EPS 22

4 0 0
                                    


"Woy, mau ke mana lu anjing? Sakit, bangsat!" Bima berseru dengan suara serak, membuat Aldo dan gengnya membeku seketika. Mereka semua perlahan menengok ke arah sumber suara.

Di hadapan mereka, Bima berdiri dengan susah payah. Setiap gerakannya diiringi deritan tulang yang terdengar jelas, seolah tubuhnya menolak untuk bangkit. Meski begitu, dia berhasil berdiri tegak, menatap Aldo dan gengnya dengan tatapan penuh tekad. "Udah gue bilang, pukulan elu itu kaya anak kecil, mana bisa bikin gue lumpuh," kata Bima dengan senyum merendahkan di wajahnya. Sambil berbicara, dia mengacungkan jari tangannya, membuat gerakan yang menunjukkan penghinaan.

Aldo melotot tidak percaya, kemarahannya memuncak. Dengan segera, dia menderap ke arah Bima, tinjunya siap untuk memukul lagi. Namun, sebelum tinjunya bisa melayang, suara sirine polisi tiba-tiba terdengar, memecah kesunyian malam. Tempat mereka tiba-tiba terang oleh lampu-lampu polisi yang menyilaukan.

"Berhenti, polisi! Kalian sudah dikepung!" teriak seorang petugas dengan suara lantang, membuat geng Aldo panik seketika. Aldo apalagi, dia tahu situasi ini bisa berujung buruk bagi mereka.

Dalam sekejap, geng Aldo berusaha melarikan diri, tetapi ruang gerak mereka terbatas oleh kehadiran polisi yang semakin mendekat dari segala arah. Satu per satu anggota geng Aldo ditangkap, mereka berusaha melawan, tetapi sia-sia. Para petugas polisi dengan cekatan dan tegas menangani mereka, memastikan tidak ada yang bisa lolos.

Aldo yang masih berada di tengah-tengah kekacauan, menatap sekeliling dengan putus asa. Dia melihat Bima yang masih berdiri, meski terluka parah, tapi dengan tatapan penuh kemenangan. Polisi dengan cepat mengepung Aldo, membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerah.

"Yeee, diem anjing! Ga usah ngelawan!" teriak salah satu polisi sambil memukul Aldo tepat di wajahnya. Aldo tersentak kebingungan, tidak percaya polisi bisa bertindak sebrutal itu. Wajahnya yang sudah memar kini bertambah bengkak karena pukulan keras tadi. Matanya menyipit menahan sakit, sementara pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang kacau ini.

Namun, tidak hanya Aldo yang merasakan kekerasan tersebut. Banyak anggota gengnya juga diperlakukan dengan kasar oleh para polisi. Beberapa dari mereka dipaksa berlutut dengan tangan diikat di belakang punggung, sementara yang lain dijatuhkan ke tanah dengan tendangan keras. Salah satu temannya, yang berada di sudut gelap gedung, sudah babak belur dengan darah mengalir dari hidung dan mulutnya.

Aldo melihat ke sekeliling, menyadari bahwa mereka benar-benar dikepung oleh polisi yang tampaknya tidak peduli dengan prosedur standar. "Polisi macam apa ini?" pikir Aldo dalam hati, merasa ketakutan yang baru. Dia mencoba memberontak lagi, tetapi segera merasakan tonjokan keras di rusuknya yang membuatnya terbatuk-batuk kesakitan.

"Diem lu setan! Nambah kerjaan aja, bangsat!" polisi tadi yang memukul Aldo, tanpa aba-aba langsung menendang selangkangan Aldo yang langsung membuat Aldo lemas bukan kepayang, seakan dunianya hancur. "Ngelawan lagi bukan cuma gue tendang, gue potong, paham lu?!" hardik polisi itu yang ga sadar kalau Aldo sudah pingsan.

Sementara itu, Bima menyaksikan semuanya dari tempatnya bersandar, terengah-engah namun tetap teguh. Dia melihat bagaimana polisi menangani Aldo dan gengnya dengan kekerasan yang sama sekali tidak terduga. Meskipun tubuhnya lelah dan penuh luka, Bima merasakan sejumput kepuasan.


"Lama banget, anjing!" Bima sudah tidak tahan, dia jatuh terduduk. Napasnya tersengal.

"Biar dramatis dikit," ujar polisi itu dengan santai.

"Sialan lu, setan!" ujar Bima lalu ia merasa kehilangan kesadaran dan pingsan.

Aldo dan gengnya, yang sudah kehilangan semangat untuk melawan, akhirnya menyerah satu per satu. Mereka diangkut ke dalam mobil polisi, dengan tangan terborgol dan wajah yang penuh luka. Gimana mau ngelawan? Mereka babak belur.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang