Zidan terdiam, merenung dalam keheningan yang mendalam. Entah kenapa, dalam hatinya berdebar kencang. Ada banyak rasa yang terakumulasi secara tidak jelas, bercampur aduk menjadi satu perasaan yang membingungkan. Dia tahu waktunya di Cirebon sudah hampir habis, namun perasaan berat itu membuatnya enggan untuk pergi. Pergi dari Syahrul dan Alya terasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang baru saja ia temukan.
Zidan memang terikat dengan Alya dan Syahrul. Persahabatan yang tulus dengan Syahrul, dan perasaan yang mulai tumbuh untuk Alya, membuatnya merasa dilema. Misinya hampir selesai, dan ia tahu bahwa untuk menyelesaikannya dengan sempurna, ia harus menghapus keberadaannya di Cirebon. Artinya, menghapus keberadaan Bima, identitas yang selama ini ia gunakan. Tapi itu juga berarti menghapus kehadirannya dalam kehidupan Syahrul dan Alya.
Saat mereka berkumpul, bercanda, dan mengobrol bersama, Zidan selalu merasakan kehangatan yang berbeda. Di hatinya, ia selalu berpikir bahwa kebersamaan ini tidak akan bertahan lama. Segera, ia harus mengakhiri semuanya dan pergi. Namun, semakin ia merasakan kedekatan dengan mereka, semakin sulit baginya untuk menghadapi kenyataan bahwa ia harus meninggalkan mereka.
Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, sanggupkah ia melakukannya? Meninggalkan orang-orang yang telah membuatnya merasa hidup kembali, orang-orang yang telah memberikan warna baru dalam hidupnya? Pertanyaan itu terus menghantuinya, menggerogoti keyakinannya. Zidan tahu bahwa misi ini lebih besar dari perasaannya, namun di lubuk hatinya, ada keraguan yang tak bisa ia abaikan.
Setiap kali ia melihat sinar mata Alya, atau mendengar tawa Syahrul, perasaan berat itu semakin nyata. Zidan tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang sulit. Melanjutkan misinya berarti mengorbankan perasaan pribadinya, mengorbankan hubungan yang telah ia bangun dengan susah payah. Namun, ia juga tahu bahwa bertahan di Cirebon bukanlah pilihan yang bijak, mengingat bahaya yang mungkin datang.
Perasaan dilematis itu membuat Zidan merenung lebih dalam. Ia tahu bahwa misi ini penting, namun apakah pentingnya misi ini sebanding dengan kehilangan yang harus ia alami? Apakah ia bisa benar-benar meninggalkan Syahrul dan Alya tanpa merasa menyesal seumur hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan ini terus membayangi pikirannya, membuatnya sadar bahwa keputusan yang harus ia ambil tidaklah mudah.
Zidan hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, ia akan menemukan jawabannya. Jawaban yang akan membawanya pada keputusan yang benar, meskipun keputusan itu harus ia bayar dengan harga yang sangat mahal.
"Ndan, saya minta waktu lagi di Cirebon."
"Buat apa?!" sentak Kapolri dari seberang telepon. "Kita sudah dapat semua bukti, satu langkah lagi, dinasti kekuasaan di Cirebon akan hancur! Pulang kau ke markas, sekarang!" sudah dia duga jika Zidan terikat dengan misinya di Cirebon. Dari beberapa hari terakhir ini, Kapolri juga merasakan jika ada yang aneh dari Zidan. Hal itu wajar terjadi, bahkan dirinya dulu pun pernah sekali. Tapi, hal wajar tidak bisa dibiarkan, itu akan mengganggu misi.
"Tapi Ndan," Zidan seperti bocah yang merengek izin ke orangtuanya untuk main ke lapangan bersama teman-temannya. Memang, masa kecil Zidan minim sekali. Hidupnya sedari kecil selalu berkaitan dengan bela diri, pisau dan segala hal tentang intelegensi. Maka dari itu, sisi kecil Zidan ataupun sisi remaja Zidan seakan memberontak berkali-kali selama misinya di Cirebon. Sesekali ia bahkan terbawa suasana dan mulai merasa jika ia memang benar-benar remaja SMA. Mungkin itu terjadi karena dia dekat dengan anak-anak SMA.
"Pulang sekarang, Zidan! Sebelum kamu membahayakan misi! Dan sebelum kamu kehilangan diri kamu sendiri!" Zidan pun paham, seorang intel akan merusak misi jika sudah tercampur emosi. Zidan paham itu, saat ini pun mungkin dia secara tidak sengaja merusak misi yang hampir selesai ini. Rekan-rekannya yang lain sudah membantunya sampai saat ini, mengumpulkan bukti, bergerak sendiri-sendiri dengan satu koordinasi jarak jauh, sekarang apa yang diperlukan sudah siap.
"Saya akan pulang, Pak. Tapi besok, ya!" lalu Zidan menutup teleponnya sebelum Kapolri mengomelinya lagi. Zidan menghembuskan napas pelan. Zidan tahu bahwa ia tidak bisa menahan waktu, namun ia berharap satu malam lagi akan memberinya kekuatan untuk meninggalkan mereka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tapi ia juga tahu bahwa misinya lebih besar dari perasaan pribadinya. Zidan duduk di tepi tempat tidurnya, merenung dalam keheningan malam. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, mereka akan mengerti dan memaafkannya atas keputusan yang ia buat.
Pagi itu, setelah semalaman memantapkan hatinya, ia tiba di stasiun untuk kembali ke markas besarnya yang ada di Jakarta. Urusan di Cirebon, sudah ia serahkan kepada rekan-rekannya. Misi ini sudah kelihatan hasilnya. Para bajingan itu terlalu fokus pada urusannya Aldo, sehingga celah-celah dimanfaatkan Zidan dan pasukannya untuk mengumpulkan bukti dan mengambil kesempatan. Tinggal satu gerakan jari dari Kapolri, para bajingan itu sudah bergelang borgol.
Zidan sudah memantapkan hati, ia harus pergi. Tapi, ia tiba-tiba terkejut karena melihat Alya. "Bima?" sapa Alya dengan suara yang lembut namun cukup keras untuk mengatasi kebisingan di stasiun.
Zidan tersentak kaget, matanya melebar saat melihat Alya. "Alya? Kamu ngapain di sini?" tanyanya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Alya tersenyum tipis. "Aku baru saja mengantarkan ayah dan ibu." Alya menatap Bima dengan rasa ingin tahu. "Kamu sendiri kenapa di sini? Mau pergi ke mana?"
"Eh? Enggak, aku suka nongkrong di sini," Bima jadi panik sendiri, bingung mau mengatakan apa.
"Apaan si, bohong banget," Alya tertawa melihat kekikukan Bima.
Zidan terlihat ragu sejenak, matanya melirik sekeliling seperti mencari jawaban di udara. "Aku... ada urusan penting, Alya. Harus pergi ke Jakarta. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan." Dan tanpa sadar dia membocorkan tujuannya, meski tidak spesifik.
Alya mengangguk pelan, meski dalam hatinya timbul banyak pertanyaan. "Ya udah deh, semoga urusanmu lancar, Bim. Aku pergi dulu ya, dah!" Alya melambaikan tangan kepada Zidan, sementara itu Zidan hanya mematung berusaha membalas lambaian Alya.
"Jangan kejar!" Zidan berteriak pada dirinya sendiri. "Jangan! Kereta mu sudah hampir tiba, kau bisa pergi dan melupakan semuanya! Jangan kejar dia! Jangan!" tapi, entah sudah berapa kali, tubuhnya seakan bergerak dengan sendirinya.
Baru beberapa langkah Alya meninggalkan Zidan yang terlihat aneh itu, Zidan mengejar Alya dengan berlari kecil, "Al!" Alya menengok, "elu.. elu sibuk ga hari ini?" Zidan malah terbata-bata, sesuatu yang jarang Alya dengar.
Alya berhenti sejenak, lalu tersenyum dengan penuh rasa ingin tahu. "Enggak, kenapa memangnya? Ada apa, Bim?"
Bima menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "ja-ja-ja⸻ Jalan, yuk!" Bima masih terbata-bata.
"Kemana?" Alya setengah tertawa, tapi Alya tidak berniat menolak Bima.
"Ya kemana-mana, yuk!" Bima merasa gugup, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Tapi dia tetap berusaha untuk tampak santai. "Kita bisa ke taman, atau mungkin ke kafe, terserah kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Name
Romance[TAMAT] Alya adalah anak yang berprestasi, cerdas, dan menjadi siswi teladan di sekolahnya. Sementara itu Bima, anak pindahan dari Jakarta adalah siswa yang malas, jarang masuk, sering telat dan sering dapat nilai rendah. Bima jatuh hati pada Alya...