EPS 51

2 0 0
                                    

Besok paginya, Zidan tersadar karena suara dokter dan perawat yang berbicara di dekatnya. Ketika mereka meninggalkan ruangan, Zidan membuka matanya perlahan. Wajahnya sudah mulai tenang, namun kejadian semalam masih membekas dalam pikirannya. Kenapa dia menjadi seperti itu? Apakah pengaruh obat-obatan sedemikian kuatnya? Entah kenapa perasaan sesal dan keputusasaan berkerumun dan melebur menjadi satu, lalu mengembang dengan hebatnya.

Zidan memutar kepalanya, mencari sosok yang dikenalinya. Namun, tidak ada Syahrul di sana. Apakah itu hanya mimpi? Belakangan ini, Zidan sulit membedakan mimpi dan kenyataan jika berkaitan dengan Alya ataupun Syahrul. Satu dua kali hal itu mengganggu misinya. Tidak terlalu mengganggu, tetapi tetap saja mengusik pikirannya.

Dengan tekad kuat, Zidan mencabut infus di tangannya. Sejak remaja, tubuhnya terlatih untuk sembuh dengan cepat. Meski masih ada rasa sakit, ia tetap bangkit dari ranjang rawat dan berjalan menuju jendela. Ia membuka lebar-lebar tirainya dan melihat keramaian di luar sana.

"Jakarta..." Zidan bergumam pelan, menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit lantai atas di Jakarta. Pemandangan kota yang sibuk di luar jendela seolah menjadi pengingat akan kehidupan yang terus berjalan, meski dirinya tengah terjebak dalam kekacauan batinnya.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan Syahrul masuk membawa bingkisan, entah apa isinya. "Bim? Kenapa lu cabut infusnya?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Kenapa kamu masih muncul, Rul?" Zidan memukul-mukul kepalanya, mencoba mengusir kebingungan yang melanda pikirannya. Ia yakin sedang tidak berada dalam pengaruh obat yang ekstrem, tetapi apa yang ada di hadapannya terasa nyata.

"Bim! Cukup, Bim! Ini gue!" Syahrul mencengkeram tangan Zidan agar berhenti memukuli dirinya sendiri. "INI GUE!" Syahrul menyentak untuk menyadarkan Zidan.

"Kamu nyata ya, Rul?" tanya Zidan dengan nada kebingungan.

"Iya, Bim." Syahrul menatap Zidan dengan penuh iba, matanya hampir basah. Zidan terduduk lemas ke lantai begitu mengetahui fakta itu. Jadi, semalam itu benar-benar terjadi?

"Apa yang terjadi semalam, Rul?" Zidan akhirnya bertanya, suaranya masih bergetar.

"Lu mengalami kecelakaan, Bim. Gue kebetulan ada di tempat yang sama dan langsung bawa lu ke rumah sakit," jawab Syahrul dengan nada lembut, Syahrul memapah Zidan untuk duduk di ranjang rawatnya. "Gue ga akan ninggalin lu, Bim. Kita sahabat, kan?"

"Maafin aku Rul," Zidan berkata lirih, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan. Syahrul semakin tidak mengerti, namun ada sesuatu dalam nada Zidan yang membuat hatinya terenyuh.

"Ada banyak hal yang gue ga ngerti dari lu, Bim. Elu bukan anak Kapolri, elu juga ngilang gitu aja, keluarga elu ga jelas asal usulnya." Syahrul duduk di samping Zidan, menatap sahabatnya yang hanya memandang keluar jendela, mengamati keramaian kota yang tampak dari balik kaca lebar. "Bertahun-tahun gue cari tahu elu siapa, gue ga nemu." Syahrul tersenyum miris, mencoba menyembunyikan rasa sakit dan kebingungannya. "Maafin gue ya Bim, gue sahabat elu tapi ga tahu elu siapa."

Kata-kata itu menusuk Zidan berkali-kali. Kata maaf adalah kata yang seharusnya diucapkan Zidan berjuta kali. Ia menunduk, merasakan beban kesalahan dan penyesalan yang begitu berat di pundaknya.

"Tapi..." Syahrul merogoh sesuatu dari balik jaketnya, "gue tahu apa yang elu lakukan selama ini, walaupun gue ga tahu pasti," Syahrul menyerahkan beberapa foto ke Zidan. Itu adalah fotonya sendiri dalam berbagai penyamaran. Ada yang dirinya sedikit kurus dengan kumis tipis mengenakan peci hitam, ada yang versi dirinya yang agak gemuk dengan kemeja kesempitan dan potongan rambut mengkilat, ada yang dirinya sebagai seorang pilot, dan beberapa foto lainnya. "Elu punya banyak wajah dan nama Bim, gue capek tahu ngumpulin ini," Syahrul tertawa pelan. Zidan membeku.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang