EPS 43

3 0 0
                                    

Zidan menjalani hari-harinya dengan perasaan hampa. Setiap detik terasa seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan. Liburannya yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat dan melepaskan diri dari tekanan misi, malah berubah menjadi rangkaian aktivitas tanpa makna. Ia mencoba mengisi waktu dengan menonton TV, tapi acara yang ditontonnya hanya menjadi latar belakang bising tanpa makna. Adegan demi adegan berlalu di layar, namun pikirannya melayang entah ke mana.

Setiap kali ia membuka komik yang belum sempat dibacanya, Zidan berharap bisa tenggelam dalam dunia fantasi dan melupakan sejenak kenyataan yang menghimpit. Namun, setiap halaman yang ia balik, hanya mengingatkannya pada ketidakberdayaannya sendiri. Cerita-cerita itu yang biasanya bisa membawanya jauh dari dunia nyata, kini terasa hampa dan tak bisa menghiburnya. Ia hanya bisa menatap gambar-gambar di halaman, merasakan kekosongan yang semakin mendalam di hatinya. ia berusaha menghindari main game karena itu akan mengingatkannya dengan Syahrul,

Pikirannya terus berputar, kembali ke saat-saat bersama Alya dan Syahrul di Cirebon. Ia ingat bagaimana mereka tertawa bersama, berbagi cerita dan impian. Setiap momen bersama mereka terasa begitu berharga, namun sekarang semua itu hanya menjadi kenangan yang menghantuinya. Zidan merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, di mana setiap usaha untuk melupakan justru membuatnya semakin tenggelam dalam kenangan.

Hari-hari berlalu dengan lambat, seolah waktu bergerak dalam kecepatan yang berbeda. Zidan merasa hidupnya hanya berjalan di tempat, tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ia mencoba mencari penghiburan dalam aktivitas sehari-hari, namun semuanya terasa sia-sia. Bahkan hal-hal kecil yang dulu bisa membuatnya senang, kini tak lagi memberikan kebahagiaan yang sama.

Setiap malam, saat kesunyian menyelimuti rumahnya, Zidan merasakan kesepian yang tak tertahankan. Pikiran tentang masa depan yang tak pasti terus menghantuinya, membuatnya sulit untuk tidur. Dalam gelap, ia sering terjaga, memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Apakah ia harus kembali ke Cirebon? Apakah ia harus melanjutkan hidupnya tanpa mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa ada jawaban yang memuaskan.

Zidan duduk di sofa ruang tamunya yang luas, dengan pandangan kosong terpaku pada layar televisi. Berita yang sedang disiarkan menarik perhatiannya, tapi bukan dengan cara yang membuatnya merasa bangga atau puas. Di layar, seorang reporter dengan semangat melaporkan penangkapan besar-besaran keluarga Aldo dan keluarga Alya. Gambar-gambar yang muncul di layar menunjukkan polisi yang menangkap anggota keluarga tersebut, satu per satu diborgol dan digiring ke mobil polisi.

Hati Zidan bergetar saat ia melihat wajah-wajah yang familiar di layar. Ia tahu bahwa ini adalah hasil kerja kerasnya, sesuatu yang ia rencanakan dan eksekusi dengan sempurna. Rekaman pengeroyokan di gedung terbengkalai oleh gengnya Aldo menjadi bukti yang tak terbantahkan untuk menahan Aldo. Misi yang ia emban di Cirebon akhirnya mencapai puncaknya, dengan penangkapan Aldo. Kapolri, yang berperan sebagai ayah Bima, memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa melindungi Aldo kali ini. Dari hal itu, keluarga Alya dan keluarga Aldo menjadi lengah dan terlalu fokus pada kasusnya Aldo, sehingga mereka dapat mengumpulkan bukti, bergerak dengan sistematis dan akhirnya membongkar semua kejahatan para bajingan itu

Zidan tersenyum kecil melihat hasil pekerjaannya. Senyum yang seharusnya menandakan kepuasan, namun kali ini terasa pahit. Kepuasan profesional yang seharusnya ia rasakan, terhimpit oleh rasa kosong yang membebani hatinya. Namun, kenangan-kenangan itu kini dibayangi oleh sesuatu yang lebih dalam dan lebih personal.

Ketika acara berita itu beralih menyorot Alya, Zidan merasakan hatinya teriris. Kamera memperlihatkan Alya yang tampak kebingungan dan cemas, mungkin belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi di sekitar keluarganya. Wajah Alya yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak diliputi kesedihan dan ketidakpastian. Alya yang dulu sering tertawa bersamanya, yang pernah ia ajak berkeliling Cirebon dengan motor, kini terlihat begitu berbeda.

Pikiran Zidan kembali melayang ke masa-masa di Cirebon. Ia ingat saat-saat bersama Alya dan Syahrul, saat mereka tertawa dan berbagi cerita. Ia ingat bagaimana ia harus menjaga rahasia identitasnya, dan bagaimana ia berusaha untuk tidak terlalu terikat. Tapi kini, melihat Alya dalam situasi yang begitu sulit, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Zidan tahu bahwa ini adalah konsekuensi dari pekerjaannya. Sebagai intel, ia sudah terbiasa dengan konflik batin semacam ini. Tapi kali ini, perasaannya begitu mendalam dan sulit untuk diabaikan. Ia tidak hanya merasa bersalah karena telah menyeret Alya ke dalam situasi ini, tapi juga karena ia tahu bahwa perasaannya terhadap Alya bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. Dengan berat hati, Zidan mematikan televisi. Ia menundukkan kepala, lalu menggaruk kasar kepalanya.

Pukul tujuh pagi, Zidan sudah berada di ruang kerja Kapolri, yang menatapnya dengan pandangan tak suka. "Liburanmu belum selesai!" sergah Kapolri, nada suaranya menunjukkan ketidaksetujuan akan keberadaan Zidan yang terlalu cepat kembali.

Zidan hanya menunduk, menenggelamkan kepalanya di meja Kapolri. "Tolong Pak, saya frustrasi," suaranya lemah, seolah tak bertenaga. "Beri saya misi." Kalimat itu keluar seperti permohonan terakhir seseorang yang sangat membutuhkan pelarian.

Kapolri menghela napas, menepuk jidatnya. Ia tahu betul bagaimana perasaan Zidan. Dengan langkah pasti, ia membuka berkas di mejanya, memilah beberapa dokumen hingga menemukan satu map kertas berwarna hijau stabilo. Senyum kecil muncul di bibirnya. "Saya yakin kau pasti suka dengan kasus ini," katanya, seraya menyerahkan berkas tersebut kepada Zidan.

Zidan mengangkat wajahnya perlahan, mulai tertarik. "Apa itu?" tanyanya, suaranya sedikit lebih kuat.

Kapolri menjelaskan, "Ini adalah kasus seorang Bupati di Jawa Timur. Dia juga pemimpin pondok pesantren, ulama, artis...?" Di bagian 'artis', Kapolri tampak ragu. "Entahlah, pokoknya dia terkenal di sosmed."

"Apa masalahnya?" Zidan bangkit dari kursinya, duduk lebih tegak dan mulai fokus mendengarkan.

"Pesantren yang ia pimpin mengalami kemajuan yang signifikan," Kapolri melanjutkan.

"Bagus dong, pesantrennya maju?" Zidan mencoba memahami.

"Iya, tapi berbarengan dengan itu, terjadi rantai kasus pencurian di Jawa Timur," Kapolri menjelaskan, sembari menunjuk data-data kasus pencurian dalam berkas tersebut.

Zidan mengernyitkan alisnya, "Bapak menuduh pesantren itu sarang pencuri?"

Kapolri mengangkat bahu, tersenyum seolah tak tahu apa-apa. "Entahlah, siapa tahu? Tapi kasus ini menarik, kan?"

Zidan fokus membaca data-data dalam berkas itu. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius dan tekun. Setelah beberapa saat, ia menutup berkas tersebut dan tersenyum mantap. "Baik, saya ambil kasus ini."

Kapolri mengangguk puas. "Kau akan berangkat besok pagi. Masuklah sebagai pengurus pondok, dan namamu dalam misi ini adalah... Dadang."

"Dadang? Tapi kan misi saya di Jawa Timur, orang Jawa Timur mana yang namanya Dadang?" Zidan menepok jidat.

"Gausah banyak omong, cepat laksanakan!"

Zidan mengangguk. "Amir," ia mengulang dengan tegas, seolah mengukuhkan identitas barunya dalam misi ini. "Saya siap, Pak."

Kapolri berdiri, menepuk pundak Zidan dengan penuh arti. "Ingat, jangan biarkan emosi menghalangi tugasmu. Selamat bertugas, Amir."

Dengan langkah yang lebih ringan, Zidan meninggalkan ruangan itu, membawa berkas dan beban baru di pundaknya. Perasaan frustrasi yang tadi menghantuinya mulai teralihkan oleh semangat menjalani misi baru. Bagaimanapun, di dalam dirinya, ia tetap Zidan, yang kini harus menjadi Amir untuk mengungkap kebenaran di balik pesantren dan Bupati Jawa Timur.


Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang