EPS 39

3 0 0
                                    

Begitu Zidan tersadar, dia sudah ada di rumah sakit dengan perban yang menyelimuti tubuhnya. Wajah pertama yang ia lihat adalah Syahrul. Zidan tersenyum, sepertinya Syahrul sudah tidak terlalu marah padanya. Entah kenapa, Zidan jadi merasa lega. Padahal Syahrul ga ada pentingnya dalam misi kali ini, tapi entah kenapa Syahrul jadi penting dalam hidupnya.

"Eh? Lu dah sadar njing?" ujar Syahrul datar. Zidan tertawa mendengar reaksi Syahrul, lalu ia meringis kesakitan setelahnya.

"Nah, mampus! Ketawa aja ga bisa!"

Zidan mencoba bergerak sedikit, tetapi tubuhnya masih terasa sangat sakit. "Lu tahu gak, Rul, gue pikir lu bakal ninggalin gue setelah kejadian kemarin."

"Dokter bilang elu jangan banyak gerak, setan!" Syahrul mendorong Zidan kasar sehingga tubuh Zidan kembali rebah namun rasa sakit itu datang lagi.

"Anjing lu ya, gue lagi kaya gini, lembut dikit kek!"

"Ya terus gue harus treat elu sebagai princes gitu? Idih najis!"

"Ya ga gitu juga!"

Lalu diantara mereka hening, suasana kembali tenang. Walaupun ini rumah sakit dan di ruang rawat yang private, mereka sudah berkali-kali melanggar peraturan rumah sakit. Berisik, memakai kata kasar, dan tidak memanggil dokter begitu pasien sadar. Suara AC terdengar pelan mengisi kesunyian.

"Lu tahu ga si njing? Saat ini rasanya gue pengen banget matahin tulang rusuk lu, mukulin elu sampe mati, terus gue buang jasad lu ke laut," Syahrul menatap lantai di samping Zidan yang terbaring dengan luka-lukannya yang sudah ditangani dokter di rumah sakit.

"Elu sakit ya njing?" Zidan tak menyangka Syahrul akan mengatakan itu, setelah sekian lama mereka ga bicara lagi. Namun saat ini Zidan tahu, di mata Syahrul ada kilatan sedih dan khawatir. Hening lama, mata Syahrul semakin padam. "Sorry ya," kata Zidan, ia tahu ia salah karena membuat Syahrul harus teringat akan traumanya.

"Kan udah dibilangin, lu ngeyel banget Bim, anjing!" kata Syahrul sambil menghela napas, merasa campuran antara khawatir dan kesal. Syahrul memang masih marah sama Bima, apalagi setelah pengeroyokan itu. Tapi, Syahrul juga tidak bisa menghilangkan rasa kekhawatiran di dalam hatinya.

"Ya... gue ngerasa gue harus ngelakuin ini," Bima tidak menemukan kata-kata lain yang bisa ia ucapkan pada Syahrul.

"Ya lihat elu sekarang!" Syahrul jadi kesal sendiri.


Setelah Syahrul, dua orangtuanya Aldo, dan Alya sempat kemari dan meladeni mereka, Zidan entah kenapa merasa mengantuk. Mungkin karena obat pereda sakit yang mengandung bisu atau apa, Zidan jadi tertidur dengan lelap.

"Bangun! Mana laporannya!" suara tegas yang sangat Zidan kenal menggema di ruangan. Dengan tangan yang kuat, ia menepak wajah Bima.

"Aduh, aduh, aduh! Ini masih sakit, lho!" Zidan meringis, mencoba menahan rasa sakit yang masih mendera tubuhnya. Walaupun ada bius, tetap saja kalau sakitnya dipicu ya tetap kerasa juga.

"Udah deh, masa dikeroyok geng motor norak kampungan kayak gitu aja pake ke rumah sakit segala. Bayarnya mahal, tahu!" dengan nada penuh kejengkelan, dia membalas. Orang yang berperan menjadi bapaknya Zidan di misi ini. Sang Kapolri itu sendiri.

"Astaga, walaupun saya bisa meredam dan mengurangi dampak dari pukulan mereka, ya tetep sakit, lho, ini, Pak. Bersikap lembut dikit kek, lagian ini masih malam. Apa gak bisa besok? Saya bahkan baru menerima bius, lho ini!" Bima memohon dengan nada yang lelah.

"Gak bisa! Mana buktinya?!" sang Kapolri seakan tak kenal ampun dan tetap mendesak, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.

"Astaga." Bima merogoh sakunya dengan susah payah. "Nih!" Ia menyerahkan sebuah flashdisk dengan gerakan malas.

"Gitu dong," Kapolri pun mengambil flashdisk itu dan berbalik untuk pergi. "Hah... harusnya saya gak turun langsung ke sini. Kamu kenapa sih minta saya turun langsung?"

"Ya bapak tahu sendiri, orang kaya mereka itu harus digetok sama orang yang lebih kuasa dari mereka. Dan kita harus main halus. Underground kayak begini lebih cocok buat nangani orang-orang kaya mereka. Tapi kalau bapak mau cara yang lebih kasar, senyap tapi masif ya... Saya bisa sih, tapi butuh partner lebih banyak."

"Udahlah, saya gak mau banyak-banyak ngotorin tangan saya tahun ini. Tahun depan masih banyak bajingan yang perlu kita eksekusi," Kapolri menghela napas panjang, kelelahan terpancar dari wajahnya. Sedari siang dia bolak-balik ke banyak tempat. Ya memang dia sendiri yang membuat sistem seperti ini. Anak buahnya yang mengeksekusi, ia akan mengurus sisanya yang formal-formal.

"Anak buah yang bapak kirim itu lambat banget, masak nungguin saya babak belur dulu? Dan cara nangkepnya, astaga, terlalu kasar, Pak." Zidan mengeluh, mencoba menjelaskan situasinya. Walaupun ia sendiri tidak ingat pernah beraksi lembut pada targetnya.

"Ya kan biar banyak bukti, lagian mereka mana mau patuh sama SOP," balas Kapolri santai.

"Yakin tuh, gak mau bubarin divisi kayak mereka? Saya sih sudah biasa kerja sendiri," Zidan bertanya dengan nada sinis.

"Mereka emang kayak gitu, tapi banyak kasus yang sulit digapai orang-orang yang terikat pangkat dan SOP kayak saya, bisa mereka selesaikan dengan mudah." jawab Kapolri tanpa ragu. Dia membanggakan divisi bayangan yang berada di bawah kendalinya. Banyak kasus yang terpecahkan, banyak bajingan yang sudah mendekam di penjara. Atau hanyut di sungai, atau tenggelam di laut, atau hilang tampa jejak dan atau-atau lainnya.

"Ndan, saya bisa tinggal lebih lama di sini?" Zidan meminta izin dengan nada berharap. Jika ada maunya, Zidan akan panggil Ndan.

"Kenapa? Alasan pribadi?" Zidan hanya diam saja, sungkan menjawab. Sang Kapolri hanya menarik napas pelan. "Cuma seminggu."

"Makasih, Ndan." Zidan mengucapkan terima kasih dengan tulus.

"Saya sudah bosen bilang ini, tapi... jangan terikat dengan siapapun." Sang Kapolri mengingatkan Zidan sekali lagi, sebelum meninggalkan ruangan.

Zidan terdiam, merenung. Entah kenapa, dalam hatinya berdebar kencang. Ada banyak rasa yang terakumulasi secara tidak jelas. Entah kenapa, dia tidak ingin cepat-cepat pergi dari Cirebon. Pergi dari Syahrul dan Alya.


Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang