Bagian#9

38.4K 2.8K 15
                                    

Walaupun sudah pindah ke sekolah dan berada di kelas yang sama dengan Devan. Nyatanya perjalanan Fabian kecil tidak berjalan dengan mulus. Karena Devan sudah memiliki lingkaran temannya sendiri.

Fabian kecil beberapa kali meminta langsung kepada Devan untuk menjadi temannya. Mulai dengan menyingkirkan teman sebangkunya, memaksa berada di satu kelompok yang sama. Tapi semua itu tidak pernah berhasil.

Pada akhirnya, Fabian kecil selalu mengikuti Devan  selama di sekolah. Bahkan anak-anak disekolah mengatakan kalau Fabian bagaikan bayangan Devan.

Mungkin karena kegigihan itu, Devan mulai terbuka kepadanya. Dia mulai menerima Fabian pelan-pelan. Mengabaikan kelakuan Fabian karena setelah Fabian berteman dengannya. Fabian menjadi orang yang lebih baik dan tidak berbuat onar.

Tahun demi tahun berlalu begitu saja, hubungan pertemanan mereka semakin dekat. Dan Fabian semakin sering mengikuti Devan walaupun itu bukan di sekolah.

Dia akan mengikuti Devan menuju tempat lesnya, ikut dalam klub olahraga renang atau datang ke rumah Devan sekalipun. Devan tidak terlalu memusingkan itu, karena dia menganggap itu adalah hal yang wajar  diantara teman yang sangat dekat.

Suatu ketika, ketika berada di tahun terakhir SMA, Devan yang sudah disibukkan dengan persiapan ujian akhir dan kelulusan melihat Fabian yang masih tidak berhenti mengikutinya.

"Apa kamu tidak akan belajar? Sedari tadi kamu hanya duduk disini sambil memakan cemilan."

Devan melihat Fabian yang masih tidak melepaskan kedua matanya dari Devan. Mengabaikan buku yang tergeletak begitu saja, seperti tidak pernah disentuh.

"Aku bisa melakukannya nanti."

"Nanti kapan? Selama ini aku lihat kamu hanya berada di sekitarku."

"Apa kamu tidak suka?"

Fabian berhenti makan dan menatap Devan dengan tatapan sedih dan kecewanya, Devan merasa tidak suka dengan tatapan itu.

"Bukan itu maksudku."

Katanya menyangkal pertanyaan dari Fabian. Fabian yang cemberut langsung tersenyum dengan sumringah lagi. Kemudian dia bangkit lalu duduk di samping Devan.

"Kalau begitu aku akan terus menatapmu."

Katanya sambil berusaha memeluk Devan dari samping, tapi Devan mendorong tubuh Fabian untuk menjauh.

"Tidak ada gunanya menatap aku. Duduk di sana dan pelajari semuanya."

"Emm."

Fabian malah merajuk, "Justru kamu lebih penting dibandingkan buku-buku memusingkan itu."

"Jangan berkata seperti itu. Memangnya kamu tidak ingin lulus dan mau mengulang lagi di tahun depan?"

"Kenapa tidak?"

"Syukurlah. Aku tidak akan diikuti oleh kamu lagi."

Jawaban dari Devan itu malah membuat Fabian semakin cemberut dan merajuk. Dia menghentakan kakinya kemudian dia duduk di seberang dan mulai membuka buku pelajarannya. Devan yang melihat itu terkekeh pelan.

Dia tahu kalau Fabian tidak suka dengan ide itu. Dia adalah orang yang paling ingin terus berada di sisi Devan lebih dari siapapun.

Saat Devan ingin lanjut, suara dari Fabian di depan menghentikannya.

"Van."

"Ya, Bian?"

"Sebenarnya aku tidak perlu belajar."

"Apa?"

"Walaupun aku tidak bisa masuk universitas, aku akan tetap mengikutimu. Apapun akan aku lakukan untuk tetap berada disisimu. Lagi pula aku tidak butuh apapun di dunia ini selain dirimu."

Devan mengerutkan dahinya, merasa ada yang salah disini.

"Lantas bagaimana dengan hidupmu?"

"Aku tidak peduli itu. Karena kamu adalah hidupku dan duniaku, Devan."

Di usia yang 18 tahun, Fabian mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Walaupun dia masih remaja dan mau beranjak dewasa. Fabian benar mengatakan yang sebenarnya.

Fabian tidak tahu kalau dia tiba-tiba akan menjadi seperti itu beberapa tahun lalu. Ketika obsesinya terhadap Devan mulai mengarah ke sisi negatif.

Kembali ke kenyataan, Devan mendengus pelan seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Fabian.

"Dulu kamu bilang aku adalah hidup dan duniamu tapi sekarang kamu menariknya lagi?"

"Ya. Itu benar."

Selama beberapa saat, Devan hanya diam. Wajahnya tidak terkena sinar dari lampu terasa lebih gelap dan dingin. Fabian tiba-tiba merasa merinding. Karena Devan saat ini, berbeda dengan Devan yang dikenalnya.

Devan mengangkat wajahnya hanya untuk menunjukan wajah dingin dan tatapan menghapusnya. Dia mendekati Fabian dan memegang tengkuk Fabian.

"Aku tidak tahu kalau kamu adalah orang yang mudah ingkar."

"Apa?"

"Mudah sekali bagimu untuk menarik kembali kata-katamu, seolah-olah itu bukan hal berarti bagimu?"

Wajah Devan semakin gelap dan Fabian tidak tahu harus berbuat apa di situasi sekarang ini. Dia menyesal ikut bersama kakaknya dan bertemu dengan Devan.

"Aku pergi."

Namun, sebelum Fabian berbalik meninggalkan Devan, Devan telah menarik Fabian ke arahnya. Jarak di antaranya semakin tipis, dan kedua tubuh mereka hampir berpelukan.

"Lepaskan!"

"Mau pergi kemana setelah mengatakan itu?"

"Lepaskan! Aku tidak mau berbicara lagi denganmu!"

"Kenapa? Karena aku menolak pernyataan cintamu itu?"

Fabian yang tadinya berusaha melepaskan dirinya akhirnya berhenti. Dia jadi ingat kejadian beberapa waktu lalu. Saat Devan secara dingin menolaknya.

"Ya, lagi pula kamu tidak menyukaiku. Kamu juga tidak suka aku didekatmu kan? Jadi lepaskan aku?!"

"..."

"Lepaskan. Aku berjanji. Aku tidak akan mendekatimu lagi."

"..."

"Biarkan aku pergi."

Fabian memang dibiarkan pergi, tapi Devan tidak membiarkan Fabian pergi sendiri. Dia justru menarik Fabian keluar bersamanya. Menariknya dengan paksa menuju salah satu sisi gedung olahraga yang gelap dan..

Keduanya mulai berciuman. Tidak. Lebih tepatnya Devan adalah orang pertama yang memaksakan ciuman diantara keduanya. Dia mendekati wajah Fabian, mendorong bibirnya yang tertutup rapat lalu lidahnya masuk ke dalam menjelajah dengan penuh minat.

Di sisi lain Fabian tidak percaya dengan keadaan saat ini, dia melotot terkejut. Berkali-kali dia berusha berbicara tapi naas mulutnya sudah dibungkam mulut Devan. Kedua tangannya pun secara paksa di taruh di atas kepala Fabian dan kedua kaki Fabian di tahan oleh tubuh Devan.

Lidah Devan berkali-kali menggoda milik Fabian, menjilati seluruh area basah dan panas itu kemudian mengecup dengan asyik.

"Aw."

Devan mengeluh dengan keras, darah keluar dari dalam mulutnya. Fabian kemudian mendorong tubuh Devan untuk menjauh.

"Kau kehilangan akal ya!"

Teriak Fabian dengan keras, ada beberapa tetes darah di sekitar mulutnya. Dia menatap Devan yang masih kesakitan dan kesulitan untuk membalas karena lidahnya digigit oleh Fabian.

"Kau gila ya!"

"Apa yang kau lakukan barusan!"

Fabian bingung harus berkata seperti apa lagi. Dia seperti melihat Devan adalah orang lain. Orang baru yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Seolah-olah Devan dulu telah menghilang dari dunia ini dan digantikan orang yang baru.

"Kalaupun aku menyukaimu, bukan berarti kamu bebas menciumku!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang