EPS 48

3 0 0
                                    

Setelah lima tahun sejak kelulusan sekolah, Alya memulai hidup baru di Bandung. Ia berkuliah di sana dan kini mengurus bisnis keluarganya yang selama ini dikelola oleh tantenya. Perlahan, Alya mulai terbiasa dengan tanggung jawab baru ini dan mampu mengurus bisnis itu sendirian, meskipun sesekali masih meminta bantuan dari keluarganya yang lain. Kenangan tentang Aldo, ayahnya, ibunya, keluarga Aldo, dan Bima semakin jauh. Itu sudah tujuh tahun berlalu, tidak terasa.

Alya menyadari bahwa ia perlu mengenal lingkungan baru, suasana baru, dan orang-orang baru. Di Bandung, banyak orang yang ia temui, beberapa tinggal, beberapa pergi, ada yang tinggal namun terasa asing, dan banyak yang hilang tanpa kabar. Alya menghadapi banyak perubahan dalam hidupnya, belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua orang yang datang akan tetap tinggal.

Di Bandung, Alya beberapa kali menjalin hubungan asmara. Namun, lebih sering hubungan itu gagal karena ternyata ia tidak bisa melupakan Bima. Bima selalu menggugurkan hubungan asmaranya. Pria-pria yang datang dalam hidupnya menyadari bahwa Alya belum benar-benar lepas dari masa lalunya. Mereka merasa bersaing dengan bayangan Bima yang terus menghantui Alya. Beberapa dari mereka memilih pergi, meninggalkan Alya dengan rasa kehilangan yang baru. Ada juga yang Alya pilih untuk menjauh karena merasa bersalah akibat hatinya yang masih terpaut dengan Bima.

Alya sering merenung di kamarnya, memandangi foto-foto masa lalu yang masih tersimpan rapi. Ia bertanya-tanya kenapa Bima begitu membekas di hatinya, bahkan setelah sekian lama. Meski sudah berusaha keras, bayangan Bima selalu hadir dalam pikirannya. Ia mencoba mengisi kekosongan hatinya dengan kesibukan, mengurus bisnis dan berinteraksi dengan teman-teman baru. Namun, di malam yang sepi, kenangan tentang Bima selalu kembali, menyelimuti pikirannya.

Suatu hari, Alya bertemu dengan teman lamanya yang kini juga tinggal di Bandung. Meski sulit disebut teman karena umur mereka terpaut lumayan jauh, Alya sering menganggap pria itu sebagai kakaknya ketimbang temannya. Mereka beberapa kali bertemu di kampus Alya, tempat pria itu sering mengisi seminar. Awalnya, hubungan mereka tidak terlalu dekat, tetapi seiring waktu, Alya merasa harus kembali membuka hatinya sekali lagi dan membiarkan pria itu masuk.

Namun, tetap saja, Bima masih menjadi batu sandungan dalam hubungan yang berusaha ia jalani. Suatu sore, mereka duduk di sebuah kafe yang tenang, berbicara tentang masa depan dan harapan-harapan mereka. Alya merasa nyaman, tetapi ada sesuatu yang masih menghantui pikirannya.

"Aku ga bisa, aku masih belum selesai," ujar Alya dengan suara pelan namun penuh kepastian.

"Dengan masa lalumu itu?" pria itu menatap Alya dalam-dalam, senyumnya penuh pengertian. "Aku tidak mempermasalahkan itu."

"Tapi ini akan jadi masalah," Alya berkata tegas, "aku tidak bisa memulai karena aku harus selesaikan masa laluku ini dulu!"

Pria itu mengangguk, memahami kebingungan dan rasa sakit yang masih dirasakan Alya. "Lalu sampai kapan kamu akan terjebak?" tanyanya dengan lembut, tetapi tegas. "Mau sampai kapan? Akan lebih mudah jika kita bersama. Percayalah padaku, kita kesampingkan masa lalumu itu, dan kita mulai kisah kita sendiri. Dengan sendirinya, masa lalu itu akan pergi."

Alya terdiam, hatinya bergejolak. Pria itu berusaha meyakinkan Alya, membuatnya merasa tenang. Kata-katanya menyentuh hati Alya, tetapi bayangan Bima masih kuat menghantui pikirannya. Pria itu memegang tangan Alya, memberikan sentuhan hangat yang menenangkan.

"Aku tahu ini sulit," lanjut pria itu, "tapi kamu tidak sendirian. Kita bisa melalui ini bersama. Kita bisa membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih dari masa lalumu."

Alya menatap pria itu, melihat ketulusan di matanya. Ia tahu bahwa pria ini benar-benar peduli padanya dan bersedia menunggu. Namun, bayangan Bima tetap menjadi beban yang harus ia lepaskan.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang