Dua bulan berlalu begitu saja tanpa ada kejadian yang berarti.
Kehidupan Fabian berjalan mulus, dia bisa pergi ke kampus dengan tenang. Di kampus pun sama, Devan tidak lagi datang mengganggunya. Dia akan menghabiskan kebanyakan waktunya bersama Laura. Devan sudah mengerti apa yang Fabian tegaskan.
Baik Fabian atau Devan, mereka berdua telah menjalani kehidupan mereka masing-masing. Mereka saling menganggap satu sama lain sebagai orang asing dan tidak pernah ada. Layaknya hantu, sengaja mengabaikannya.
Walaupun begitu, Fabian masih tidak memiliki teman di kampus. Yang dia miliki hanyalah Axel seorang. Dia akan menghabiskan waktunya dengan Axel. Setiap mereka memiliki waktu luang, mereka akan bersama-sama.
Tidak hanya di kampus, saat akhir pekan pun, mereka akan jalan keluar bersama. Axel akan membawanya ke tempat latihan bela diri. Disana mereka berlatih bersama. Setelahnya mereka akan makan bersama dan di sore hari Fabian akan diantarkan pulang ke rumahnya.
Di akhir pekan ini, ini adalah jadwal yang sama bagi dirinya.
"Bian pamit dulu ya, mau ke tempat biasa."
Fabian yang sudah berganti pakaian berpamitan kepada orang tuanya. Orang tuanya yang berada di ruang tengah, duduk di sofa panjang sambil menonton tayangan televisi.
"Kamu tidak dijemput Axel?"
Tanya ibunya, itu karena Axel hampir setiap hari datang menjemput dan mengantarkan Fabian. Dia hampir seperti supir pribadi Fabian. Walaupun Fabian merasa keberatan karena tidak enak hati, Axel bilang kalau dia tidak merasa direpotkan.
Pada akhirnya, Fabian pun jadi terbiasa.
"Tidak. Hari ini dia ada kesibukan lain. Jadi, Fabian akan berangkat sendirian."
"Oh, ya sudah. Hati-hati di jalan."
"Iya, Ma."
Setelahnya dia pergi ke bagian garasi rumahnya, berjalan ke arah mobil putih favoritnya. Mobil yang sebulan lalu di rusak oleh Devan sekarang sudah terlihat mulus lagi.
Fabian pun masuk dan mulai menghidupkan mobilnya. Tidak butuh lama, hingga dia keluar dari rumahnya dan masuk ke area jalan raya.
Sepanjang perjalanan Fabian menyanyi dengan riang, sesekali dia melihat ke kaca dashboard mobilnya. Memperhatikan area luar di belakang mobilnya.
"Ini perasaanku saja atau memang itu sedari tadi mengikutiku?"
Semenjak dia keluar dari garasi rumahnya, mobil hitam di belakang selalu ada di sana. Awalnya Fabian mengira kalau itu kebetulan saja. Toh, pengguna jalan bukan hanya dirinya saja. Tapi, kalaupun begitu, kenapa sampai setengah jalan, mobil itu tetap ada disana.
"Semoga aku salah."
Setelah itu, lampu merah di depan berubah menjadi hijau. Fabian segera melajukan mobilnya, sambil sesekali melihat ke belakang. Mengecek apakah mobil hitam itu mengikutinya lagi.
"Ternyata tidak. Dia mengambil jalan lain."
Fabian merasa lega, mungkin dia terlalu parno atau semacamnya. Fabian pun tiba di tempat latihannya sekitar 15 menit kemudian.
Disana, dia berlatih olahraga taekwondo. Awalnya Fabian cukup kesulitan mengikuti taekwondo. Tubuhnya terlalu kaku dan lemas. Tapi, seiring berjalannya waktu, atas bantuan Axel juga. Fabian perlahan mulai menguasai beberapa teknik.
Fabian terus berlatih bersama orang-orang yang ada disana. Walaupun begitu, anehnya mereka tidak pernah mau berbicara dengan Fabian.
"Hei, bagaimana kalau selesai latihan kita makan di restoran depan yang baru buka."
"Tidak. Terima kasih."
"Kalian ngampus dimana?"
"Jangan bicara kepada kami."
Mereka selalu saja menolak ajakan Fabian. Fabian tidak tahu dia salah apa. Jadi, dia akhirnya menyerah dan tidak mau bersosialisasi dengan yang lainnya. Lagi pula selalu ada Axel disampingnya. Walaupun hati ini dia tidak ada.
"Kak Axel tidak ada, aku jadi merasa kesepian."
Fabian yang lelah berlatih pun akhirnya memilih untuk beristirahat di pojokan. Sambil memperhatikan orang-orang yang masih terus berlatih, Fabian membuka ponselnya dan menemukan pesan dari Axel.
Kak Axel [ Fabian. Aku minta maaf. Sore ini aku juga tidak bisa datang kesana.]
Fabian [ Tidak apa-apa, Kak Axel.]
Kak Axel [Maaf. Padahal semalam aku sudah janji untuk mengajakmu makan di restoran barat milik salah satu kerabatku. Tapi, karena satu dan lain hal, aku tidak bisa datang.]
Fabian [Tidak apa. Lain kali kita bisa kesana.]
Kak Axel [ Terima kasih Fabian. Sampai jumpa besok pagi.]
Fabian [Ya]
Setelahnya dia menutup ponselnya dan mulai membereskan semua barang-barang miliknya. Fabian tidak ada minat untuk berlatih lagi. Dia sudah terlalu lelah. Keringat yang tadi bercucuran pun perlahan mulai mengering.
Fabian keluar dari gedung bela diri itu dan pergi ke seberang untuk membeli minuman dingin. Bel berbunyi saat Fabian membuka pintu kafe. Dia berjalan menuju ke depan counter kasir.
"Kak pesan Es Americano 1."
"Baik, mohon ditunggu."
Fabian pun memilih untuk duduk di salah satu kursi kosong. Seseorang kemudian masuk dari pintu depan kafe. Penampilannya cukup aneh, dia memakai pakaian serba hitam. Sangat mencurigakan.
Ketika pesanan Fabian selesai, dia mengambil minumannya dan segera keluar dari kafe tersebut. Tidak lama, bel pintu di belakangnya kembali terdengar. Fabian yakin, kalau orang berpakaian serba hitam itu mengikutinya.
Apalagi, saat Fabian masuk ke gedung bela diri untuk membawa barang-barangnya sebelum pulang, dia melihat pria itu berdiri di salah satu sisi jalan. Seolah tengah menunggu Fabian.
Fabian pun segera turun dan sengaja melewati pria mencurigakan itu. Pura-pura tidak tahu apa yang dilakukannya. Setelah melihat gang sempit dan gelap yang akrab, Fabian masuk ke sana.
Tanpa butuh waktu lama, Fabian menendang kepala pria tersebut dengan teknik taekwondo yang sering dia lakukan akhir-akhir ini. Pria itu, langsung tumbang begitu saja, dia terlalu kaget sampai tidak memiliki pertahanan diri.
Fabian kemudian mengeluarkan kabel ties yang dia kantongi dan segera mengikat tangan pria di bawahnya. Dia juga sekalian mengingat kakinya, sebelum pria itu sadar.
Fabian menepuk tangannya seolah tengah membersihkan debu. Melihat pria di bawah sana yang meringkuk.
"Ternyata usahaku untuk latihan bela diri tidak sia-sia."
Lalu, Fabian berjongkok untuk melihat wajah si pelaku. Wajahnya tertutup masker hitam dan hanya memperhatikan bagian matanya saja.
"Kalau kamu mau menguntitku, lakukan itu dengan benar."
"Bodoh!"
Tangan Fabian mengulur untuk menarik masker hitam itu, begitu masker itu terbuka, dia melihat sosok pria yang usianya sekitar 30 tahunan.
"Mas Heri?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...