Bagian#20

30.4K 2.5K 60
                                    

"Ada apa Fabian?"

Fabian yang melamun beberapa saat, kembali tersadar setelah mendengar suara lembut Axel. Fabian kemudian menatap ke belakang tubuhnya. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Devan masih sibuk berbincang dengan Laura. Bahkan mereka saling menatap begitu lekat dan mesra.

"Aku pikir itu cuma perasaanku saja."

"Apa?"

Fabian mendongak dan menatap Axel, "Oh, tidak Pak Axel. Saya baru saja ingat sesuatu."

"Oh, aku kira apa. Kalau begitu kita pergi."

"Emm, iya. Ayo."

Fabian mengikuti Axel di sampingnya, setelah beberapa langkah dia menoleh ke belakang. Dan Devan masih sibuk dengan Laura. Fabian menghela nafas pelan dan kembali berjalan bersama Axel.

Dia mengira kalau Devan baru saja menahan tangannya. Fabian sangat yakin dengan sentuhan itu. Sentuhan yang membuat tubuhnya membeku dan dunia seolah berhenti bergerak. Perasaan familiar yang sering dialaminya akhir-akhir ini.

Tapi, melihat Devan tidak memperhatikannya sama sekali, berarti itu semua hanya khayalan Fabian saja. Tampaknya tubuh Fabian mulai memberontak karena mulai menjauhi Devan.

Entahlah, Fabian juga tidak mengerti dirinya.

"Kak—maksudku Pak Axel."

"Kenapa Bian?"

"Saya perlu ke perpustakaan."

"Ah, baiklah. Sepertinya kita harus berpisah disini."

Suara Axel terdengar kecewa dan sedih. Fabian jadi merasa bersalah dan tidak tega. Axel tampak seperti anak anjing yang ditinggalkan tuannya.

"Kalau Pak Axel tidak keberatan, sore nanti kita bisa pulang bersama."

Axel langsung berdiri dengan semangat, wajahnya berseri dan kedua matanya juga begitu berbinar. Wajahnya terlihat menyilaukan, seperti silau cahaya matahari di siang hari.

"Aku mau!"

"Hehe... baiklah. Nanti saya kabari kalau saya telah selesai."

"Oke, berapa lama pun aku akan tetap menunggumu!"

Fabian hanya mengangguk canggung, apalagi setelah mendapati beberapa mahasiswa di sekitar mereka menatap Fabian dengan iri. Fabian membalas tatapan mereka dengan tatapan tajamnya. Mereka langsung buru-buru pergi.

Setelah itu, Fabian pergi ke perpustakaan. Tiba di perpustakaan, Fabian merasa dirinya baru pertama kali ini secara sadar membawa dirinya ke tempat ini. Karena, di kehidupan pertama, dia tidak memperdulikan kuliahnya.

Sudah Fabian katakan, kalau yang penting dalam hidupnya adalah Devan seorang.

Dia melangkah masuk dan mencari buku di rak-rak yang berjejer. Disana Fabian terus meneliti buku yang ia butuhkan untuk mata kuliah di jam berikutnya. Karena Fabian pikir, lebih baik mempersiapkan materinya sejak awal.

Karena Devan tidak menjadi dunianya lagi, Fabian harus fokus dengan kuliahnya. Setidaknya sampai dia lulus nanti. Dia juga perlu mempersiapkan skripsi untuk kelulusannya nanti.

"Astaga!"

Fabian terkejut saat menarik salah satu buku, dia mendapat mata dingin dari seberang. Fabian memegang dadanya karena kaget dan tidak bisa mengatur nafasnya.

Baru ketika dia bisa mengatur nafasnya, Fabian yang berjongkok mendongak. Di depannya ada seorang pria dengan tubuh atletis, menjulang tinggi ke atas.

"Devan?"

Tadi itu adalah mata Devan. Fabian sangat yakin dengan itu. Tapi, kenapa dia berada disini, dia tidak mengikuti Fabian, kan?

"Tidak mungkin." Gumam Fabian.

Kemudian dia bangun, tapi Devan segera menarik tangannya ke bagian belakang perpustakaan. Menahan Fabian diantara rak buku dan tubuhnya. Di tempat sepi dan gelap ini, Fabian takut hal aneh akan kembali terjadi.

"Apa maumu?"

Devan hanya diam saja, dia memperhatikan wajah Fabian dari jarak yang begitu dekat. Mulai dari bentuk wajahnya yang kecil, begitu pas di satu tangannya. Sepasang mata bulat dengan bulu mata panjang terlihat berkibar dengan lembut. Bibir merah dan penuh itu terlihat digigit dari bagian dalam.

Fabian diam-diam ingin pergi meninggalkan Devan karena mendapati Devan hanya melamun. Tapi, itu tidak mudah tentu saja. Devan menariknya kembali kemudian menaruh wajahnya di antara tengkuk dan bahu Fabian.

"Hei!"

Fabian berteriak dengan suara tertahan. Dia tidak bisa berteriak sesuka hati karena ini adalah tempat umum. Dia tidak mau membuat keributan lebih lanjut saat orang lain menemukan mereka dalam posisi ambigu seperti ini.

"Apa kau senang punya teman baru."

Devan menarik tubuhnya dan menatap Fabian. Suaranya masih tetap tajam, hanya saja sedikit bergetar.

"Ya, dia lebih baik darimu."

Entah kenapa, Fabian tiba-tiba merasakan dirinya memiliki dorongan untuk memprovokasi Devan. Devan tidak menanggapi apapun.

Fabian menghela nafas, "Dia memperlakukanku dengan layak. Selama aku bersamanya, aku merasa dilindungi. Dia selalu menjadi orang yang perhatian terhadapku."

Devan : "..."

"Kenapa? Kamu tidak suka kalau dulu temanmu yang sangat menempel kepadamu layaknya lem sekarang tiba-tiba menjauh dan menempel pada orang baru?"

Devan : "..."

"Sebaiknya kita tetap seperti ini saja. Kita saling berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Itu lebih baik untuk kita berdua."

Setelah itu, Fabian melepaskan tangan depan dari pinggangnya. Dia berusaha menjauh, tapi tiba-tiba Devan menariknya lagi dan memeluknya dari belakang.

"Eh..!"

"Memangnya aku ingin masuk dalam permainan barumu ini?!" Devan bertanya dengan suara tajamnya, Fabian bisa mengetahui kalau dia tengah menyeringai tanpa melihatnya sekalipun.

"Bukan berarti kamu memintaku, aku akan melakukannya. Kita pura-pura kenal atau tidak, itu terserah mu. Aku tetap akan melakukan bagianku sendiri."

Suara Devan terdengar seperti orang yang tengah marah saat ini. Fabian bingung, kenapa dia harus marah? Bukannya justru dia malah senang?

Belum sempat berkata, tubuh Fabian diputar dan kedua bibir mereka bersatu kembali untuk kedua kalinya. Fabian melotot terkejut. Belum sempat Fabian mendorong tubuh Devan, tangan Devan dengan sigap memegang kedua tangannya. Menahannya ke belakang tubuhnya. Devan mendorong tubuh Fabian ke rak buku.

Dia mengecup bibir Fabian dengan semangat. Kemudian menjilati bagian atasnya dan bawahnya penuh minat. Pilihan terakhir Fabian adalah menahan mulutnya untuk tertutup secara sempurna.

Namun naas, bibirnya digigit oleh Devan, "Ah.." lenguhan keluar dari mulutnya. Devan menyeringai kemudian dia bisa memiliki akses untuk masuk ke dalam area panas dan basah itu. Dia menjilati lidah Fabian dengan sensual.

Kedua matanya memancarkan tatapan predator kepada mangsanya. Siap melahap Fabian dengan mulutnya. Fabian tidak mau melihat kedua mata itu jadi dia memalingkan tubuhnya.

"Kak Devan? Kamu dimana?"

Fabian melotot terkejut mendengar suara dari belakang tubuhnya. Dia menegang karena merasa gugup dan takut secara bersamaan. Walaupun begitu, Devan tidak mau berhenti dan terus asyik menggoda lidah Fabian.

"Kak Devan?"

Dengan sekuat tenaga, Fabian menginjak kaki kanan Devan dengan kakinya. Dia juga menendang bagian lutut Devan. Yang akhirnya Devan secara sukarela menjauh dari tubuhnya. Tidak hanya itu, tamparan keras terakhir didapatkan Devan di kedua pipinya.

"Kau pantas mendapatkannya! BAJINGAN GILA!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang