Bagian#12

32.9K 2.5K 21
                                    

Tahun ajaran baru kembali di mulai. Di tahun ini, perkuliahan Fabian sudah masuk semester 7. Di hari pertama masuk kuliah, Fabian datang ke kampusnya membawa mobil miliknya sendiri. Mobil berwarna putih itu terlihat bersinar di antara para mobil lain yang terparkir. Karena mobil miliknya adalah salah satu dari yang paling mahal.

Saat Fabian turun, sudah banyak mahasiswa di sekitaran kampus. Saat dia berjalan menuju Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, dia banyak berpapasan dengan mahasiswa, sayangnya tidak ada yang pernah menyapanya lebih awal.

"Hai!"

"Halo!"

Ketika Fabian mencoba menyapa mereka lebih awal, mereka malah kabur dari sisi Fabian. Fabian hanya menggaruk tengkuknya canggung.

"Aku tahu ini akan terjadi."

Seolah Fabian tahu kalau dia memang akan mendapatkan respon itu dari semua orang. Tapi, itu memang tidak bisa dipungkiri.

"Di masa lalu, aku sekalipun tidak pernah menjawab sapaan mereka. Aku juga tidak pernah ikut dalam acara fakultas serta menganggap mereka rendah dariku."

"Sikapku benar-benar buruk."

Fabian tidak mau menyalahkan Devan. Semua keputusan yang dilakukannya di masa lalu semata-mata atas kehendaknya. Dia ingin selalu berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Bisa dibilang Fabian lebih banyak menghabiskan waktunya di sana daripada di fakultasnya sendiri.

Fabian kemudian melewati sebuah lapangan besar di tengah-tengah kampus. Disana dia melihat banyak orang yang duduk dengan seragam putih hitam.

"Ini adalah hari pertama ospek mahasiswa baru."

Fabian berusaha mencari seseorang di tengah kerumunan orang yang mungkin jumlahnya lebih dari ribuan orang. Tapi, Fabian akhirnya menyerah karena itu sama saja seperti mencari jarum di tengah jerami.

Ketika matanya beralih ke depan, dia bertemu dengan mata tajam dan dingin Devan. Devan termasuk panitia yang akan mengospek mahasiswa baru. Dia bersama yang lainnya memakai jas khas kampus berwarna kuning cerah. Fabian menatik lagi matanya dan mengabaikan Devan.

"Hari ini adalah hari penting bagi Devan."

Suara Fabian begitu masam dengan wajah cemberut. Itu karena dia mengingat ini sebagai hari pertemuan Devan dengan Laura. Laura, sosok mahasiswa cantik, ceria dan disukai semua orang begitu cocok dengan kepribadian Devan. Sangat anggun bak seorang putri raja walaupun dilahirkan dari keluarga miskin.

Fabian menghela nafas pelan, berusaha menelan pil pahit itu. Saat dia mendongak, dia mendapat Devan sudah di depannya.

"Kenapa kamu kesini?"

"Kenapa dengan wajahmu?"

"Wajahku?"

Fabian meraba-raba wajahnya, tapi dia tidak menemukan ada yang aneh disini.

"Sana pergi!"

Seru Fabian sambil mendorong Devan kembali kelapangan. Karena teman-teman Devan mulai memperhatikannya. Apalagi mereka menatap wajah Fabian dengan kesal.

"Jangan ikut-ikutan dalam ospek. Itu mengganggu."

"Siapa pula yang ingin ikut!"

Fabian semakin kesal ketika Devan berkata dengan dingin. Setelah itu Fabian pergi meninggalkan Devan. Dia tidak mau berbalik ke belakang. Tapi, Fabian yakin Devan masih menatapnya.

Devan berkata seperti itu karena di tahun sebelumnya, Fabian memang selalu ikut. Padahal dia tidak termasuk dalam panitia. Dia hanya terus mengikuti Devan karena takut Devan akan kecantil mahasiswa baru dan cantik. Dia juga akan mencegah semua perempuan yang ingin mendekatinya.

"Tapi aku tidak mau peduli. Biarkan dia bertemu dengan Laura. Lalu hubungan mereka berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan apapun. Mungkin setelahnya mereka akan menikah."

Entahlah, walaupun Fabian mengatakan itu dengan santai, tapi wajahnya tidak bisa berbohong. Membayangkan orang yang sangat diobsesikannya bersama orang lain. Tapi, ini semua demi masa depan tidak terulang kembali.

"Ya,"

Setelah itu Fabian masuk ke dalam fakultasnya, lalu mendaftarkan dirinya para beberapa kelas pilihan. Setelahnya, Fabian tidak memiliki kegiatan lain. Karena kelas pertama akan dimulai minggu depan. Fabian tidak tahu harus melakukan apa, dia juga tidak memiliki teman. Pada akhirnya dia duduk di tribun penonton dan memperhatikan jalannya ospek.

"Hanya menonton disini?"

Saat ada seseorang yang bertanya, Fabian menoleh itu adalah seorang perempuan dengan rambut panjang berhelombang. Penampilannya begitu mempesona, dia yakin akan banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi Fabian tidak termasuk.

"Ya, aku lebih tertarik memperhatikan dari sini. Disini sejuk dan tidak terkena panas matahari."

"Kamu menjawab pertanyaanku?"

Fabian mengerutkan keningnya ketika perempuan itu berkata seperti itu. Tapi apa yang heran dengan itu? Jika dia bertanya, tentunya Fabian menjawab, kan? Tapi dia bereaksi dengan aneh.

"Itu karena kamu bertanya. Memangnya aneh jika aku menjawab?"

"Ya, itu aneh."

Fabian hampir saja tersedak saat mendengar itu. Untung saja minumannya tidak tumpah kemana-mana.

"Aku kira kamu hanya akan menjawab Devan saja."

"..."

"Tuh, kan."

"Ya, itu dulu. Tapi, tidak sekarang."

"Maksudmu?"

"Lupakan saja."

Setelah mengatakan itu, perempuan itu malah menatap Fabian dengan sangat intens. Fabian malah semakin risih dan terganggu.

"Apa lagi?"

"Kamu tidak mengusirku?"

"Untuk apa? Tempat ini luas."

"Tapi, kamu biasanya melakukan itu."

Nada suaranya terdengar sarkas, seperti orang yang memyimpan dendam selama ini kepada Fabian. Fabian memijat kepalanya, mungkin perempuan ini adalah salah satu korban kejahatan Fabian di masa lalu.

"Dengar. Sepertinya aku pernah berbuat jahat kepadamu di masa lalu. Apapun itu, aku minta maaf untuk semuanya. Aku janji, tidak akan pernah melakukannya lagi."

"Wow! Kau bercanda!"

Perempuan itu begitu terkejut, matanya melotot sampai dia bangun dari atas kursinya dan berdiri di depan Fabian.

"Tidak. Aku sungguh-sungguh dengan permintaan maafku."

Fabian berusaha tersenyum semeyakinkan mungkin. Tapi, perempuan itu masih tidak mau duduk.

"Kau tahu apa yang telah kamu lakukan padaku?"

"Tidak..."

"Kamu menumpahkan semangkuk mie ayam di atas kepalaku."

"..."

Di sisi lain, Devan yang bertugas dilapangan tidak henti-hentinya menatap ke atas tribun. Dia sama sekali tidak melihat tubuh Fabian karena terhalang seorang perempuan. Sambil menatap kesana, kedua tangannya mengepal dengan keras.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang