EPS 31

2 0 0
                                    

Saat Alya sudah merasa nyaman bersama Bima, tiba-tiba saja Bima menghilang tanpa jejak. Yang Alya tahu hanyalah bahwa Bima pindah ke Jakarta. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada pesan terakhir. Kepergian Bima meninggalkan lubang besar dalam hati Alya, sebuah kekosongan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Bulan demi bulan berlalu, Alya berusaha fokus pada persiapan olimpiade. Namun, bayangan Bima terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Dia merindukan senyum Bima, candaannya, dan saat-saat sederhana yang mereka habiskan bersama. Alya merasa kehilangan bagian penting dari hidupnya, dan kerinduan itu semakin hari semakin dalam.

Di sela-sela kesibukannya, Alya berusaha mencari tahu keberadaan Bima. Dia mengirim pesan, menelepon, bahkan mencoba menghubungi teman-teman Bima yang lain. Namun, semua usahanya sia-sia. Bima seolah menghilang begitu saja, meninggalkan Alya dalam ketidakpastian dan kebingungan.

Suatu hari, saat istirahat di sekolah, Alya duduk bersama Syahrul, Rini, dan Ranti di kantin. Mereka mencoba menghibur Alya dan Syahrul yang masih merasa kehilangan Bima.

"Gue harap dia baik-baik aja," kata Rini, mengungkapkan rasa yang dirasakan oleh semua orang.

"Gak ada yang tahu, Rin. Tapi semoga aja iya," jawab Alya pelan, suaranya penuh dengan kesedihan. Rini yang tidak peka disenggol pelan oleh Ranti, mengingatkannya untuk berhati-hati dalam berbicara.

"Dia kok ninggalin kita ya?" tanya Syahrul, suaranya penuh kebingungan dan kekecewaan.

"Gak tahu, Rul," jawab Alya dengan suara yang lebih rendah, "Lagian, dia emang banyak misterinya. Kita gak pernah benar-benar kenal siapa dia." Alya dan Syahrul sudah berada di titik dimana mereka sudah memikirkan banyak kemungkinan tentang Bima. Bima mungkin diculik, Bima mungkin hanya menghindar, walaupun mereka tidak tahu alasannya.

"Gue pernah cari tahu tentang orang tua Bima," yang lain mendengarkan perkataan Syahrul. "Si Kapolri itu, gue cari tahu anak-anaknya. Dan gue ga nemu Bima di sana," ujar Syahrul pelan, ia juga telah memikirkannya selama ini. Benar kata Alya, mereka tidak tahu banyak tentang Bima.

"Jadi, kita ga tahu apa-apa soal dia ya?" sebagai jawaban dari pertanyaan sembarang Alya, mereka semua berpandangan turun mengiyakan. Seolah Bima memang asing seasing-asingnya.

Kata-kata Syahrul membuat Alya tersadar akan satu hal yang selama ini ia abaikan. Alya tidak benar-benar tahu siapa Bima sebenarnya. Meskipun mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama, ada begitu banyak hal tentang Bima yang tidak pernah diungkapkannya. Setiap percakapan, setiap momen kebersamaan mereka, kini terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan.

Alya merasa dadanya sesak dengan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa Bima pergi begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia tidak memberi tahu siapa pun, termasuk Alya yang sudah mulai membuka hati untuknya?

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan Alya terus berusaha menemukan jawaban. Dia berusaha fokus pada olimpiade, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan belajar dan latihan. Namun, bayangan Bima selalu menghantui, membuatnya sulit untuk benar-benar melupakan.

Alya sering duduk termenung di bangku taman sekolah, memandangi langit yang cerah sambil berharap ada kabar dari Bima. Setiap suara pesan masuk di ponselnya selalu membuatnya berharap, namun setiap kali juga, harapan itu pupus karena bukan Bima yang menghubunginya.

Waktu terus berlalu, dan meskipun Alya berusaha kuat, hatinya tetap merindukan Bima. Teman-temannya, Syahrul, Rini, dan Ranti, terus memberikan dukungan. Mereka tahu betapa pentingnya Bima bagi Alya, dan mereka berusaha menjadi teman yang baik, meskipun mereka juga merasa kehilangan.

Malam itu, Alya duduk di kamarnya, menatap foto-foto kebersamaannya dengan Bima di layar ponselnya. Tiba-tiba, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia merasakan kesedihan yang mendalam, dan akhirnya membiarkan dirinya menangis. Dia tahu bahwa merindukan Bima adalah hal yang wajar, dan dia harus melalui proses ini untuk bisa terus maju.

Alya berharap suatu hari nanti, dia akan menemukan jawaban atas semua pertanyaannya. Dan mungkin, suatu hari, Bima akan kembali dan memberikan penjelasan. Hingga saat itu tiba, Alya berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat dan terus berjuang. Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan, dan dia tidak akan membiarkan kepergian Bima menghentikannya mencapai impian-impiannya.

Di sisi lain, entah mengapa, suasana di rumah Alya terasa tidak biasa. Ada semacam kepanikan yang tersirat dalam gerak-gerik ayah dan ibunya. Ketika mereka duduk bersama di meja makan, suasana yang biasanya tenang dan penuh kehangatan kini berubah menjadi canggung dan tegang. Alya memperhatikan, meskipun tidak terlalu memedulikan, bagaimana ayahnya sering menghela napas berat dan ibunya tampak tergesa-gesa dalam setiap gerakannya.

Mereka sering berbicara dengan nada suara yang lebih rendah dari biasanya, seolah-olah tidak ingin Alya mendengar. Ayahnya, yang biasanya bercanda dengan santai saat makan malam, kini terlihat serius dan terpikirkan sesuatu. Sesekali, Alya melihat ibunya mencuri pandang ke arah ayahnya, dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Ada apa, Pah?" tanya Alya suatu malam, mencoba untuk mengatasi rasa penasaran yang tak bisa ia hindari. Ayahnya hanya tersenyum lemah, mencoba meyakinkan Alya bahwa semuanya baik-baik saja.

"Tidak ada apa-apa, Alya. Hanya urusan pekerjaan," jawabnya singkat, berusaha terdengar meyakinkan.

Namun, Alya tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar urusan pekerjaan. Dia bisa merasakan ketegangan yang ada di antara kedua orang tuanya. Setiap kali mereka berbicara, Alya bisa melihat ada hal penting yang sedang mereka sembunyikan darinya. Meskipun begitu, Alya memilih untuk tidak terlalu memperdulikannya. Baginya, fokus utamanya saat ini adalah olimpiade dan rasa rindunya yang mendalam terhadap Bima.

Alya kembali ke kamarnya setelah makan malam, membiarkan kedua orang tuanya melanjutkan diskusi mereka yang penuh rahasia. Dia mencoba untuk fokus pada buku-buku pelajarannya, tetapi pikirannya terus melayang. Apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya? Kenapa ayah dan ibunya terlihat begitu cemas?

Keesokan harinya, saat sarapan, suasana tegang itu masih terasa. Ayahnya menerima telepon sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sementara ibunya memasak dengan gerakan yang tergesa-gesa. Alya hanya duduk di meja makan, mengaduk-aduk serealnya tanpa nafsu makan.



Catatan:

KAMU SUKA CERITA SEJARAH? KAMU SUKA MEME?

Cobe cek ini yah!!!!

Cek Youtubenya Sekarang!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cek Youtubenya Sekarang!!!

https://youtube.com/@andipati777?si=njK_kSiIrjg-a8ii

atau tiktoknya!!!

https://www.tiktok.com/@andipati17?is_from_webapp=1&sender_device=pc 

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang