EPS 9

5 0 0
                                    

Setelah momen heroik dan gila tersebut (tapi Syahrul menyebutnya sebagai aksi bunuh diri), Bima langsung dibawa ke ruang BK oleh Pak Samsir dan Pak Haris. Bima duduk di kursi dengan senyum lebar, meskipun kedua guru itu sudah bersiap-siap untuk mengomel.

"BIMA! Apa-apaan ini?!" bentak Pak Samsir sambil menepuk meja di depannya. "Kamu kira sekolah ini taman bermain?! Kamu menyabotase siaran sekolah, membawa peledak, dan membuat semua kericuhan itu!"

Bima masih dengan senyum ceria, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Pak. Itu cuma petasan."

"Cuma kamu bilang?!" Pak Samsir sudah mau menelan Bima.

Pak Haris, yang dikenal lebih tenang, menatap Bima dengan tatapan lelah. "Bima, kamu sadar tidak kalau kamu sudah menyebabkan kepanikan di sekolah? Sirine, ledakan, dan kain-kain besar itu... Kamu kira ini acara konser?"

Bima mencoba menahan tawanya, tapi akhirnya terkikik juga. "Konser cinta, Pak."

Pak Samsir hampir kehabisan kata-kata. "Kamu... benar-benar tidak waras, ya. Saya harus bilang apa lagi?"

"Saya... ya... cuma ingin bikin sesuatu yang spesial, Pak. Bapak pernah muda, kan?" Bima berkata dengan senyum lebar.

Pak Haris menghela napas panjang. "Kamu tahu, Bima, ada cara yang lebih normal untuk menyatakan perasaan. Kamu bisa ajak makan di kantin, atau mungkin kasih bunga... bukan dengan cara bikin seisi sekolah kaget."

Bima mengangguk, berusaha terlihat serius meski masih tersenyum. "Iya, Pak. Saya mengerti. Tapi kalau saya ajak makan di kantin, kan tidak ada dramanya, Pak. Ga ada yang bisa dikenang kalo pas saya tua nanti."

Pak Samsir akhirnya meledak juga. "Drama itu di panggung teater, bukan di sekolah! Saya benar-benar habis kata-kata. Kamu tahu tidak kalau kamu hampir bikin saya kena serangan jantung?"

"Maaf, Pak Samsir. Saya janji, tidak akan bikin ulah lagi. Tapi kalau saya mau kasih kejutan ke Alya lagi, saya izin dulu deh, Pak."

Pak Haris tertawa kecil, lalu menepuk dahi Bima. "Dasar!" lalu Pak Haris tertawa, kelakuan Bima memang nakal, tapi entah kenapa Pak Haris malah tergelitik tak tahan mau tertawa.

Bima tersenyum lebar, mengangguk. "Siap, Pak Haris. Siap, Pak Samsir. Saya janji, tidak akan bikin sirine berbunyi lagi."

Setelah mendapat ceramah panjang lebar dan sedikit tawa dari Pak Haris, Bima akhirnya diizinkan keluar dari ruang BK. Dia berjalan keluar dengan senyum puas, merasa seperti pahlawan yang baru saja menyelamatkan dunia (atau setidaknya, hatinya sendiri). Di luar ruang BK, Syahrul sudah menunggu dengan ekspresi seseorang yang mengalami fase terdalam depresi.

"Lu Gila ya, anjing!?" kata Syahrul, wajahnya sudah merah karena menahan marah sedari tadi. Kelakuan Bima kali ini benar-benar diluar batas. Aldo mungkin saja, mungkin saja⸻ Syahrul tidak bisa membayangkannya.

Bima tertawa, menepuk bahu temannya. "Hidup itu kadang harus sedikit gila, Rul. Biar ada warnanya."

"Berisik lu Bim, anjing lu!" lalu Syahrul mendorong Bima sampai jatuh dan Syahrul pun langsung pergi. Bima menghentikan senyumnya, tadi Syahrul serius sekali mendorong Bima. Bima pun tidak merasakan candaan dalam perkataan ataupun perbuatan Syahrul tadi.

"Eh, Bima ternyata orangnya romantis gitu ya," kata si Rini. Ranti dan Rini yang lagi cari Alya, ternyata Alya lagi di perpus. Rini dan Ranti udah paham, kalo Alya tiba-tiba ke perpus artinya Alya mau sendiri. Rini dan Ranti lagi duduk depan kelas, sembari melihat para siswa yang sudah mulai rampung persiapan mereka untuk acara besok.

"Romantis apaan? Kebanyakan nonton sinetron lu! Itu mana ada romantis-romantisnya. Malah risik tahu!" Ranti mulai risik kalau Rini sudah mulai membahas romantis-romantisan. Apa yang Rini tahu soal romantis? Referensinya kan cuma nonton sinetron. Beda dengan dia yang nonton anime, setidaknya dia merasakan begitu. "Tapi, itu bahaya buat dia," kata Ranti.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang