EPS 38

3 0 0
                                    

Zidan tahu bahwa malam ini adalah malam di mana Alya dan Aldo akan makan malam di restoran mewah. Sejak tadi, Zidan sudah mengamati Alya dan Aldo yang tengah sibuk makan dari atas gedung seberang restoran menggunakan teropong jarak jauh. "Dasar, apa lidah mereka tidak iritasi karena terus-terusan makan uang haram?" Zidan jadi meludah melihatnya.

"Anak manja, jalan sama cewek pun minta ditemenin," Zidan melirik ke arah gengnya Aldo yang sudah standby di dekat restoran mewah itu. "Baguslah, dengan ini rencana bisa dijalankan malam ini." Zidan tertawa kecil. "Malam ini bersenang-senanglah, karena ini adalah malam terakhir kalian mencium udara segar!" Zidan lalu cekikian membayangkan penyiksaan yang akan mereka hadapi nanti. Jika berkaitan dengan bedebah, berengsek, bandit kantor, pejabat korup dan sebangsanya, Zidan selalu terlihat kejam.

"Baiklah, mari mulai gamenya!" Zidan menjentikkan jarinya, seakan tanda rencananya telah dimulai. Kadang memang dia sering melakukannya, pikirnya agar terlihat keren.

Dengan penuh keyakinan, Zidan mulai mengarahkan gengnya melalui walkie-talkie. Mereka semua sudah berada di posisi masing-masing, menunggu instruksi dari Zidan untuk memulai langkah selanjutnya. Zidan, yang merasa puas dengan pengawasannya, menyusun rencana terakhirnya untuk malam ini. Ia sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan matang.

Setelah berhasil membuat Aldo naik darah, Zidan yang sadar mulai dikejar gengnya Aldo, mulai berbicara di walkie-talkienya, "Mereka bergerak," gumamnya pelan. Sementara sorot lampu motor dan suara-suara penuh kebencian mengikutinya dari belakang. Zidan sedikit bermain dengan mereka, memutar-mutar di gelapnya malam. Ia sengaja main kejar-kejaran sebentar dengan geng motornya Aldo.

Di jalanan yang sepi dan gelap, hanya ada suara deru mesin motor dan teriakan-teriakan marah yang memenuhi udara malam. Zidan melaju dengan kecepatan tinggi, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan bahwa geng Aldo masih mengejarnya. "Ayo, kejar aku kalau bisa," gumamnya dengan senyum licik.

Ia sengaja memperlambat laju motornya di beberapa tikungan tajam, memberi kesempatan pada geng Aldo untuk semakin dekat. Namun, saat mereka hampir mengejarnya, Zidan kembali meningkatkan kecepatan, meninggalkan mereka dalam debu. Lampu-lampu motor dari geng Aldo berusaha menyusul, tetapi Zidan sudah terlalu jauh di depan.

Zidan tertawa kecil, merasa puas dengan kejar-kejaran ini. Baginya, ini bukan hanya sekadar permainan, tetapi juga bagian dari rencananya untuk mengalihkan perhatian geng Aldo dari target utamanya. Ia memanfaatkan setiap celah, setiap jalan sempit yang ia hafal di luar kepala, membuat geng Aldo semakin frustasi.

"Ya sudahlah, waktunya serius," gumam Zidan sambil menarik napas dalam-dalam. Ia menggiring gengnya Aldo ke sebuah gedung terbengkalai yang sudah ia siapkan sebelumnya. Gedung itu tampak menyeramkan dalam gelap malam, dengan bayangan dinding yang retak dan pintu-pintu yang berderit tertiup angin. Di dalamnya, Zidan telah memasang kamera di berbagai sudut, memastikan setiap sudut terliput dengan baik.

Zidan sengaja membuat dirinya seakan terpojok, memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengarahkan geng Aldo ke tempat yang ia inginkan. Ia menahan rasa jijiknya melihat mereka merasa menang dan mendominasi, senyum puas tergurat di wajah mereka. Tapi Zidan tahu, ini semua bagian dari rencana besarnya.

Setelah merasa cukup terpojok, Zidan memutuskan untuk berhenti berlari. Ia berdiri di tengah ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela yang pecah. Geng Aldo mengepungnya, siap melampiaskan kemarahan mereka. Tanpa banyak kata, mereka mulai mengeroyok Zidan, menghujaninya dengan pukulan dan tendangan.

Zidan hanya bisa menahan diri, mencoba mengurangi rasa sakit yang menghujam tubuhnya. Ia tidak melawan, membiarkan geng Aldo berpikir bahwa mereka telah menang. Namun, di dalam hatinya, Zidan tahu bahwa ini semua adalah bagian dari rencananya. Kamera-kamera yang ia pasang di berbagai sisi gedung itu sudah merekam wajah-wajah mereka dengan jelas, setiap aksi brutal mereka terekam tanpa celah.

Sambil menahan rasa sakit, Zidan tersenyum dalam hati. Ia membayangkan bagaimana rekaman ini akan menjadi senjata yang sangat berharga. Bukti tak terbantahkan yang akan ia gunakan untuk membalas mereka. Dengan setiap pukulan yang ia terima, Zidan semakin yakin bahwa pengorbanannya akan terbayar.

Gengnya Aldo sempat berhenti dan menganggap Zidan sudah mati. Zidan memang bisa meminimalisir pukulan dan tendangan yang ia terima, tapi jumlah pukulan dan intensitasnya yang banyak, membuatnya tetap merasa sakit dan bonyok juga. Ya, dia juga punya batasannya. Badan Zidan terasa remuk, memang ia terlatih, tapi tetap saja rasanya tidak mengenakan. Zidan lebih ke kesal karena perhitungannya tentang pukulan gengnya Aldo melebihi batasnya.

Pada akhirnya karena kesal... "Woy, mau ke mana lu anjing? Sakit, bangsat!" Zidan berseru dengan suara serak, membuat Aldo dan gengnya membeku seketika. Mereka semua perlahan menengok ke arah sumber suara.

Lalu, sebelum gengnya Aldo sadar, mereka sudah terkepung dan mereka pun ditangkap oleh pasukan dibawah komando Zidan. Pasukan polisi ini tidak seperti pasukan polisi biasanya, mereka adalah divisi kusus yang mendapat perintah langsung dibawah tangan Kapolri. Mereka juga tidak masuk ke dalam divisi resmi kepolisian. Mereka bahkan jarang menyebut mereka polisi. Tapi, hukum bayangan menyatakan, jika mereka bebas dari segala hukum dan tuntutan sehingga bebas melakukan apapun pada target misi mereka. Tak jarang mereka sering kasar, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Ya lagipula mereka tidak pernah menganggap pelaku kejahatan sebagai manusia. Akan panjang jika menjelaskan divisi ini saja. Intinya, mereka bukan polisi biasa.

"Ga papa bang?" tanya anggotanya pada Zidan, Zidan hanya menengok dengan wajah babak belurnya dan seakan mengatakan "ya menurut situ?"

"Lama banget, anjing!" Zidan sudah tidak tahan, dia jatuh terduduk. Napasnya tersengal.

"Biar dramatis dikit," ujar polisi itu dengan santai.

"Sialan lu, setan!" Zidan tidak bisa menahan lebih lama tubuhnya lalu ia merasa kehilangan kesadaran dan pingsan.

Saat mereka meninggalkan gedung itu, Zidan dibawa ke ambulans yang sudah menunggu di luar. Malam yang gelap terasa semakin dingin, namun di dalam hati para anggota tim, ada rasa puas dan lega karena berhasil menjalankan misi mereka dengan baik. Mereka tahu bahwa malam ini, keadilan telah ditegakkan, meski dengan cara yang tidak biasa.


Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang