Bagian#17

30.3K 2.4K 59
                                    

"Sayang sekali, padahal aku ingin mengantarmu pulang. Tapi, aku saat ini tengah terburu-buru."

Suara Axel begitu parau, wajahnya sedih karena harus pergi meninggalkan Fabian. Fabian yang berada di luar berkata, "Tidak apa. Lagi pula aku membawa mobil sendiri."

"Padahal aku masih ingin bersamamu. Tapi, aku tidak bisa. Aku minta maaf."

"Tidak perlu meminta maaf. Kak Axel pergi saja. Lain kali kita bisa menghabiskan waktu bersama."

"Benarkah?!"

Axel yang tadi wajahnya murung berubah ceria mendengar saran dari Fabian. Padahal Fabian hanya berbicara asal ceplos saja. Tidak menyangka Axel itu akan menganggapnya secara serius.

"Em... ya?"

"Oke! Janji ya!"

"Iya, iya. Kak Axel cepat pergi. Katanya terburu-buru."

Fabian berusaha mengalihkan topik lagi karena dia merasa malu sendiri. Dia yang bilang bingung cara berteman tapi, malah mengusulkan pertemuan mereka untuk selanjutnya.

"Hehe... oke. Hubungi aku jika kamu tiba."

"Ya."

Dengan begitu, mobil hitam membawa Axel pergi bersamanya masuk ke dalam area jalan raya yang dipenuhi kendaraan. Hujan langsung membasahi mobilnya. Setelah beberapa saat, mobilnya hilang di antara kerumunan.

"Padahal aku tidak membawa mobil."

Fabian berbohong. Itu karena mobilnya masih berada di bengkel untuk diperbaiki. Kalau bukan karena Devan. Dia tidak mungkin pergi tanpa mobilnya. Walaupun ada mobil lain, tapi dia lebih nyaman dengan mobil yang rusak itu.

Sambil menunggu hujan reda, Fabian berdiri di pinggiran pintu masuk. Dia membuka ponselnya lalu menghapus ribuan foto dan video tentang Devan.

"Kalau saja aku tidak memindahkannya! Aku tidak akan serepot ini!"

"Kenapa pula aku mengambil begitu banyak foto dan video tentangnya!"

Karena saking banyaknya file tentang Devan, itu hampir memenuhi ponselnya yang baru. Namun, setelah semuanya hapus secara permanen. Ruang penyimpanan kembali kosong.

Kali ini, Fabian masuk ke dalam aplikasi pesan. Disana dia hanya melihat 4 ruang pesan. Tiga diantaranya adalah keluarganya dan sisanya pasti Devan.

"Sepertinya aku sangat anti-sosial."

Fabian pun menghapus ruang pesan Devan.

"Kenapa kau belum pulang?"

Fabian mendongak dan mendapati Devan berdiri disampingnya. Matanya tidak melihat ke arah Fabian. Melainkan ke area jalan raya yang ramai.

Fabian tidak mau berbicara dengannya, jadi dia dengan sengaja mengabaikannya. Apalagi, setelahnya dia mendapatkan pesan baru dari Axel.

Kak Axel [Aku terjebak macet.]

Fabian [bersabarlah.]

"Kau tidak pulang diantar olehnya?"

Fabian menghela nafas pelan, katanya dia tidak mau diganggu Fabian. Tapi dia sendiri yang lebih dulu mengganggu Fabian. Fabian akhirnya menjauh darinya dan mulai mengabari kedua orang tuanya kalau dia akan pulang sedikit telat.

Karena memesan taksi online di cuaca yang tengah hujan dan jalanan yang macet itu akan butuh waktu yang cukup lama.

"Oh, sekarang kau mulai bermain pura-pura tidak mendengarku. Trikmu cukup menarik kali ini."

Mendengar keluhan Devan, Fabian menatapnya dengan tidak senang. Dia tidak mau meladeninya, tapi, Fabian tahu dia tidak akan berhenti menganggunya kali ini.

"Jangan bicara padaku."

Setelahnya, Fabian sibuk lagi dengan ponsel barunya.

"Kamu tidak berhak melarangku."

Fabian tidak menanggapi apapun. Tetap fokus dengan ponselnya. Devan, disisi lain cukup kesal karena Fabian mengabaikannya. Tidak seperti Fabian yang sangat dikenalnya.

"Ehh!"

Fabian terkejut karena ponselnya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Dan itu adalah Devan. Dia menaruh ponsel Fabian ke atas supaya dia kesulitan mencapainya.

"Hei, berikan ponsel itu kepadaku!"

"Makanya, kalau orang bertanya itu dijawab."

"Jangan main-main, Devan! Cepat berikan!"

"Apa kamu tidak malu dilihat orang-orang?"

Atas pertanyaan itu, Fabian berhenti berteriak kepada Devan. Dia juga tidak lagi melompat-lompat untuk mendapatkan ponselnya. Karena benar perkataan Devan. Semua orang yang berada di area luar, menatap ke arahnya.

"Ikut aku."

Kata Devan sambil melewatinya begitu saja.

"Aku tidak mau. Cepat berikan ponselku!"

Devan mengabaikan Fabian dan terus pergi menjauh darinya. Fabian menghentakan kakinya dengan kesal.

"Apa maunya sih!"

Fabian tidak mau mengikuti kemauan Devan, jadi dia tetap berdiri disana. Biarkan ponselnya diambil. Toh, dia masih punya banyak uang. Dia bisa beli yang baru.

Tidak berselang lama, sebuah mobil datang dan berhenti di depannya. Fabian tidak mau melirik ke depan, tapi dari sudut matanya dia tahu persis itu adalah mobil Devan. Kemudian terdengar suara kaca mobil yang diturunkan.

"Masuk." Kata Devan dari dalam sana dengan enteng.

"Ga!" Tolak Fabian dengan cepat.

"Terserah." Balas Devan.

Tit! Tit! Tit!

Suara klakson mobil dari belakang terdengar saling sahut menyahut. Seolah tengah memperingati Devan untuk segera melajukan mobilnya. Beberapa orang mulai mengeluh karena mobil Devan tidak kunjung bergerak satu sentipun.

Fabian pun mendekat ke arah pintu mobil dan sedikit membungkuk. Dia melihat Devan yang terlihat sangat santai. Seolah tidak mendengar keributan dari luar.

"Cepat jalan! Mobil dibelakang membuat keributan."

"Kamu masuk dulu. Baru aku menghidupkan mobilnya.."

"Devan, cepat maju!"

"Masuk atau tidak bergerak sama sekali."

"Devan!"

"Pilihan ada ditanganmu."

Fabian menggigit bibirnya pelan. Semua orang bahkan satpam penjaga datang dan menghampirinya. Memintanya untuk segera keluar dari area mal. Klakson di belakang pun semakin terdengar nyaring. Dengan semua hal memojokkan Fabian, dia tidak punya pilihan lain.

Dia masuk dengan kesal kemudian membanting pintu mobil dengan keras.

"Cepat hidupkan mobilnya!"

"Nah, seharusnya dari tadi."

"Tsk!"

Devan perlahan menghidupkan mobilnya, mobil pun bergerak mulus keluar dari area mal. Keributan di belakang pun perlahan mereda dan mobil itu pun masuk ke area jalan raya.

Saat suasana lebih tenang, Fabian menatap Devan dengan tajam, karena Devan seperti tengah tersenyum puas. Seperti tidak merasa bersalah atas kejadian barusan. Dan Fabian lah yang harus menanggung malunya.

"Apa sih dengan dirimu Devan!"

Devan menoleh mendengar seruan Fabian.

"Di satu waktu kamu menyuruhku untuk menyingkir. Tapi di waktu berikutnya kamu memaksaku untuk datang! Kau itu terlalu membingungkan! Perkataanmu selalu berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Aku sungguh tidak mengerti."

Fabian terengah-engah setelah meluapkan kekesalannya kepada Devan. Selama beberapa saat Devan hanya menatapnya dengan lekat. Mobil masih terdiam karena terjebak macet.

"Aku juga tidak mengerti."

"Apa?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang