EPS 5

7 0 0
                                    

"Kalian telat lagi? Astaga, mau berapa kali saya harus bilang bla-bla-bla-bla," sementara Pak Samsir lagi ngomel soal kedisiplinan, ketekunan dalam belajar, tanggungjawab dan sebagainya, Bima dan Syahrul hanya diam menunduk seperti biasa. Seperti sedang melakukan rutinitas.

"Kenapa kalo kita telat, guru piketnya Pak Samsir mulu sih?" Syahrul menyikut Bima dan berbisik pelan, sementara itu Pak Samsir masih sibuk ceramah, untung saja mereka ada di barisan paling belakang anak-anak yang telat.

"Dia sering gantiin guru piket yang lain njir, atau dia maksa gantiin⸻ antara itu deh," Bima dan Syahrul menahan tawa mereka, yang langsung disadari oleh Pak Samsir.

"Kalian pikir saya tidak dengar?" Bima dan Syahrul langsung jaga sikap. Pak Samsir berkata dengan nada tajam, matanya menatap lurus ke arah Bima dan Syahrul. Keduanya langsung jaga sikap, berdiri tegak dan memasang wajah serius.

"Pak, kami cuma—"

"Diam! Saya tidak mau dengar alasan lagi. Kalian berdua, setelah ini langsung ke ruang BK dan buat surat pernyataan kalau tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Kalau sampai saya lihat kalian telat lagi, saya akan panggil orang tua kalian. Paham?"

"Maaf Pak!" Bima mengacungkan tangan.

"Kenapa!?" nada Pak Samsir selalu tidak santai jika berbicara dengan Bima dan Syahrul.

"Orangtua saya sibuk kerja Pak, kalo disuruh dateng ke sekolah cuma karena kelakuan anaknya, rasanya tidak worth it, Pak."

"SAYA TIDAK PEDULI, PAHAM?!"

"Paham, Pak," jawab Bima dan Syahrul serempak, berusaha menahan diri untuk tidak tertawa lagi.

"Tapi sebelum itu, kalian lari lima putaran dulu!" sentak Pak Samsir. Semua siswa jadi mengeluh dan mulai menyalahkan Bima, termasuk Syahrul karena telah membuat Pak Samsir semakin marah. Kalo tidak salah, tadi kumis tebalnya naik dua perempat senti.

"Ah elah, elu sih, Bim!"

"Eh, mereka itu siapa?" Bima melihat gerombolan siswa yang masuk seenaknya dari gerbang, tertawa lebar, sambil mengobrol tidak jelas, satpam pun membuka pintu udah kaya menyambut tamu kerajaan. Pak Samsir yang biasanya langsung galak ke siswa telat, seperti pura-pura tidak melihat mereka.

"Eh, aja plarak-plorok (jangan larak-lirik!) Mereka anak kelas dua belas," Syahrul memutar kepala Bima.

"Mereka juga telat ya? Kok ga dihukum?" Bima biasa telat, tapi Bima baru liat mereka.

"Mereka baru masuk semenit sebelum bel pulang pun tidak ada yang berani menghukum mereka."

"Kenapa?"

"Masih nakon bae! Wis jelas rombongan geng motor, kan mubengi tak kandani! (Masih aja nanya, udah dibilangin rombongan geng motor, kan semalam sudah tak ceritain!)"

"Eh, apa nih ribut-ribut!? Ayo cepat lari lima putaran. Apa ga bisa sehari aja ga telat?!"

"Pak, itu kok mereka juga ga dihukum?" Bima menunjuk para gerombolan itu yang mulai hilang dibalik bangunan ruang kepala sekolah.

"Mereka siapa?!" Pak Samsir seperti menutup mata.

"Itu, mereka!" Bima masih ngeyel.

"Jangan banyak tingkah, ayo cepetan!" Pak Samsir mengabaikan Bima.

"Udah Bim, ayo!"

Di bawah terik matahari pagi, Bima dan Syahrul mulai berlari mengelilingi lapangan sekolah dengan wajah lesu. Keringat mulai bercucuran di dahi mereka, membasahi seragam sekolah yang sudah agak kumal. Pak Samsir berdiri dengan tangan terlipat di pinggir lapangan, mengawasi mereka dengan mata tajam, kumis tebalnya bergerak-gerak setiap kali ia menggerakkan bibirnya yang sesekali mengomel.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang