EPS 11

5 0 0
                                    

Di sudut perpustakaan yang tenang, Alya duduk dengan tenang di meja kayu besar yang dipenuhi buku-buku dan lembaran kertas latihan olimpiade. Matanya fokus pada soal-soal matematika yang ada di depannya, sementara tangannya dengan cekatan menuliskan jawaban-jawaban di atas kertas. Bagi Alya, matematika bukan hanya pelajaran, tetapi juga pelarian. Ketika pikirannya dipenuhi oleh kecemasan atau kebingungan, ataupun seperti sekarang yaitu rasa malu akibat ulah Bima⸻ mengerjakan soal-soal matematika adalah cara terbaik untuk mengalihkan perhatiannya dan menemukan ketenangan.

Seiring waktu berlalu, Alya merasa sedikit lebih tenang. Setiap jawaban yang berhasil ditemukannya memberikan rasa pencapaian kecil yang membantu menenangkan pikirannya. Di tengah suasana hening perpustakaan, Alya bisa mendengar suara lembut pensil yang bergesekan dengan kertas, suara lembaran buku yang dibalik, dan bisikan rendah dari beberapa siswa lain yang sedang belajar.

Tiba-tiba, suasana hening itu terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Alya mengangkat kepalanya dan melihat Bima berjalan masuk dengan santai, senyumnya yang khas melekat di wajahnya. Dia melangkah ke arah Alya dengan gaya santainya, dan Alya tahu bahwa kedamaian yang baru saja ditemukannya mungkin akan segera terganggu.

"Halo Alya! Lagi ngapain? Serius amat mukanya," sapa Bima dengan nada ceria, menarik kursi dan duduk di depannya tanpa diundang. Alya melirik sesaat pada wajah Bima yang sedikit babak belur, tapi Alya tetap mengabaikannya dan menganggap kalau itu mungkin biasa bagi anak bandel seperti Bima.

Alya mendesah pelan, mencoba menjaga ketenangannya. Alya berusaha mengabaikan kehadiran Bima dan tetap fokus pada soal-soal di hadapannya. Memikirkan jawaban dan rumus masih lebih baik daripada memikirkan bagaimana harus menghadapi makhluk unik satu ini, begitu pikir Alya.

"Kamu, marah ya sama aku?" Alya masih diam, semakin malas menanggapi Bima. Tapi, kehadiran Bima di sini membuat Alya jadi tidak fokus, angka-angka itu terasa buyar, simbol-simbol jadi terlihat tidak jelas dan huruf-huruf jadi semakin mengganggu. "Maaf ya, kalo kamu marah, aku emang suka iseng." Bima nyengir kuda dan menggaruk kepala yang mungkin udah lama ga keramas itu. Sementara Alya semakin tajam menekuk dahinya.

Lama mereka saling diam. Bima duduk di sebelah Alya, memperhatikannya dengan intens. Tatapannya tak bergeming, seolah-olah dia sedang mencoba membaca setiap pikiran yang melintas di kepala Alya. Alya mencoba fokus pada soal-soal matematikanya, tetapi semakin lama, semakin sulit baginya untuk berkonsentrasi. Bima yang terus-menerus menatapnya membuatnya merasa tidak nyaman.

Alya mulai menggeliat di kursinya, mencoba mengabaikan Bima, tetapi tidak berhasil. Setiap kali dia menulis jawaban, dia bisa merasakan tatapan Bima yang masih terpaku padanya. Alya menekan pensil lebih keras dari biasanya, berharap suara goresan di kertas bisa menutupi rasa resah yang semakin mendesaknya.

"Kamu ngapain sih! Issshhh, sana pergi!" Alya seperti mengusir anak ayam yang bandel mengorek-ngorek pasir pekarangan. Ingin sekali Alya menimpuk Bima dengan buku-bukunya, tapi Alya lebih sayang sama buku-bukunya ketimbang rasa sebalnya pada Bima. Tapi Bima justru senyum sumringah, dalam benaknya dia justru lega karena Alya setidaknya masih merespon.

"Aku ga ngapa-ngapain Al!" Bima setengah tertawa membela dirinya. "Lagian perpustakaan kan tempat umum?" Alya kena skak mat, dia tidak bisa membalasnya.

"Ya cari tempat lain aja sana!" hanya itu yang bisa Alya katakan untuk mengusir Bima, tapi Bima mana mau langsung pergi gitu aja.

"Udah deh, daripada kita diusir sama yang jaga perpus, mending kita sama-sama belajar aja. Lagi belajar apa si?" Bima tetap tenang dan tak tergoyahkan. Alya menimbang, benar juga kata si anak ga jelas ini. Akhirnya, dia memutuskan untuk diam dan mencoba kembali fokus pada soal-soalnya.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang