EPS 29

4 0 0
                                    

Pagi itu, matahari masih malu-malu menyinari kota. Alya melangkah keluar dari rumahnya, mengenakan seragam sekolah dengan rapi. Rambutnya dibiarkan tergerai bebas, jatuh dan indah, dan di pundaknya menggantung tas sekolah yang berat dengan buku-buku pelajaran. Ia mengabaikan orangtuanya yang pagi-pagi sudah ribut, entah apa yang mereka ributkan.

"Katanya ada pergerakan untuk mengancam Papah dan keluarga Aldo, mungkin kasus Aldo ini dimanfaatkan oleh mereka untuk menjatuhkan kita," ayah Alya nampak begitu cemas, sedari kemarin terutama sejak kasus Aldo, wajah ayahnya Alya tidak pernah santai. Tiap menitnya, rasanya ada saja yang ia khawatirkan.

"Tidak mungkin Pah, kita ini sudah berada di atas, tidak ada lagi yang bisa lawa," ibunya Alya menepis dugaan buruk suaminya itu, "kita pasti bisa melalui ini semua, pasti. Kita punya banyak pengacara hebat, kita sudah sering melakukan hal ini. Pasti akan berlalu begitu saja."

Alya semakin malas mendengarkan mereka dan memutuskan untuk segera berangkat dengan sopirnya. Ia melangkah cepat menuju mobil, berusaha menyingkirkan suara-suara kekhawatiran yang memenuhi rumahnya. Pintu mobil terbuka, dan sopirnya menyambut dengan senyum ramah. Alya membalas dengan senyum tipis, lebih karena sopan santun daripada rasa bahagia.

Di dalam mobil, Alya duduk dengan diam, memandang keluar jendela. Pemandangan jalan yang biasa dilaluinya setiap hari terasa berbeda. Biasanya, ia menikmati perjalanan dengan santai, melihat hiruk-pikuk kota yang sibuk. Tapi hari ini, pikirannya melayang ke tempat lain.

Hari itu, ada perasaan hampa yang menyelubungi hatinya. Setiap gedung yang ia lewati, seakan ada keberadaan Bima di balik gedung-gedung pinggir jalan itu. Sesampainya di sekolah, suasana pagi yang biasanya penuh semangat dan canda tawa terasa berbeda. Teman-temannya tampak sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Bima di mana pun.

Sekolah pun terasa lebih sepi. Di kelas, Alya duduk di bangkunya, namun pikirannya melayang ke tempat lain. Ia merindukan percakapan menarik dan diskusi mendalam yang selalu membuatnya terkesan. Guru mulai mengajar di depan kelas, tetapi Alya hanya bisa berpikir tentang betapa berbedanya hari-harinya tanpa Bima.

Saat bel istirahat berbunyi, Alya berjalan sendirian ke kantin. Biasanya, Bima akan menemaninya, membuat candaan dan memberikan komentar cerdas yang selalu membuatnya tertawa. Sekarang, kantin terasa lebih bising, tetapi juga lebih sepi baginya. Ia membeli makanan dengan enggan, lalu mencari tempat duduk di sudut yang tenang.

Melihat teman-temannya berkumpul dan bercanda, Alya merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya. Ia mencoba tersenyum dan bergabung dengan mereka, tetapi bayangan Bima terus menghantui pikirannya. Meskipun berusaha keras, Alya tidak bisa menghilangkan rasa rindu yang begitu mendalam.

"Kamu emang ga tahu ke mana Bima pergi?" tanya Alya pada Syahrul.

"Aku juga ga tahu Al," ujar Syahrul dengan nada lemas. Alya mungkin tidak sadar kalau Syahrul juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Sahabatnya tiba-tiba pergi gitu aja, Syahrul beberapa hari terakhir sering lewat di rumah Bima, berharap ada Bima yang membuka pintu, tersenyum dan mempersilahkan Syahrul masuk dan mereka bisa main game sampai pagi. Seperti sebelumnya. Tapi, Bima tidak ada di mana-mana.

"Kamu emang ga tahu ke mana Bima pergi?" tanya Alya pada Syahrul dengan mata yang penuh kekhawatiran.

"Gue juga ga tahu, Al," ujar Syahrul dengan nada lemas, menundukkan kepala. Alya mungkin tidak sadar kalau Syahrul juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Kehilangan sahabat yang tiba-tiba pergi begitu saja membuat Syahrul merasa hampa. Beberapa hari terakhir, Syahrul sering lewat di rumah Bima, berharap ada tanda-tanda keberadaan sahabatnya. Ia membayangkan pintu rumah Bima terbuka, menampakkan Bima dengan senyum khasnya, mempersilahkan Syahrul masuk, dan mereka bisa main game sampai pagi, seperti dulu.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang