EPS 50

3 0 0
                                    

Gelap. Zidan tidak melihat apapun, bahkan ia sulit merasakan tubuhnya sendiri. Samar-samar, ia merasa seperti bergerak cepat, seolah melayang di antara kesadaran dan kegelapan. Dengan perlahan, Zidan membuka matanya. Di hadapannya, ada seseorang yang berteriak panik. Seorang pria berusia pertengahan dua puluh, berjanggut dan berkumis, menatapnya dengan wajah cemas yang tidak terlalu jelas.

"Bim! Bima! Sadar Bim!" teriak pria itu.

"Ru...llll?" suara Zidan lemah, hampir tak terdengar. Tubuhnya yang bersimbah darah diangkat ke ambulans dan dibawa ke rumah sakit. Syahrul, yang berada di jalan yang sama dengan Zidan, langsung panik begitu melihat salah satu korban kecelakaan beruntun itu adalah sahabat lamanya, Bima.

"Bangun Bim! Lu harus tetep sadar!" Suara Syahrul terdengar putus asa, hampir menangis. Zidan dibaringkan di atas kereta dorong dan langsung dibawa masuk ke ruang gawat darurat.

"Eh, elu jangan mati dulu, anjing!" Syahrul tanpa sadar mengumpat, membuat petugas medis di sekitarnya merasa tidak nyaman, tapi Syahrul tidak peduli.

Begitu masuk ke IGD, Syahrul harus merelakan sahabatnya itu ditangani oleh petugas medis lainnya. Ia hanya bisa pasrah dan menunggu, berdoa dalam hati agar Bima selamat. Waktu terasa berjalan lambat. Syahrul duduk di ruang tunggu, tangan terkepal erat, berusaha menahan air mata. Kenangan-kenangan masa lalu mereka berputar di pikirannya, membuat hatinya semakin berat.

Setelah ditangani oleh petugas medis, Bima dibawa ke ruang rawat. Syahrul mengurus segala administrasi dan tetek bengek lainnya, memastikan sahabatnya mendapatkan perawatan terbaik. Setelah semuanya beres, ia masuk ke ruang rawat Bima. Di dalam ruangan itu, Bima terbaring lemah, tak sadarkan diri, dengan banyak perban membalut tubuhnya dan tetes demi tetes infus menambah kecemasan di hati Syahrul.

Syahrul terduduk lemas di sofa dekat ranjang rawat. Ia tahu bahwa sahabatnya itu tidak akan bangun untuk beberapa saat, seperti yang dikatakan dokter, namun tetap saja rasanya tidak enak baginya. Berbagai kenangan bersama Bima berputar di benaknya, menambah beban emosional yang ia rasakan. Dia tidak bisa tenang, pikirannya terus berputar tentang kondisi sahabatnya, tentang masa lalu, dan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Bima.

Saat Syahrul sedang tenggelam dalam kegelisahannya, pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Seorang pria masuk dengan gerakan yang tegas dan tidak santai. "Anda siapa?!" suaranya tegas dan mengintimidasi, tubuhnya tinggi dan kekar, mengenakan seragam tentara yang membuatnya tampak lebih menakutkan.

Namun, Syahrul yang sudah terbiasa berurusan dengan aparat, tidak gentar. Ia menjawab dengan tegas dan berani, "Saya sahabatnya!"

Si tentara itu terlihat kebingungan, matanya menatap Syahrul seolah mencari kebenaran dalam jawabannya. Setelah beberapa detik yang terasa lama, tentara itu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan. Syahrul tidak mengerti, siapa sebenarnya Bima? Pertanyaan itu terus bergema dalam benaknya.

Syahrul kembali menatap Bima yang terbaring lemah. Ada begitu banyak hal yang tidak ia ketahui tentang sahabatnya itu. Apa yang sebenarnya dilakukan Bima selama ini? Kenapa ada tentara yang datang mencarinya? Syahrul merasa seolah ada lapisan misteri yang semakin menebal di sekitar sahabatnya.

Di saat Syahrul mencoba mencerna semua yang terjadi, ia memutuskan untuk tetap berada di samping Bima. Ia merasa harus menjaga sahabatnya, setidaknya sampai Bima bangun dan memberikan penjelasan. Malam semakin larut, dan Syahrul terjaga di samping ranjang, memastikan setiap detik bahwa sahabatnya itu tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Jam demi jam berlalu, dan Syahrul tetap terjaga, matanya sesekali melirik ke arah pintu, khawatir tentara tadi akan kembali atau mungkin orang lain yang datang mencari Bima. Sambil menunggu, ia berdoa dalam hati agar Bima segera pulih dan mampu memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang kini menghantui pikirannya.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang