EPS 46

1 0 0
                                    

Sudah dua bulan berlalu sejak Alya bertemu dengan Bima, yang dengan sikapnya yang dingin dan acuh seakan tidak mengenal dirinya. Setiap kali mengingat momen itu, Alya merasakan hatinya perih. Ia telah mencoba segala cara untuk melupakan kejadian itu, untuk melupakan Bima, namun setiap usaha terasa sia-sia. Bayangan Bima selalu muncul, mengintip dari balik tirai kesepiannya, menghantui pikirannya. Yang paling pedih bagi Alya adalah waktu kebersamaannya dengan Bima tidak begitu lama. Seakan begitu cepat berlalu.

Padahal Bimalah yang mengajarkan Alya sisi lain dari kehidupan yang tak pernah Alya pijak sebelumnya. Padahal Bimalah yang mengajarkan Alya untuk menentukan arah hidup kita sendiri. Padahal Bimalah yang hadir saat Alya kebingungan dengan hidup. Penangkapan orangtuanya nyaris tidak berpengaruh sama sekali ketimbang hilangnya Bima dari hidupnya. Toh dari awal Alya juga sudah muak dengan keluarganya.

"Apa aku mampu melupakan Bima?" tanya Alya pada dirinya sendiri berulang kali. Dia berusaha sibuk dengan kegiatan sekolah dan organisasi, berharap waktu yang dihabiskannya dengan teman-teman dan aktivitas akan membantu mengalihkan pikirannya. Namun, di sela-sela kesibukannya, bayangan Bima selalu kembali, mengingatkan pada setiap kenangan yang telah mereka bagi.

Alya menunggu Ranti dan Rini di kafe dengan gelisah. Ia mencoba untuk fokus pada menu di tangannya, namun pikirannya terus melayang pada kejadian-kejadian yang membuatnya bingung belakangan ini. Mereka sengaja janjian buat ngumpul setelah sekian lama ga ketemu. Pada sibuk milih kampus, ada yang sibuk buat persiapan masuk kampus negeri, atau sibuk dengan masa lalu yang tak kunjung selesai seperti Alya ini. Beberapa menit kemudian, ia melihat Ranti dan Rini berjalan masuk, namun yang membuatnya terkejut adalah kehadiran Syahrul bersama mereka.

"Lho, Syahrul ikut?" tanya Alya dengan nada heran, alisnya terangkat.

"Enggak, dia cuma nganter, katanya sekalian liat toko sepatu," kata Rini sambil tersenyum santai.

Alya menatap Syahrul dengan tatapan serius. "Sejak kapan kalian deket?"

"Bukan deket lagi, semalem mereka udah jadian!" ujar Ranti dengan penuh semangat, senyum lebar di wajahnya.

"Hah? Jadian? Kapan? Kok aku ga tahu?" Alya semakin bingung. Terlalu banyak kejadian dalam hidupnya yang membuatnya merasa kewalahan.

"Semalem, gue juga baru tahu!" Ranti menambahkan sambil mengangguk antusias.

Syahrul yang merasa canggung, mencoba menyelinap pergi. "Eh, gue pamit dulu deh kalo gitu," katanya sambil melangkah mundur perlahan.

"Tunggu dulu, enak aja! Kok bisa kalian tiba-tiba jadian? Kapan deketnya?" Alya semakin bingung dan penasaran.

"Udah lama kali, Al," Ranti mengingatkan dengan nada yang sedikit menghibur. Alya merasa semakin bingung.

Alya tidak terlalu memperhatikan detail karena fokusnya masih tertuju pada Bima. Semua ini terlalu banyak baginya. Seolah-olah dunia berputar terlalu cepat dan meninggalkannya di belakang. Bayangan Bima masih membayanginya, sementara kehidupan teman-temannya terus bergerak maju. Alya merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah mimpi yang tidak bisa ia mengerti.

Lalu jadilah mereka mengobrol tentang Rini dan Syahrul yang setahun belakangan jadi semakin dekat dan akhirnya berpacaran. Pantas saja Alya pernah lihat Rini dan Syahrul foto bareng pas kelulusan mereka beberapa bulan lalu. Suasana jadi sedikit heboh di kafe itu karena membicarakan hubungan anget Syahrul dan Rini.

"Katanya elu ke Jakarta, Al?" tanya Rini, Ranti dan Syahrul jadi ikut menyimak. Bahkan mata Syahrul turun, mungkin paham apa yang dilakukan Alya di sana. Karena dirinya pun sempat ingin melakukannya tapi tak punya petunjuk.

"Iya, aku nyari-nyari kampus di sana, ya itung-itung jalan-jalan." Jawab Alya berusaha ceria.

"Lo nyari dia ya?" Syahrul memegangi segelas kopi dengan kedua tangan, seolah berusaha mencari kehangatan dari gelas itu. Matanya tertunduk, Rini paham apa yang dirasakan Syahrul lalu meremas pelan tangan Syahrul berusaha menenangkan.

"Enggak Rul, aku ga nyari dia," suasana jadi biru dan tak nyaman di kafe itu. Ranti yang berada di samping Alya, memeluk bahu Alya dan mengusapnya pelan.

"Ketemu ga?" Syahrul mengabaikan jawaban bohong Alya.

"Enggak, Rul⸻" Alya meremas jemarinya, "kamu sendiri? Tahu kabar dia?"

Lalu jadilah mereka mengobrol tentang Rini dan Syahrul yang setahun belakangan jadi semakin dekat dan akhirnya berpacaran. Pantas saja Alya pernah lihat Rini dan Syahrul foto bareng pas kelulusan mereka beberapa bulan lalu. Suasana jadi sedikit heboh di kafe itu karena membicarakan hubungan anget Syahrul dan Rini.

"Katanya elu ke Jakarta, Al?" tanya Rini dengan penuh rasa ingin tahu, membuat Ranti dan Syahrul jadi ikut menyimak. Bahkan mata Syahrul turun, mungkin paham apa yang dilakukan Alya di sana. Karena dirinya pun sempat ingin melakukannya tapi tak punya petunjuk dan keberanian.

"Iya, aku nyari-nyari kampus di sana, ya itung-itung jalan-jalan," jawab Alya berusaha ceria, meski hatinya terasa berat.

"Lo nyari dia ya?" Syahrul memegangi segelas kopi dengan kedua tangan, seolah berusaha mencari kehangatan dari gelas itu. Matanya tertunduk, dan Rini yang paham apa yang dirasakan Syahrul, meremas pelan tangan Syahrul berusaha menenangkan.

"Enggak, Rul, aku ga nyari dia," suasana jadi biru dan tak nyaman di kafe itu. Ranti yang berada di samping Alya, memeluk bahu Alya dan mengusapnya pelan, memberikan dukungan tanpa kata.

Syahrul masih tidak puas dengan jawaban Alya. "Ketemu ga?" ia mengabaikan jawaban bohong Alya, tatapannya penuh rasa ingin tahu yang dalam.

"Enggak, Rul," Alya meremas jemarinya, rasa sakit menyusup ke dalam hatinya. "Kamu sendiri? Tahu kabar dia?"

"Jawaban gue sama kaya waktu lu nanya pertama kali Al, gue ga tahu kabar Bima. Dia satu-satunya sahabat gw yang paling deket, sampai sekarang pun gitu." Rini mengelus pelan punggung Syahrul, berusaha memberikan dukungan emosional. Syahrul pun sering cerita pada Rini tentang Bima, juga tentang trauma masa lalunya akan kehilangan sahabat karena geng motor. "Tapi dia pergi gitu aja, tanpa kabar, tanpa kata perpisahan, hilang gitu aja. Gue mau ketemu sama dia, mau dengerin penjelasan dia. Tiap gue mikirin dia, gue selalu mikirin hal negatif Al."

"Hal negatif? Jangan-jangan kalian..."

"Gue ga homo Al, bukan itu maksud gue." Suasana sedikit cair karena pertanyaan Alya, bahkan Rini dan Ranti yang hampir menangis pun jadi tertawa. "Maksud gue itu, kan sebelum dia pergi gitu aja, dia menjarain anak kepala polisi, yang punya banyak dukungan kekuasaan. Gue takutnya dia diculik dan..."

"Enggak kok, Bima pasti baik-baik aja." Alya meringis karena beberapa bulan lalu dia bertemu dengan Bima, dan rasanya tak mengenakan karena bahkan Bima tidak mengenali dia. Padahal Alya yakin kalo itu Bima, dan kayaknya Bima juga tahu kalo itu Alya. Apa sih alasan Bima harus bersikap seperti itu? Alya tak paham.

"Kota ini sudah merdeka, pemerintahan sudah berfungsi sebagaimana mestinya, geng motor mulai diberantas dan semakin aman tiap malamnya, itu semua berkat sahabat gue, berkat BIMA! Tapi dia? Kemana dia sekarang?!" Syahrul resah, matanya basah hendak menangis, Rini di sebelahnya kembali berusaha menenangkan. Mendengar perkataan Syahrul, membuat Alya juga merasa sesak di hatinya.

"Dia pasti punya alasan sendiri, Al, Rul" Rini menambahkan, mencoba menghibur Alya dan Syahrul. "Kalian harus move on. Jika Bima memang harus bersama kita, dengan cara apapun dia akan kembali, gimanapun kondisinya sekarang." Alya termenung mendengar perkataan Rini. Dia tahu kabar Bima saat ini, tapi mungkin Bima memilih kehidupan lain ketimbang di sini, bersamanya. Tapi, apa alasannya? Bukankah tidak ada masalah sebelum Bima tiba-tiba pergi? Alya tidak mengerti.

Ranti jadi sering melihat pemandangan seperti ini, Syahrul dan Alya yang tak pernah bisa melupakan Bima, Rini yang berusaha menenangkan mereka, dan dirinya yang bingung harus apa. Bertahun belakangan, selalu itu yang mereka lakukan. 

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang