EPS 3

5 0 0
                                    

Pagi itu, upacara bendera hari Senin sedang berlangsung khidmat. Semua siswa berbaris rapi di lapangan, mengikuti instruksi dari petugas upacara. Di atas podium, kepala sekolah memberikan pidato yang penuh semangat, mengingatkan siswa tentang pentingnya disiplin dan tanggung jawab. Tidak ada yang benar-benar mendengarkan. Ada yang tengah berpikir bagaimana cara menghindari hukuman karena lupa ngerjain PR, ada yang berpikir mau makan apa pas istirahat nanti, bahkan ada yang sudah mulai pegal dan berpikir untuk manggil anggota PMR di belakang biar bisa istirahat dan minum teh manis.

Di sisi lain, Bima dan Syahrul berlari tergesa-gesa menuju lapangan upacara. Keduanya telat lagi, sebuah kebiasaan yang sepertinya sulit mereka hilangkan. Bima dengan jaket hitamnya yang sudah menjadi ciri khas, dan Syahrul dengan seragamnya yang sedikit kusut, tampak berusaha keras untuk tidak terlalu menarik perhatian.

"Astaga, Bim! Kita pasti kena marah lagi. Elu sih, gara-gara lu berak mulu kita jadi telat," kata Syahrul dengan napas terengah-engah.

Bima hanya berdecak bibir, mereka sedang berjalan menuju kumpulan siswa yang tengah dihukum. "Gawat, ini hari sial kita banget, Rul."

"Sialan, kita bolos aja gimana?" Syahrul mengusulkan, padahal biasanya lebih sering Bima yang mengajak bolos.

"Ya jangan lah, kita udah tiga kali ga masuk kelasnya Pak Samsir," Bima menarik Syahrul yang hendak cabut, sementara itu di depan para siswa yang lagi dihukum karena telat itu, Pak Samsir dengan wajahnya yang merah padam dan kumis yang tiap marah naik satu senti itu⸻ menatap tajam.

"Bima! Syahrul! Bocah gemblung! Sini!" teriak Pak Samsir begitu mendapati Bima dan Syahrul tengah kebingungan mau bolos atau masuk tapi kena marah Pak Samsir. Bima dan Syahrul dengan langkah gontai menuju barisan para siswa telat. "Cepetan baris! Kalian pikir ini sudah jam berapa?!"

"Gara-gara Bima Pak, saya telat," Syahrul berusaha membela diri.

"Eh anjir, kok lu gitu si⸻ gue berak mulu anjir, perut gue sakit!" Bima juga tak mau kalah membela diri.

"Yeee salah lu sendiri, semalem makan ayam bakar pake sambel ga kira-kira," Syahrul dan Bima jadi ribut sendiri.

"Lu juga sama aja njir, lu juga ngambil sambel banyak!" Bima tak mau kalah.

"Ya seenggaknya gue ga mencret kaya lu."

"Heh!" Syahrul dan Bima tersentak, mereka langsung diam membeku. "Siapa yang suruh ribut sendiri!? Sudah telat, jarang masuk, sering lupa PR, kalo ulangan nilai jelek mulu!"

"Ya barangkali kami bukan target pembelajaran Bapak, kali. Makanya kami ga ngerti," Bima mengangkat bahu, melempar pernyataan tanpa tanggungjawab.

"Diam! Tahu apa kamu?! Masuk aja jarang! Harusnya kamu, sama kamu," Pak Samsir menatap Syahrul dan Bima bergantian, "harusnya kalian introspeksi diri."

"Yaelah Pak, lagian belajar matematika buat apa sih rajin-rajin? Pas saya beli bakso ga kepake juga," Bima kembali melempar pernyataan tanpa tanggungjawab. Sementara itu Syahrul dan beberapa siswa lain yang telat jadi cekikikan mendengar pernyataan Bima. Tapi hanya sementara karena Syahrul langsung diam dan menjaga sikap, Syahrul belum pernah melihat wajah Pak Samsir semerah ini sebelumnya⸻ kumisnya mungkin naik dua senti.

"Kamu pikir matematika cuma ngitung satu tambah satu? Kamu pikir matematika sesederhana pemikiran kamu yang sempit itu?" Pak Samsir menatap Bima seakan mau menelannya, sementara itu Bima berusaha untuk tidak bergetar dan memalingkan wajahnya, "matematika itu ada bukan untuk hal praktis saja, matematika ada untuk melatih logika dan daya pikir kamu, melatih bagaimana kamu memecahkan masalah, menekan otak dengan permasalahan agar terlatih. Paham?!" Bima menelan ludah, lalu mengangguk, "Paham?!" Pak Samsir bertanya pada siswa yang lainnya dan langsung dijawab dengan anggukan penuh ketakutan.

Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang