Bagian#35

22.2K 1.8K 32
                                    

"Maaf, lupakan apa yang aku katakan barusan."

William menggaruk tengkuknya malu, Fabian juga merasa canggung. Dia hanya mengangguk dengan kikuk. Untungnya, para murid di akademi ini akhirnya datang dan memecahkan keheningan panjang diantara mereka berdua.

"Sampai jumpa di jam makan siang nanti."

Fabian mengangguk pelan. Melihat kepergian William dari ruangan itu. Selanjutnya Fabian kembali duduk di kursi piano.

Sebenarnya sejak awal Fabian diterima bekerja di akademi ini, dia tahu kalau William memiliki perasaan terhadapnya. Namun, Fabian belum siap menerima orang baru di dalam hidupnya.

Walaupun dia tahu William sangat baik kepadanya, karena mempekerjakan Fabian yang notabenenya tidak memiliki ijazah lulusan jurusan musik, Fabian tetap belum bisa menerima William. Lagipula William juga tidak pernah mengatakan dia menyukai Fabian, jadi, Fabian akan pura-pura tidak tahu saja.

Setelahnya beberapa anak murid mulai memasuki ruangan itu, Fabian menyambut mereka dengan baik. Selanjutnya dia memberikan penjelasan kepada semua orang. Dan mulai memberikan pelatihan piano.

Saat sibuk berkutik mengajar, Fabian melupakan semuanya. Dia begitu fokus mengajari anak-anak ini. Apalagi tingkah mereka yang membuatnya tertawa riang. Membuat beban di pundaknya tiba-tiba menjadi hilang.

Jam makan siang pun tiba.

Anak-anak segera berhamburan dari kelas, sedangkan Fabian di dalam membereskan barangnya. Selanjutnya dia keluar dan menemukan William sudah berdiri di luar pintu.

"Ayo, kita makan siang bersama. Tidak keberatan, kan?"

"Tentu."

Fabian mengangguk setuju dan mereka berdua pergi ke kantin. Karena tidak terlalu memiliki nafsu makan walaupun perutnya sedari tadi pagi masih kosong, Fabian memilih mengisinya dengan dua potong sandwich berisi sayuran, telur dan keju.

"Apa kamu kenyang dengan makan itu saja?"

William yang duduk di seberangnya bertanya kepada Fabian. Fabian membalasnya dengan mengangguk pelan.

"Ya."

"Oh, ya. Apa kamu masih tidak berniat memiliki nomor telepon?"

Fabian berhenti mengunyah sadwich di tangannya dan menatap William. Kemudian dia menggeleng pelan sebagai balasan.

"Tidak. Tidak untuk saat ini."

"Benarkah?"

"Ya."

Fabian memang tidak nomor telepon sama sekali. Jika ada orang yang mau menghubunginya, dia akan memberi mereka alamat emailnya saja. Itu karena dia tidak mau membawa ponsel yang sedikit jadul tersebut. Lagipula dia tidak memiliki siapapun untuk dihubungi. Jadi tidak memiliki nomor telepon bukanlah masalah besar..

"Kalau Pak William mau menghubungi saya. Bisa lewat email milik saya."

"Tapi kamu selalu lama membalasnya."

Fabian terkekeh pelan, itu karena dia tidak selalu membawa ponsel miliknya. Kemungkinan dia akan membuka email ketika di malam hari saja.

"Maaf."

"Tidak apa-apa. Lagi pula kita masih bisa mengobrol saat di akademi."

"Ya."

"Oh, ya. Apa kamu memiliki waktu luang untuk besok sore?"

Besok adalah akhir pekan, dan Fabian tidak memiliki jadwal apapun. Kemungkinan jika dia tidak keluar, dia akan menghabiskan waktunya di dalam apartemennya lagi.

"Tidak."

"Bagaimana kalau besok kita menonton film. Kamu tahu, ada film yang baru saja rilis minggu kemarin. Aku dengar dari temanku kalau film tersebut sangatlah bagus. Bahkan dia memberikan aku dua tiket gratis. Lihatlah."

William mengeluarkan dua tiket nonton dari dompet miliknya. Menunjukan itu kepada Fabian.

"Jadi, kalau kamu mau. Bagaimana kalau kita menonton? Sayang kalau tiketnya hangus begitu saja."

Awalnya Fabian hendak menolak ajakan William, karena Fabian yakin ini adalah semacam kencan. Namun, dia merasa tidak enak hati kepada William. Apalagi setelah sering menolakmya.

Mengatakan berbagai alasan seperti, dia sedang tidak enak badan, dia memiliki kesibukan lain ataupun hal lainnya.

"Aku mau."

Fabian akhirnya menyutujui ini. Setidaknya mereka hanya akan menonton. Bukan seperti melakukan hal lain. Selain itu, sudah lama semenjak terkahir kali Fabian menonton film di bioskop.

"Terima kasih!"

Sore harinya setelah pulang dari akademi, Fabian menyempatkan diri terlebih dahulu menuju minimarket. Dia hendak membeli beberapa perlengkapan dan bahan-bahan masakan yang hampir habis.

Sambil mendorong troli, Fabian memilah-milah barang yang hendak dibeli. Mungkin karena itulah dia sampai tidak sengaja mendorong tubuh orang lain sampai terjatuh.

"Maaf. Aku tidak sengaja."

Pria yang memakai pakaian serba hitam itu tergeletak di lantai, saat Fabian mengulurkan tangannya untuk menolong pria tersebut, pria itu malah kabur begitu saja. Fabian heran dan mengerutkan keningnya.

"Orang aneh."

Tidak mau ambil pusing, Fabian segera menyelesaikan semuanya dan bergegas kembali ke mobilnya. Sebelum salju turun lebih lebat sesuai dengan perkiraan cuaca.

Sekitar 10 menit kemudian, Fabian memarkirkan mobilnya di garasi basement apartemen kecil itu. Dia keluar dari mobil sambil membawa satu kantong belanjaan.

Saat hendak menaiki lift, lift tersebut ternyata masih rusak dan belum diperbaiki. Alhasil, Fabian memilih menaiki tangga menuju lantai 5. Sesekali sepanjang jalan dia bertemu dengan penghuni lain, dia pun menyapa mereka sebagai sopan santun.

Sebelum naik ke lantai 5, Fabian tiba-tiba berhenti karena menemukan pria aneh. Pria yang tampaknya tidak begitu asing. Memakai pakaian serba hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Tengah berusaha membuka pintu apartemen Philip.

Fabian membeku melihat itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memilih untuk diam dulu dan membiarkan orang tersebut dengan paksa masuk ke dalam apartemen Philip.

Baru, ketika pintu rumah itu tertutup, Fabian segera masuk ke apartemennya dan mengunci apartemennya dengan rapat.

"Kamu kenapa, tuan?"

Fabian menoleh dan mendapati Philip di belakangnya..

"Sst. Diam. Aku barusan melihat seorang pencuri masuk ke apartemenmu."

"Apa? Benarkah?"

"Iya. Lebih baik kamu tinggal disini dulu. Aku takutnya dia membawa senjata tajam."

"Tidak. Biarkan aku mengecek ke sana."

"Jangan! Diam saja disini."

Philip mendekat dan memegang bahu Fabian dengan erat, "Tenang saja. Aku yakin tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Jadi, kamu tetap diam saja disini dan mengunci pintu. Biarkan aku mengecek ke dalam sana. Oke?"

Fabian pun mengangguk pelan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang