Bagian#43

18.2K 1.6K 77
                                    

Tanpa Fabian sadari, lebih dari 10 hari semenjak dia terkurung.

Selama hari-hari itu, Fabian tidak lagi menghitung berapa hari yang berlalu. Karena dia sendiri tidak tahu waktu pasti. Yang diketahuinya adalah, kalau setiap harinya, Devan pasti akan datang kepadanya dalam 3 kali.

Kemungkinan itu adalah, pagi, siang dan malam.

Dalam 3 kali kedatangannya dia akan selalu mengecek keadaan tubuh Fabian. Kemudian memberi makan Fabian. Selanjutnya bercerita banyak hal tentang dirinya. Apa yang terjadi pada dirinya seharian dan menanyakan apa yang dilakukan Fabian.

Padahal, selain makan, tidur dan membersihkan tubuhnya. Fabian tidak memiliki pekerjaan apapun. Pernah sekali dia meminta kepada Devan untuk menyerahkan ponselnya, namun Devan segera menolak.

"Aku tidak mau menyerahkannya kepadamu. Aku takut kamu akan merindukan dunia diluaran sana. Dunia dimana aku bukanlah satu-satunya."

Pernah dia juga bertanya perihal keluarganya kepada Devan, namun itu masih memiliki penolakan yang sama.

"Aku tidak akan memberitahumu. Karena dengan begitu kamu tidak akan mengkhawatirkan atau memikirkan mereka. Cukup pikirkan aku saja. Biarkan aku menjadi satu-satunya dunia untukmu."

Fabian juga tidak lagi memberontak kepada Devan. Dia mengira itu semua hanya akan berakhir sia-sia saja. Daripada membuang tenaga untuk sesuatu yang akan berakhir sama. Dia tidak mau repot.

Mungkin karena itulah, sikap Devan sedikit berubah.

"Fabian."

Devan yang baru saja masuk menyapa Fabian dengan ruang. Dia tersenyum lebar dan begitu hangat. Sampai Fabian membayangkan kalau itu seperti sinar matahari di pagi hari.

Dia datang dan duduk di tepi ranjang setelah menaruh nampan bawaannya diatas meja. Tangannya mulai membelai kepala Fabian dengan lembut. Selanjutnya dia memegang Fabian dan mengusapnya dengan pelan.

"Merindukanku?"

Fabian mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Lagi pula siapa yang bisa dia rindukan selain Devan. Setiap hari dialah yang datang dan menemui Fabian. Fabian tidak bisa membuat dirinya untuk tidak menunggu kapan Devan datang.

"Maafkan aku. Hari ini aku pulang terlambat daripada biasanya."

Suaranya begitu lemah dan getir seolah merasa kecewa karena membuat Fabian harus menunggu lebih lama.

"Banyak pekerjaan terus menahanku untuk pulang. Tapi, jika aku meninggalkannya begitu saja, waktuku denganmu akan lebih terganggu lagi."

"Aku tidak senang akan hal itu."

Fabian memegang tangan Devan yang masih berlama-lama di pipinya, sorot matanya menunjukan kalau dia terlihat simpati mendengar cerita Devan.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja disini."

Devan yang tidak menyangka mendengar itu segera memeluk Fabian dengan begitu erat. Dia menyentuh leher Fabian yang terbuka dan menghirup aroma tubuh Fabian dalam-dalam.

"Aku sangat merindukanmu, Fabian."

"Aku benar-benar gila."

"Aku tidak kuat."

Fabian di sisi lain mulai membalas pelukan Devan. Dia mengusap punggung Devan dengan lembut dan mulai berbisik sesuatu di telinganya.

"Aku juga sama."

Mendengar itu, Devan langsung menjilat leher Fabian secara sensual. Sesekali dia mengecap leher ramping dan putih itu dengan rakus. Takut kalau seseorang mungkin merebutnya.

"Agh.."

Lenguhan pelan tidak sengaja keluar dari mulut Fabian. Dia yang merasa malu mendengar suaranya sendiri segera mendorong tubuh Devan.

"Aku lapar."

Devan hanya berkedip selama beberapa saat, "Ah, ya. Aku lupa."

Setelahnya dia mengambil mangkuk berisi bakso hangat dengan toping mie. Panas mengepul ke udara dan masuk melalui hidung Fabian. Aroma lezat jelas menggodanya.

"Makanlah. Aku tahu kamu pasti suka."

"Aku suka!"

Fabian berseru senang. Dia menatap semangkuk bakso di tangannya dengan penuh minat. Ini merupakan salah satu makan favoritnya. Dia tidak mau menyia-nyiakan makanan berharga seperti ini.

Saat mengecap kuah, rasa kaldu yang ringan namun kuat begitu terasa diseluruh mulutnya. Dia sampai tidak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya itu.

"Aku membelinya di tempat favoritmu."

"Benarkah?"

"Ya."

Mendengar info itu, Fabian tidak mau berlama-lama lagi. Dia sudah sibuk makan bakso hangat itu. Sedangkan Devan di sisi lain hanya memperhatikan Fabian yang begitu lahap makan. Tatapan hangat itu terlihat seperti bangga atas tindakannya.

"Ah, ini begitu enak!"

Devan tersenyum sambil mengangguk pelan. Fabian kemudian menyerahkan mangkuk kosong itu kepada Devan. Devan segera membereskan semua dan hendak pergi keluar tapi, suara Fabian segera menahannya.

"Kamu mau pergi?"

"Iya. Masih ada hal lain yang harus aku lakukan. Memangnya kenapa? "

Fabian yang malu-malu menggaruk tengkuknya pelan, dia menatap Devan namun segera menarik lagi matanya ke arah lain.

"Kalau begitu kamu pergi saja."

"Kamu masih ingin bersamaku?"

"Ya."

Devan merasa puas mendengar itu, dia kembali ke arah Fabian. Menaruh nampan di atas nakas lalu berjongkok di bawah ranjang. Memegang kedua tangan Fabian.

"Apa alasannya?"

"Itu... aku perlu mandi. Bisakah kamu membantuku mandi?"

"Eh?"

Devan melongo terkejut, itu karena ini adalah pertama kalinya Fabian meminta bantuannya. Sebelumnya dia akan mendi sendiri dan Devan hanya akan menunggu di luar.

"Apa aku tidak salah dengar?"

"Lupakan saja jika kamu tidak mau!"

Fabian hendak bersembunyi di dalam selimut, tapi Devan memegang tangannya dengan erat dan berkata dengan berat, "Itu akan sia-sia jika aku tidak mau melakukannya."

Dia kemudian mengangkat tubuh Fabian. Tapi, sebelum membawanya, dia terlebih dahulu mengeluarkan kunci dari saku celana dan mulai melepaskan besi di pergelangan kaki Fabian.

Dia menggendong tubuh Fabian layaknya seorang pangeran membawa putri. Menuju kamar mandi yang sedikit lembab. Lalu menaruh Fabian di dalam bathtub kering.

"Duduklah disini. Aku akan mengisinya dengan air yang hangat."

Fabian mengangguk pelan. Devan begitu gembira dengan perilaku Fabian. Dia begitu patuh dan baik. Menerima semua perilaku Devan dengan tangan terbuka. Tidak menolaknya sama sekali.

Sambil menunggu air penuh, dia memasukan sabun cair ke dalam. Fabian kemudian bermain dengan air dan sabun yang menghasilkan buih-buih. Sesekali dia mengambil itu dan melemparkannya kepada Devan dengan tertawa pelan.

Devan tidak tahan dengan sikap Fabian yang menggemaskan. Dia memeluk tubuh Fabian yang sudah setengah basah. Fabian juga balas memeluknya.

"Jika aku tahu ini akan terjadi, seharusnya aku melakukan ini sejak lama."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang