EPS 27

4 0 0
                                    

Stasiun Cirebon di pagi hari adalah tempat yang penuh dengan aktivitas. Langit cerah memberikan sinar matahari yang hangat, memantul di atas rel kereta api yang berkilauan. Suara pengumuman kereta terdengar nyaring, bersahutan dengan derap langkah para penumpang yang tergesa-gesa. Orang-orang berlalu lalang, membawa koper dan tas besar, sebagian dengan wajah penuh harapan, sebagian lagi dengan wajah lelah setelah perjalanan panjang. Aroma kopi dari kios-kios kecil bercampur dengan aroma makanan ringan yang menggugah selera, menciptakan suasana yang hidup dan dinamis.

Di tengah keramaian itu, Alya berdiri di peron, mengenakan pakaian kasual namun tetap rapi. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, tertiup angin sepoi-sepoi yang membuatnya terlihat anggun. Ia baru saja mengantarkan ayah dan ibunya yang sedang dalam perjalanan untuk urusan yang tak terlalu ia pahami. Kata ibunya, mereka harus membantu kasusnya Aldo, tapi Alya tidak terlalu peduli. Baginya, Aldo dan masalahnya adalah sesuatu yang ingin ia lupakan. Namun, desakan ibunya membuatnya harus terlibat, meski hanya sedikit.

Alya melambai kepada ayah dan ibunya yang mulai menghilang di kerumunan, kemudian berbalik dengan niat untuk kembali ke mobil yang sudah menunggunya di luar stasiun. Ia melangkah dengan tenang, mencoba mengabaikan kekhawatiran yang terselip di pikirannya. Tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada sosok yang familiar.

Di sudut stasiun, berdiri Bima dengan ransel besar di punggungnya. Wajahnya serius dan nampak gelisah, membuatnya tampak berbeda dari biasanya. Bima yang biasanya penuh canda dan tawa, kini terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri. Alya memperhatikan sejenak, kemudian memutuskan untuk menghampirinya.

"Bima?" sapa Alya dengan suara yang lembut namun cukup keras untuk mengatasi kebisingan di stasiun.

Bima tersentak kaget, matanya melebar saat melihat Alya. "Alya? Kamu ngapain di sini?" tanyanya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

Alya tersenyum tipis. "Aku baru saja mengantarkan ayah dan ibu." Alya menatap Bima dengan rasa ingin tahu. "Kamu sendiri kenapa di sini? Mau pergi ke mana?"

"Eh? Enggak, aku suka nongkrong di sini," Bima jadi panik sendiri, bingung mau mengatakan apa.

"Apaan si, bohong banget," Alya tertawa melihat kekikukan Bima.

Bima terlihat ragu sejenak, matanya melirik sekeliling seperti mencari jawaban di udara. "Aku... ada urusan penting, Alya. Harus pergi ke Jakarta. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan."

Alya mengangguk pelan, meski dalam hatinya timbul banyak pertanyaan. "Ya udah deh, semoga urusanmu lancar, Bim. Aku pergi dulu ya, dah!" Alya melambaikan tangan kepada Bima, sementara itu Bima hanya mematung berusaha membalas lambaian Alya.

Baru beberapa langkah Alya meninggalkan Bima yang terlihat aneh itu, Bima mengejar Alya dengan berlari kecil, "Al!" Alya menengok, "elu.. elu sibuk ga hari ini?" Bima malah terbata-bata, sesuatu yang jarang Alya dengar.

Alya berhenti sejenak, lalu tersenyum dengan penuh rasa ingin tahu. "Enggak, kenapa memangnya? Ada apa, Bim?"

Bima menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "ja-ja-ja⸻ Jalan, yuk!" Bima masih terbata-bata.

"Kemana?" Alya setengah tertawa, tapi Alya tidak berniat menolak Bima.

"Ya kemana-mana, yuk!" Bima merasa gugup, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Tapi dia tetap berusaha untuk tampak santai. "Kita bisa ke taman, atau mungkin ke kafe, terserah kamu."

Alya tersenyum lebih lebar, tertarik dengan sikap Bima yang tidak seperti biasanya. "Oke, kalau begitu kita ke kafe aja, kita bisa sarapan di sana. Belum sarapan kan?" Bima mengangguk kasar berkali-kali.

Bima merasa lega mendengar jawaban Alya. "Oke, ke kafe aja. Yuk, berangkat." Bima berusaha mengontrol napasnya, berusaha agar tidak gugup.

Setelah mengatakan pada sopirnya untuk pulang lebih dulu, Alya memutuskan untuk mengikuti Bima. Mereka berdua berjalan keluar dari stasiun, menuju kafe terdekat yang tidak terlalu jauh dari sana. Sepanjang jalan, Bima berusaha keras untuk tetap tenang, sementara Alya sesekali melirik ke arahnya dengan senyum kecil. Ia merasa ada yang berbeda dengan Bima hari ini, dan itu membuatnya semakin penasaran.

Sesampainya di kafe, mereka memilih meja di pojok yang cukup tenang dan nyaman. Pelayan datang dan memberikan menu, mereka segera memesan sarapan. Bima memilih roti bakar dan kopi, sementara Alya memesan pancake dan jus jeruk.

"Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ada di stasiun?" tanya Alya sambil menatap Bima dengan rasa ingin tahu.

"Ah, ya... ada urusan... tapi itu bisa ditunda," jawab Bima, sedikit lebih tenang sekarang. Sekarang dia tersenyum, artinya dia sudah tenang. Hening suasananya, Bima sedang memikirkan sesuatu untuk dikatakan pada Alya, tapi semakin ia pikirkan, semakin ia bingung.

Kafe yang mereka datangi adalah salah satu tempat yang cukup terkenal di Cirebon, kalau tidak salah tadi plang kafe tertulis "Kafe Kusuma," dengan suasana yang nyaman dan dekorasi yang hangat. Dinding kafe dihiasi dengan lukisan-lukisan lokal dan tanaman hijau yang menggantung dari langit-langit. Meja-meja kayu dengan kursi empuk tersebar di seluruh ruangan, dan lampu-lampu gantung memberikan pencahayaan lembut yang membuat suasana semakin cozy.

Di sudut kafe, ada sebuah rak buku dengan berbagai macam bacaan yang bisa dinikmati oleh pengunjung. Aroma kopi yang kuat dan roti panggang yang baru saja keluar dari oven memenuhi udara, memberikan nuansa yang menenangkan dan membuat perut mereka semakin lapar. Musik jazz lembut mengalun di latar belakang, menambah kenyamanan suasana pagi itu.

Mereka duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Dari situ, mereka bisa melihat orang-orang berlalu-lalang di luar, tetapi tetap merasa tenang di dalam kafe. Bima dan Alya duduk berhadapan, sesekali tersenyum dan tertawa kecil sambil menunggu pesanan mereka datang.

Tak lama kemudian, pelayan datang membawa pesanan mereka. Bima memesan satu porsi omelet dengan daging asap dan keju, lengkap dengan roti panggang dan salad kecil di sampingnya. Alya memilih pancake dengan sirup maple, dilengkapi dengan potongan buah segar dan secangkir cappuccino. Kedua hidangan tersebut tampak sangat menggugah selera, dengan presentasi yang cantik dan aroma yang menggoda.

"Kita makan dulu deh," setelah diam-diaman, Bima memecah keheningan.

Suasana kafe yang nyaman dan membuat siapapun merasa lebih tenang. Bisa untuk kerja, belajar, nongkrong, atau yah cuma bersantai sejenak. "Sebenernya aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Bim," Alya memecah keheningan, Bima jadi tersentak sesaat, dia hampir tersedak dengan roti bakarnya.

"Mau ngomong apa?" Bima kembali mengatur napasnya, ia berusaha sekali menghilangkan gugupnya.

"Aku sadar, hidup aku ga bebas. Aku sadar hidup aku cuma menapaki jejak orang lain," Alya tersenyum, masih teringat obrolannya dengan Bima di kafe itu. Suaranya lembut namun penuh makna, mencerminkan perasaan yang mendalam yang selama ini ia pendam.

Bima menatap Alya, tertegun mendengar perkataannya. Selama ini, ia hanya melihat Alya sebagai sosok yang kuat dan mandiri, tapi kini ia menyadari ada banyak hal yang Alya sembunyikan di balik senyumannya.

"Mungkin sebenarnya aku sadar sudah lama, tapi kamu saat itu mengingatkan aku Bim. Jadi... makasih ya!" Alya melanjutkan dengan senyum yang lebih hangat, matanya sedikit berkilauan seolah ada air mata yang mencoba untuk keluar namun ia tahan.

Bima merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Alya. Ia tak menyangka bahwa kata-katanya, yang mungkin terlihat sederhana, memiliki dampak sebesar itu bagi Alya. "Aku... Aku senang bisa membantu kamu, Al." 



Catatan:

KAMU SUKA CERITA SEJARAH? KAMU SUKA MEME?

Cobe cek ini yah!!!!

Cek Youtubenya Sekarang!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cek Youtubenya Sekarang!!!

https://youtube.com/@andipati777?si=njK_kSiIrjg-a8ii

atau tiktoknya!!!

https://www.tiktok.com/@andipati17?is_from_webapp=1&sender_device=pc 

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang