Epilog

3 0 0
                                    

"Mau jalan sekarang?" Zidan membetulkan blazer hitam yang ia kenakan, merapikannya sedikit agar tampak sempurna. "Salam buat Amar, ya. Maaf Papah ga bisa datang."

"Iya Pah, nanti aku sampaikan. Gimana Pah?" Zidan berpose di depan ayahnya, berharap mendapatkan persetujuan dan mungkin sedikit pujian.

"Keren," ayahnya mengacungkan jempol dengan senyuman bangga yang terpancar di wajahnya. "Maaf ya, Dan. Papah selalu merasa kalau Papah sudah menghancurkan hidup kamu. Sekarang sahabat kamu menikah, kamu belum. Papah merasa gagal dan terlalu berambisi."

"Ambisi Papah udah jadi ambisi aku," Zidan tersenyum, mencoba menenangkan ayahnya. Namun di dalam hatinya, Zidan tahu betapa berat beban yang ayahnya rasakan. Ayahnya, yang sudah mulai menginjak usia senja, selalu merasa bersalah atas jalan hidup yang dipilihkan untuknya.

Melihat anaknya menjalankan misi-misi berbahaya, heroik namun mengancam nyawa, pulang setelah sekian bulan bahkan tahun, kadang dengan wajah yang berubah sedikit, membuat pangling. Melalui semua itu, ada sedikit rasa penyesalan dalam hati sang ayah karena mendidik Zidan sebagai seorang agen, mengabdikan hidup pada negara.

Ayah Zidan melihat masa kecil dan remaja anaknya yang hilang, tergantikan oleh pelatihan keras dan misi berbahaya. Setiap kali Zidan kembali dari misi, wajahnya membawa jejak-jejak pengalaman yang tidak bisa dihapuskan. Ketika Zidan menjalani kehidupan sebagai Bima, seorang anak SMA yang suka telat dan pemalas, itu memberikan kesempatan baginya untuk merasakan hidup normal, meski hanya sesaat.

"Saat aku jadi Bima, Pah," kata Zidan pelan, matanya sedikit berkilat dengan kenangan, "itu adalah masa paling dekat dengan kehidupan normal yang pernah aku rasakan. Meski itu hanya untuk misi, aku terikat pada kehidupan itu. Aku merasa bebas, merasakan menjadi remaja biasa meski hanya sekejap."

Ayah Zidan menghela napas panjang, menatap anaknya dengan campuran rasa bangga dan penyesalan. "Maafkan Papah, Dan. Kalau saja Papah bisa mengulang waktu, mungkin Papah akan memilih jalan yang berbeda buat kamu."

Zidan mendekat dan memeluk ayahnya erat, merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan. "Papah, jangan merasa bersalah. Aku bangga dengan apa yang sudah aku capai, dan itu semua karena bimbingan Papah. Aku juga mengerti kenapa Papah memilih jalan ini untuk aku. Kita berdua melakukan yang terbaik yang kita bisa."

Ayahnya menepuk punggung Zidan pelan, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kamu anak yang kuat, Dan. Papah hanya ingin kamu bahagia."

"Aku bahagia, Pah. Mungkin bukan seperti yang Papah bayangkan, tapi aku bahagia. Terima kasih sudah mempercayakan aku dengan tanggung jawab ini."

Mereka berdua berdiam sejenak, menikmati momen langka ini. Zidan tahu bahwa kehidupan yang dipilihnya penuh dengan bahaya dan pengorbanan, tapi ia juga tahu bahwa semua itu memiliki tujuan yang lebih besar. Ketika akhirnya ia melepas pelukan dan melangkah keluar untuk menghadiri pernikahan sahabatnya, ia merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Pernikahan Amar dan Alya berlangsung di sebuah gedung yang megah, dihiasi dengan dekorasi serba putih yang elegan. Langit-langit gedung dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan, sementara bunga-bunga putih segar mengisi ruangan dengan aroma yang manis dan menenangkan. Karpet putih membentang dari pintu masuk hingga ke panggung tempat Amar dan Alya berdiri, berjanji setia satu sama lain.

Amar dan Alya terlihat sangat bahagia. Wajah mereka berseri-seri dengan senyuman yang tulus dan penuh cinta. Amar tampak gagah dalam setelan jas hitam yang rapi, sementara Alya terlihat mempesona dalam gaun pengantin putih yang anggun, dengan veil panjang yang menjuntai hingga ke lantai. Mata mereka saling bertautan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Di sudut lain ruangan, Rini dan Syahrul duduk bersama teman-teman SMA mereka. Suasana penuh keakraban dan nostalgia, seolah mereka sedang reuni kecil-kecilan. Gelak tawa dan cerita-cerita masa lalu mengalir dengan bebas, menghangatkan suasana.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang