EPS 32

3 0 0
                                    

Tak lama setelah suasana canggung dan tegang di rumah Alya, sebuah berita besar mengguncang Cirebon. Keluarga Aldo, serta ayah dan ibu Alya, dan para kaki tangannya serta cabang-cabang sampai ke akarnya, ditangkap oleh aparat penegak hukum. Kapolri sendiri yang memimpin semua operasi penangkapan itu. Tuduhan yang dikenakan kepada mereka bukanlah perkara kecil: korupsi, suap, penggelapan dana, kecurangan politik seperti saat pemilu dan pilkada, penyalahgunaan kekuasaan, dan berbagai kejahatan lainnya.

Penangkapan ini menjadi perbincangan hangat di seluruh kota. Media-media lokal yang biasanya bungkam mulai memberitakan dengan gencar. Foto-foto penangkapan, wajah-wajah tegang dan pasrah ayah serta ibu Alya, menghiasi halaman depan koran dan layar televisi. Semua orang berbicara tentang itu, dari warung kopi hingga kantor-kantor pemerintah.

Kursi Kapolres Cirebon kosong, kursi Bupati Cirebon kosong, kursi Walikota Cirebon kosong. Kekosongan ini menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat. Namun, yang terjadi bukanlah kekacauan dalam bentuk unjuk rasa atau protes besar-besaran. Sebaliknya, kota ini dilanda semacam euforia perayaan. Seolah-olah menyaksikan negeri yang baru saja melakukan revolusi besar-besaran.

Di pasar-pasar, pedagang dan pembeli berbicara dengan semangat baru. Mereka berbisik-bisik tentang kejatuhan para pejabat yang selama ini dianggap untouchable. Di warung kopi, suara-suara bercampur antara ketidakpercayaan dan kelegaan. "Akhirnya keadilan datang juga," kata seorang pria tua sambil menyeruput kopinya. "Sudah lama kita menunggu momen ini," tambah yang lain.

Di jalanan, orang-orang saling bertukar senyum. Anak-anak berlari-lari dengan riang, seolah-olah merasakan kebebasan yang baru. Bahkan di kantor-kantor pemerintah, di mana biasanya suasana tegang dan penuh tekanan, para pegawai terlihat lebih santai. Mereka berbicara dengan nada lebih terbuka, tanpa rasa takut akan pengawasan ketat.

Perayaan ini memang terasa aneh. Bukan dalam bentuk pesta besar atau karnaval, tetapi lebih kepada rasa syukur yang mendalam. Rakyat Cirebon merasa seperti mendapatkan kembali kota mereka yang selama ini terkungkung oleh ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Di rumah Alya, suasana jauh berbeda. Meskipun ada perasaan lega yang samar, tetapi kesedihan dan kebingungan masih mendominasi. Alya berusaha memahami situasi yang terjadi, meski hatinya terasa berat. Dia duduk di ruang tamu yang kini sepi, menatap foto keluarganya yang masih terpajang di dinding. Foto-foto itu sekarang memiliki makna yang berbeda, seolah-olah mengingatkan pada masa lalu yang penuh dengan kebohongan.

Ketika malam tiba, suara-suara perayaan kecil masih terdengar dari kejauhan. Alya merenung sendirian di kamarnya, mencoba memproses semua perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Dia tahu bahwa meskipun keluarganya telah jatuh, dia harus tetap kuat dan melanjutkan hidup. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan direncanakan, dan dia tidak ingin tenggelam dalam kesedihan terlalu lama.

Keesokan harinya, saat Alya pergi ke sekolah, suasana di sana juga penuh dengan bisik-bisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu. Teman-temannya, termasuk Syahrul, Rini, dan Ranti, mencoba memberikan dukungan, meskipun mereka sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi.

Alya merasa dunia di sekitarnya runtuh. Dia masih duduk di meja makan, menatap kosong ke arah piring sarapannya. Berita itu baru saja disiarkan, dan dia masih berusaha mencerna semuanya. Bagaimana bisa? Ayah dan ibu yang selama ini ia kenal sebagai orang yang berintegritas ternyata terlibat dalam begitu banyak kejahatan.

Air mata mengalir di pipinya, tetapi di dalam hatinya ada perasaan yang bertentangan. Alya memang sedih, sangat sedih. Dia kehilangan kedua orang tuanya yang kini harus menghadapi hukum atas perbuatan mereka. Tetapi, di balik kesedihannya, entah mengapa ada perasaan lega yang tak bisa ia jelaskan. Seperti ada beban berat yang terangkat dari dadanya, memberi ruang untuk bernafas lebih lega.

Saat malam tiba, Alya duduk sendirian di kamarnya. Pikirannya berputar-putar, mengenang kembali masa-masa di mana ia selalu dipaksa mengikuti jejak dan keinginan orang tuanya. Betapa sering ia merasa terkekang, tidak memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Dan sekarang, meskipun dengan cara yang sangat pahit, ia merasa ada kebebasan yang baru.

Di sekolah, suasana terasa canggung. Teman-temannya, termasuk Syahrul, Rini, dan Ranti, menatapnya dengan campuran rasa kasihan dan bingung. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap. Alya berusaha tersenyum, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meskipun dalam hatinya terjadi pergolakan besar.

"Alya, elu ga papa?" tanya Syahrul hati-hati saat mereka duduk bersama di kantin. Syahrul memang sudah menduga jika keluarga Alya terlibat dengan segala perbuatan keluarga Aldo. Tapi, seperti yang dikatakan Rini padanya, mungkin saja Alya tidak tahu menahu. Tapi, di hati Syahrul tetap terasa ganjil.

Alya mengangguk pelan. "Aku baik, Rul. Terima kasih sudah peduli." Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi mata Alya masih menyimpan kepedihan yang dalam.

"Kalau ada apa-apa, gue sama Rini ada di sini, ya," tambah Ranti, mencoba memberikan dukungan.

"Terima kasih, kalian semua," jawab Alya dengan suara bergetar. "Aku hanya butuh waktu untuk mencerna semua ini."

Di tengah segala kekacauan itu, Alya kembali teringat kepada Bima. Bagaimana jika Bima masih ada di sini? Mungkin dia akan tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin dia akan menjadi teman yang bisa membuatnya merasa lebih tenang. Namun, Bima sudah pergi, dan Alya harus menghadapi semuanya sendirian.

Waktu berlalu, dan perlahan-lahan Alya mulai menemukan kekuatan dalam dirinya. Dia mulai fokus pada persiapan olimpiade lagi, menggunakan kesedihannya sebagai motivasi untuk maju. Meskipun hatinya masih terasa berat, ada perasaan lega yang mulai tumbuh, seolah-olah kebebasan yang selama ini ia impikan akhirnya mulai terwujud.

Alya mulai merencanakan masa depannya dengan cara yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia ingin hidup mandiri, membuat keputusan sendiri, dan menemukan jati dirinya yang sejati. Di tengah badai yang melanda hidupnya, Alya menemukan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

Dan meskipun masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, satu hal yang pasti: Alya siap menghadapi dunia dengan kepala tegak, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang kelam dan menyambut hari esok dengan harapan baru.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang