ataupun mundur. Ia merasa seolah-olah hidupnya terbelah antara tanggung jawabnya sebagai seorang intelijen dan perasaan pribadinya yang semakin sulit dikendalikan.

Ia tahu ia harus menemukan cara untuk keluar dari kondisi ini. Namun, setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seakan ada beban tak terlihat yang menahannya. Zidan harus mencari jalan untuk menyatukan kembali dirinya, menemukan keseimbangan yang selama ini hilang. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan membantunya menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui pikirannya.


Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang