EPS 28

4 0 0
                                    

Beberapa hari setelah kesembuhan Bima dari tragedi pengeroyokan, Alya dan Bima sering bertemu di sekolah, duduk bersama di bangku taman atau di pojokan perpustakaan. Semakin sering mereka berbicara, semakin Alya menyadari betapa menariknya Bima. Pada awalnya, ia hanya melihat Bima sebagai anak yang cuek dan suka bolos, tetapi semakin lama mereka berbicara, semakin ia mengerti betapa cerdasnya Bima.

Suatu hari, setelah pelajaran selesai, mereka duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Cahaya matahari sore menyinari wajah mereka dengan lembut, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Alya penasaran dengan pengetahuan Bima yang luas.

"Kamu kok bisa paham sama rumus kaya gini? Kamu kan jarang berangkat," tanya Alya, mengernyitkan dahi melihat buku matematika yang dengan mudah dijelaskan oleh Bima.

Bima hanya tertawa kecil. "Ya gimana ya, rumus kaya gini udah aku pecahin pas masih SMP," jawabnya dengan nada santai.

"Bohong," Alya menatap Bima dengan tatapan tidak percaya, tetapi senyumnya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.

"Ih Alya, aku itu udah tamat SMA pas SMP. Aku ga berangkat ke sekolah ya karena males, ngapain belajar hal yang udah aku pahami?" Bima menjelaskan sambil mengangkat bahu, seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang biasa.

"Kalo gitu, kenapa ga lompat langsung kuliah aja?" tanya Alya lagi, penasaran dengan cerita Bima yang semakin menarik.

"Itu juga aku udah lulus, Alya. Aku ambil hukum, tinggal baca aja bukunya. Aku berani debat sama mahasiswa hukum mana pun," Bima menjawab dengan senyum percaya diri.

"Isshhhh bohong banget," Alya menggeleng-gelengkan kepala, sulit mempercayai apa yang didengarnya.

"Terserah kamu deh," Bima hanya mengangkat bahu lagi, senyumannya tidak pernah hilang.

Kejutan sering Alya rasakan saat bersama dengan Bima. Guyonan ringannya, tawa tanpa beban yang selalu membuat hari-hari Alya lebih ceria. Mereka berbagi cerita tentang mimpi, harapan, dan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa bersama.

Bima adalah orang yang penuh kejutan. Dia bisa berbicara tentang fisika kuantum satu saat, lalu beralih ke diskusi tentang seni dan musik dengan mudah. Wawasannya luas, dan Alya merasa selalu belajar sesuatu yang baru setiap kali mereka berbicara. Alya bingung kenapa Bima yang memiliki pengetahuan seperti itu, malah jarang berangkat ke sekolah⸻ bahkan sering telat. Nilai Bima juga kecil, tidak mencerminkan Bima saat mengobrol dengan Alya.

Kembali ke masa sekarang, setelah menyelesaikan sarapan mereka di kafe, Bima dan Alya keluar dengan hati yang lebih ringan. Bima menatap Alya dengan senyum penuh semangat, "Alya, gimana kalau kita berputar-putar di Cirebon? Aku mau tunjukin kamu beberapa tempat yang keren."

Alya mengangkat alisnya, sedikit terkejut tapi juga tertarik, "Boleh juga, Bim. Kemana aja kita mau pergi?"

Bima tersenyum lebar, "Naik motor aja, kita bisa lebih bebas dan cepat. Aku bawa helm cadangan, tenang aja."

Alya tersenyum dan mengangguk, merasa antusias dengan ide tersebut. Mereka pun naik ke motor Bima, dan dengan cepat meluncur melalui jalan-jalan Cirebon yang ramai.

Mereka pertama kali berhenti di Keraton Kasepuhan, sebuah istana megah dengan arsitektur yang menawan. Alya terpesona melihat keindahan dan sejarah yang terpancar dari setiap sudut bangunan. "Aku jarang ke sini, padahal dekat," kata Alya sambil mengagumi keraton.

Bima tersenyum, "Kadang yang dekat itu yang sering kita abaikan. Kamu harus lebih membuka mata, Alya. Ada banyak hal di sekitar kamu."

"Mungkin aku harus begitu, setelah ini... mungkin saja..." Alya membalas senyum Bima, tapi dibalas senyum begitu Bima jadi salah tingkah sendiri. "Kamu ternyata punya banyak sisi ya Bim, aneh tapi aku suka!" Wajah Bima memerah ketika mendengar hal itu dari Alya. Jantung Bima berdegup kencang, berusaha menahan sesuatu di dalam dadanya.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang