EPS 23

4 0 0
                                    

Sejak kecil, Aldo selalu melihat ayahnya memukul ibunya. Hampir setiap malam, ketika dia seharusnya tidur, dia mendengar suara bentakan dan makian dari ruang tamu. Suara pecahan gelas dan barang-barang yang dilempar seringkali menghiasi malam-malamnya. Tidak jarang, Aldo melihat ayahnya meludah ke wajah ibunya, lalu memakinya dengan kata-kata yang tak pantas didengar oleh telinga anak-anak. Setiap kali kejadian itu terjadi, Aldo merasa hatinya seperti diiris-iris, namun dia hanya bisa bersembunyi di sudut kamarnya, menggigit bibirnya dan menahan air matanya.

Ibunya, seorang wanita yang lembut dan penuh kasih sayang, selalu mencoba menutupi bekas-bekas luka di wajahnya dengan senyum palsu. Dia terus menerus memaafkan dan memberi alasan untuk tindakan ayahnya, mungkin karena cinta, mungkin juga karena ketakutan atau ketidakberdayaan. Aldo sering kali bertanya-tanya dalam pikirannya yang masih polos, mengapa ibunya tidak pernah meninggalkan ayahnya. Mengapa dia memilih bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan dan penghinaan?

Dalam pikirannya yang muda dan rapuh, Aldo mulai mengembangkan persepsi yang salah tentang perempuan dan bagaimana mereka seharusnya diperlakukan. Dia melihat ibunya sebagai simbol kelemahan dan kepasrahan, dan mulai berpikir bahwa mungkin memang begitulah seharusnya wanita diperlakukan. Setiap kali ayahnya memukul ibunya, Aldo merasa marah dan benci, namun tanpa sadar, dia menyerap perilaku tersebut. Kekerasan yang dia saksikan setiap hari merusak pemahamannya tentang benar dan salah, mengaburkan batas-batas moral yang seharusnya jelas.

Aldo tumbuh dengan perasaan benci yang mendalam terhadap ayahnya, namun di sisi lain, tanpa disadari, dia mulai meniru perilaku ayahnya. Tempramentalnya yang mudah meledak dan kecenderungan untuk menggunakan kekerasan sebagai solusi menjadi bagian dari dirinya. Dia menjadi remaja yang penuh amarah, sering terlibat dalam perkelahian di sekolah dan di jalanan. Aldo tidak bisa membedakan antara ketegasan dan kekerasan, antara kekuatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Setiap kali dia memukul seseorang, ada bagian dari dirinya yang merasa berkuasa, mungkin perasaan yang sama yang dirasakan ayahnya ketika memukul ibunya. Aldo tidak paham benar dan salah dengan jelas. Dia hanya tahu bahwa dia tidak ingin menjadi lemah seperti yang dia anggap ibunya, namun dalam usahanya untuk menjadi kuat, dia tanpa sadar mengikuti jejak ayahnya. Kekerasan yang dia saksikan dan alami sejak kecil membentuk dirinya menjadi seseorang yang penuh luka dan kemarahan, seseorang yang tidak tahu cara mencintai dengan benar dan cara memperlakukan orang lain dengan hormat.

Dalam keheningan malam, terkadang Aldo merenung, membayangkan kehidupan yang berbeda, kehidupan di mana dia bisa membela ibunya dan melindunginya dari kekerasan ayahnya. Namun, realitas yang keras dan kelam selalu menariknya kembali, mengingatkan bahwa hidup tidak seindah mimpi, dan bahwa dia telah terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sulit dipecahkan.

"Do! Bangun, Do! Aldo!" Suara itu terdengar samar-samar di telinga Aldo. Wajahnya terasa ditampar pelan beberapa kali. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha memahami keadaan sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, dia melihat wajah seseorang yang familiar. Ketua geng motor Excuse, Bang Joni, berdiri di depannya. Aldo sempat merasa lega, tapi rasa itu segera padam saat dia menyadari bahwa dirinya berada di balik jeruji besi bersama para anggota geng yang lain.

"Bang Joni?" suara Aldo terdengar lemah dan serak.

"Akhirnya lu sadar, masih sakit?" Bang Joni bertanya dengan nada penuh kekhawatiran. Wajahnya penuh luka dan memar, menandakan bahwa dia juga mengalami kekerasan yang sama.

"Kok bisa di sini, Bang?" Aldo berusaha duduk, merasakan nyeri di seluruh tubuhnya.

Bang Joni menghela napas berat, "Gue juga ga ngerti, Do. Tiba-tiba markas digerebek sama polisi aneh. Cara mereka kasar, semua anak-anak kena tangkap dan dipukuli sampai babak belur."

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang