Bagian#6

37.8K 2.9K 10
                                    

"Sungguh membosankan."

Fabian mengeluh sambil bersandar dengan malas di kepala sofa. Selama beberapa hari terakhir ini yang dilakukan Fabian hanya diam di dalam rumah. Sesekali membaca komik atau menonton televisi. Kadang kala juga dia menonton tayangan streaming online. Seperti sekarang ini.

Televisi di depan tengah menampilkan sebuah film komedi. Walaupun berbagai celetukan keluar di antara para pemain, atau kelakuan mereka yang berusaha terlihat bodoh itu tidak membuat Fabian tertawa.

"Sedang apa Bian?"

Fabian menoleh saat ada suara datang dari belakang tubuhnya. Dia menoleh dan mendapati kakaknya baru pulang bekerja dengan pakaian kusut dan rambut sedikit berantakan.

"Oh, Kak Rian sudah pulang? Tumben sekali. Padahal baru jam 6 sore."

"Kakak tahu kamu pasti kesepian di rumah. Mama dan Papa masih dalam perjalanan keluar negeri."

Setelah mengatakan itu, kakaknya duduk di samping adiknya. Fabian bergeser sedikit, memberi ruang untuk kakaknya duduk.

"Ya, aku memang kesepian."

Brian mencubit pipi adiknya dengan gemas.

"Sakit kak!" Keluh Fabian sambil memegang pipi bekas dicubit kakaknya.

"Padahal kamu sering sekali pergi keluar untuk mengikuti Devan. Apa sekarang kamu benar-benar menyerah?"

Maka dari itu, Fabian memang menjadi kesepian. Dia baru sadar sekarang ini. Kalau sebelumnya dia mendedikasikan hidupnya untuk mengetahui kehidupan Devan. Sampai dia lupa sendiri cara menghabiskan waktu sendiri.

"Jangan sebut nama itu lagi. Aku tidak mau mendengarnya," pinta Fabian.

"Tampaknya kamu benar-benar menyerah?"

"Tunggu—" Fabian menatap kakaknya dengan lekat dan bertanya, "Kak Rian tahu aku suka Devan?"

Kakaknya malah terkekeh pelan, "Kamu baru bertanya itu sekarang? Setelah semua yang kamu lakukan untuk Devan?"

Di masa lalu, Fabian tidak terlalu memikirkan apakah keluarganya tahu kalau dia memaksakan cintanya kepada Devan, mengejarnya tanpa henti dan melakukan berbagai hal memalukan agar mendapatkan perhatian Devan.

Tapi, sepertinya, mereka semua memang sudah tahu sedari awal.

"Kalau begitu mama dan papa..."

"Ya, mereka tahu."

"Lantas kenapa mereka tidak melarangku?"

Brian diam selama beberapa saat, seolah tengah mencari jawaban yang pas.

"Lupakan saja. Tidak usah dibahas lagi. Toh, kamu bilang sudah menyerah tentang Devan, kan?"

Fabian mengangguk semangat. Ya, dia memang telah menyerah. Dia tidak mau lagi memperjuangkan hidupnya untuk orang yang tidak pernah meliriknya sedikitpun. Itu terlalu menyakitkan untuk mengulangi semuanya kedua kalinya.

"Kakak senang mendengarnya. Itu bagus untukmu."

"Iya, kak."

"Oh, iya, kakak malam ini mau pergi keluar. Selama seminggu terakhir ini. Rasanya sangat penat. Kamu mau ikut?"

"Ya! Bian mau ikut! Bian bosen di rumah sendirian."

"Oke. Kamu segera bersiap. Kakak tunggu di depan."

Setelah itu, Fabian pergi ke kamarnya. Mengganti pakaiannya menjadi lebih bagus daripada sebelumnya. Merapikan rambut dan memakai wewangian.

Sudah lama sejak dia dan kakaknya menghabiskan waktu bersama. Fabian sudah tidak sabar. Dia merindukan kedekatan mereka.

Saat bertemu dengan kakanya, dia hanya mwmakai pakaian sederhana. Kaos putih lengan pendek dengan celana panjang khas olahraga. Berbeda dengan Fabian yang memakai jeans biru ketat, kemeja biru bergaris dengan balutan jaket hitam.

"Kamu mau kemana dengan penampilan sebagus ini?"

"Katanya kita mau pergi keluar!"

"Kita hanya akan ke tempat olahraga."

"Apa?!"

"Hehehe... tidak apa. Kita pergi sekarang."

Di dalam mobil Fabian merajuk. Dia mengira kakaknya akan membawa Fabian ke tempat hiburan malam, atau setidaknya ke pusat perbelanjaan. Tapi dia hanya membawanya ke tempat olahraga?

"Kakak memang maniak olahraga!" Seru Fabian dengan kesal. Padahal dia sudah bersiap dengan penampilan yang paling bagus. Seharusnya Fabian tahu.

"Maaf. Lain kali kakak janji pasti akan bawa kamu ke tempat lain."

"Emm..."

Sepanjang perjalanan Fabian hanya diam. Sedangkan kakaknya di samping hanya tersenyum tipis melihat adiknya marah.

Ketika mereka tiba di tempat tujuan, Fabian turun sendirian dan langsung meninggalkan kakaknya.

"Bian tunggu!"

Fabian tidak mau menoleh dan terus masuk ke dalam gedung olahraga yang diterangi banyak lampu. Dia terus berjalan dengan cepat sampai tidak memperhatikan langkahnya dan akhirnya menabrak seseorang.

"Aw! Siapa sih yang menghalangi jalanku!"

Keluhnya dengan kesal.

Saat dia mendongak, dia mendapati tatapan dingin dan tajam itu.

"Devan?" Guamamnya pelan.

Devan menghela nafas pelan. Mendapati Fabian tepat berada di depannya.

"Kenapa kamu ada disini?"

Tanya Fabian penasaran. Padahal dia sudah berusaha tidak bertemu lagi dengan depan. Seperti perkataan di kehidupan sebelumnya. Tapi, lihat sekarang. Mereka kembali bertemu!

Devan mendengus pelan, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Jangan pura-pura ini kebetulan."

"Aku sungguh tidak tahu."

"Kamu mengikutiku, kan?"

"Tidak! Aku tidak melakukannya! Aku hanya ikut bersama dengan kakakku!"

"Memangnya aku akan percaya itu?"

Fabian menghela nafas pelan, memang Devan tidak mudah percaya setelah semua yang Fabian lakukan kepadanya. Memasang aplikasi pelacak dan mengikutinya diam-diam.

"Bian, kenapa masih disini?"

"Kak Rian!"

Fabian merasa senang saat mendapati kakaknya datang. Dia kemudian berlari dan memegang tangan kakaknya dari samping. Berusaha menyembunyikan tubuhnya dari tatapan menghunus Devan.

"Devan?" Tanya Brian saat bertemu Devan.

"Kak Rian ayo cepat masuk!" Seru Fabian dari samping

"Itu, Devan." Katanya kepada Fabian.

"Aku tahu. Jadi, cepetan masuk!" Seru Fabian memaksa kakaknya.

"Baiklah. Baiklah. Sepertinya kamu memang berusaha untuk melupakannya." Kata Brian dengan suara yang sengaja diperkeras. Hal itu memang sesuai dengan tujuan Brian, Devan mendengarnya dengan sangat jelas.

Mereka berdua bergegas masuk ke dalam. Meninggalkan Devan yang menatap kepergian mereka dengan dingin dan tangan kanan yang mengepal.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang