EPS 20

6 0 0
                                    

Aldo keluar dari restoran itu dengan langkah cepat dan penuh amarah, meninggalkan kemewahan dan keromantisan yang telah berubah menjadi kekecewaan. Dia berjalan menuju jalan tempat geng motornya sudah berkumpul, menunggu dengan setia. Sejak tadi, gengnya sudah standby, bersikap sebagai pengawal Aldo, siap untuk menerima perintah apapun.

"Kalian lihat kan anak anjing itu?" tanya Aldo dengan suara yang masih dipenuhi kemarahan, matanya menatap tajam ke arah teman-temannya.

"Gue udah nyuruh anak-anak buat ngikutin dia," kata salah satu babu Aldo yang paling setia, sambil memegang ponsel di tangannya. Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Dia melihat layar ponsel dan senyum puas muncul di wajahnya. "Gue udah dapet lokasinya," katanya, menatap Aldo dengan pandangan penuh kemenangan.

Aldo mengangguk, matanya berkilat dengan tekad. "Bagus, ayo beri salam olahraga ke anak anjing itu! perintahnya dengan nada dingin dan tegas.

Perintah Aldo disambut riuh oleh geng motornya yang lain. Suara sorakan mereka memenuhi udara malam, menandakan semangat yang menggebu-gebu untuk menuntaskan misi mereka. Mesin-mesin motor mulai dinyalakan, deru knalpot yang memekakkan telinga memecah kesunyian malam. Cahaya lampu motor yang berkilauan menambah dramatis suasana, mencerminkan determinasi geng itu.

Mereka pun mulai menyusul untuk mengejar Bima, motor-motor mereka melesat cepat di jalanan kota yang sepi. Aldo memimpin di depan, wajahnya menunjukkan campuran antara kemarahan dan kepuasan akan balas dendam yang akan dia lakukan. Angin malam yang dingin dan suara motor yang menderu-deru semakin membangkitkan adrenalinnya.

Bima melaju dengan cepat di atas motornya, meninggalkan jejak debu di jalanan kota yang mulai sepi. Di belakangnya, deru knalpot dan cahaya lampu motor geng Aldo semakin mendekat, menandakan bahaya yang kian menghampiri. Bima merasakan adrenalin mengalir deras dalam darahnya, berpacu dengan suara mesin motornya yang meraung-raung.

Jalanan malam yang biasanya tenang berubah menjadi arena balapan penuh ketegangan. Bima melirik ke spion, melihat bayangan Aldo dan gengnya yang tak pernah jauh di belakang. Matanya menyipit, fokus pada jalan di depan sambil mencari celah untuk melarikan diri. Tiba-tiba, dia melihat sebuah gang sempit di sisi kanan jalan. Dengan refleks cepat, dia memutar setang motornya dan masuk ke gang tersebut.

"Akhirnya dia datang, ayo sini, anak manja!" Bima bergumam ketika melihat Aldo dari kaca spionnya dan tersenyum sinis setelahnya.

Aldo yang memimpin pengejaran, tidak tinggal diam. Dia memberikan isyarat kepada gengnya untuk menyebar, tidak membiarkan Bima lolos begitu saja. "Ayo, jangan sampai dia kabur!" teriak Aldo, suaranya tenggelam dalam kebisingan motor yang menderu.

Bima terus melaju di gang sempit, merasakan tembok-tembok gedung yang hampir menyentuh stang motornya. Jantungnya berdegup kencang, setiap detik terasa seperti menit. Dia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya jatuh dan tertangkap. Namun, dia tidak menyerah, kakinya menekan pedal gas lebih dalam, mempercepat laju motornya. Tapi, lebih dari apapun Bima justru seakan menikmatinya bahkan tersenyum penuh semangat.

Di belakangnya, Aldo dan gengnya mencoba mengikuti, namun beberapa dari mereka mulai kesulitan. Gang yang sempit dan berkelok-kelok tidak memudahkan pengejaran mereka. Aldo, dengan tekad bulat, tetap fokus pada bayangan Bima yang semakin menjauh.

Bima melihat cahaya di ujung gang, menandakan jalanan utama yang lebih luas. Dengan napas tertahan, dia mempercepat motornya, berharap bisa mencapai jalan utama sebelum geng Aldo berhasil mengepungnya. Dalam sekejap, dia keluar dari gang dan kembali ke jalan besar, menghirup udara segar malam yang terasa lebih bebas.

Aldo yang melihat Bima keluar dari gang, menggeram marah. "Kejar dia!" teriaknya kepada gengnya yang tersisa. Mereka kembali berpacu di jalan besar, namun Bima sudah mendapatkan sedikit jarak.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang