Begitu mendengar berita Bima dirawat di rumah sakit karena dikeroyok geng motornya Aldo, Syahrul langsung bergegas ke rumah sakit tanpa pikir panjang. Dengan langkah cepat, dia menyusuri koridor rumah sakit yang ramai, menuju ruang rawat di mana Bima dirawat. Sesampainya di sana, dia menemukan Bima terbaring di ranjang dengan beberapa perban dan luka yang terlihat jelas di wajahnya.
"Lu tahu ga si njing? Saat ini rasanya gue pengen banget matahin tulang rusuk lu, mukulin elu sampe mati, terus gue buang jasad lu ke laut," Syahrul menatap lantai di samping Bima yang terbaring dengan luka-lukannya yang sudah ditangani dokter di rumah sakit.
"Elu sakit ya njing?" Bima tak menyangka Syahrul akan mengatakan itu, setelah sekian lama mereka ga bicara lagi. Namun saat ini Bima tahu, di mata Syahrul ada kilatan sedih dan khawatir. Hening lama, mata Syahrul semakin padam. "Sorry ya," kata Bima, ia tahu ia salah karena membuat Syahrul harus teringat akan traumanya.
"Kan udah dibilangin, lu ngeyel banget Bim, anjing!" kata Syahrul sambil menghela napas, merasa campuran antara khawatir dan kesal. Syahrul memang masih marah sama Bima, apalagi setelah pengeroyokan itu. Tapi, Syahrul juga tidak bisa menghilangkan rasa kekhawatiran di dalam hatinya.
"Ya... gue ngerasa gue harus ngelakuin ini," Bima tidak menemukan kata-kata lain yang bisa ia ucapkan pada Syahrul.
"Ya lihat elu sekarang!" Syahrul jadi kesal sendiri.
Bima menoleh dengan senyum lemah, tetapi matanya tetap bersinar penuh semangat. "Ga papa gue kaya gini yang penting dia dipenjara. Geng mereka itu udah bikin resah kota kita, malem-malem berisik. Aneh banget lagian, jaman sekarang masih sok keren. Geng motor? Kocak banget, kek anak kecil," ujarnya sambil tertawa kecil, meskipun setiap tawa itu pasti menambah rasa sakit di tubuhnya.
"Kok lu jadi ngomel si Bim?" Syahrul tidak percaya, sahabatnya itu masih bisa mengatakan hal semacam itu. Syahrul kadang berpikir, apa otak Bima ini setolol itu buat memahami bahaya? Kalau iya begitu, mungkin Syahrul sedikit menyesal karena sering mengajak Bima membolos.
Bima tertawa, saking merasa leganya karena rencana dia berhasil, "ya gitu deh."
Syahrul memandang Bima dengan tatapan heran. "Kok lo bisa ketawa setelah babak belur gitu si Bim?" tanyanya penuh ketidakpercayaan.
Bima mengangkat bahu dengan santai. "Gue lemah secara fisik, mereka juga lebih banyak. Ya gue pake hukum lah," jawabnya dengan nada seolah-olah semua ini hanyalah bagian dari rencana besar yang telah dipikirkannya.
"Lu gila sih, Bim. Lu ga tahu kalo banyak korban yang mati gara-gara dikeroyok geng motor?" Syahrul mengingatkan dengan serius, tatapannya penuh kekhawatiran.
Bima mengangguk pelan, menyadari kebenaran dari kata-kata temannya. "Ya emang sih, gue bisa mati waktu itu. Tapi enggak kan?" jawabnya dengan santai, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga.
Syahrul menggelengkan kepala, masih tak bisa memahami cara berpikir Bima. "Gue ga ngerti sih, Bim, jalan pikiran lu."
Bima tersenyum tipis, menatap Syahrul dengan pandangan yang penuh keyakinan. "Ya ga usah dingertiin lah," katanya ringan. "Yang penting, kita harus berani lawan mereka. Kalo kita diem aja, mereka bakal terus-terusan ngeganggu. Ini buat kita semua, buat kota ini biar lebih aman."
Syahrul hanya bisa menghela napas lagi, duduk di kursi sebelah ranjang Bima. Meskipun tidak sepenuhnya setuju dengan cara Bima, dia menghargai keberanian temannya itu. "Gue ga yakin mereka akan dipenjara lama, Bim. Dua⸻ enggak, seminggu, pasti mereka sudah bebas lagi. Dan kali ini, mereka pasti..." Syahrul sudah memikirkan bagaimana cara Bima mati.
"Enggak, mereka ga bisa keluar," ujar Bima dengan yakin, wajahnya penuh tekad meski tubuhnya lemah.
"Tahu dari mana?" Syahrul bertanya skeptis, alisnya terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Name
Romansa[TAMAT] Alya adalah anak yang berprestasi, cerdas, dan menjadi siswi teladan di sekolahnya. Sementara itu Bima, anak pindahan dari Jakarta adalah siswa yang malas, jarang masuk, sering telat dan sering dapat nilai rendah. Bima jatuh hati pada Alya...