Bagian#11

33.7K 2.5K 28
                                    

Untungnya ada seseorang yang berhasil menangkap tubuh Fabian sebelum benar-benar jatuh ke bawah. Fabian yang berada di dalam dekapan pria di depannya merasa malu. Fabian kemudian berusaha bangun dan menatap pria yang ternyata sangat tampan itu.

"Kamu baik-baik saja?"

Suaranya lembut dan terdengar khawatir. Sangat cocok dengan wajahnya yang terlihat ramah dan periang.

"Ya. Terima kasih sebelumnya."

"Bian, kamu beneran baik-baik saja?"

Suara familiar datang dari tubuh pria yang menangkapnya, saat Fabian menoleh di sana ada kakaknya yang buru-buru mendekat.

"Kak Rian!"

"Kenapa kamu tiba-tiba ambruk? Kamu merasa sakit?"

"Tidak. Bian hanya kehilangan keseimbangan saja untuk sesaat."

"Apa kita perlu ke rumah sakit?"

"Tidak perlu. Ini karena Bian lapar aja."

"Benarkah?"

Brian tampak masih tidak mempercayai kalimat Fabian. Dia masih khawatir dengan keadaan adiknya. Apalagi kejadian beberapa waktu lalu ketika dia dikabarkan kalau adiknya jatuh ke dalam sungai. Dan tidak sadarkan diri selama seharian.

"Iya, kak."

Baru saat itulah, Brian percaya. Dia melihat wajah adiknya pun tidak pucat lagi. Kemudian dia menyuruh adiknya untuk duduk, saat bertemu dengan tatapan Devan. Brian sedikit mengangkat sudut bibirnya.

"Bian, apa kamu merasa pusing karena dituduh yang engga-engga?"

Brian bertanya dengan suara kencang, seolah mengatakan itu kepada Devan yang ada di belakang tubuh Fabian.

"Tidak."

"Lupakan saja dia. Masih banyak pria yang lebih baik darinya. Kamu pantas mendapatkan pria yang memperlakukanmu dengan baik."

"Iya, kak."

Di sisi lain, Fabian tidak terlalu menangkap maksud dari kalimat kakaknya barusan. Dia hanya tersenyum canggung. Apalagi saat melihat pria yang tadi menolongnya malah duduk di meja yang sama.

Seolah mengerti tatapan dari Fabian, Brian kemudian duduk di samping pria itu dan memperkenalkan pria di depan mereka.

"Ini teman kakak yang tadi kakak bilang."

"Hi, Bian. Aku Axel."

Pria bernama Axel itu mengulurkan tangannya. Fabian pun menerima uluran itu. Selama beberapa saat tangan pria itu tidak mau melepaskan Fabian.

"Halo, Kak Axel. Aku Fabian."

Mereka berdua saling bertukar salam dan senyuman. Baru setelah itu, Axel melepaskan tangan Fabian.

"Ternyata kamu sudah sangat besar."

Fabian mengerutkan keningnya mendengar itu. Axel yang melihat reaksi itu merasa lucu lalu terkekeh pelan.

"Kamu tampaknya lupa aku?"

"Ya?"

Fabian memang tidak tahu siapa dia, karena Fabian yakin ini adalah pertemuan pertama mereka.

"Kamu pernah bertemu dengannya ketika kecil. Saat itu kakak dan Axel sudah berada di bangku SMA."

"Oh, benarkah?"

"Yah, padahal aku tidak pernah melupakan Bian. Malah hampir mengingatmu dengan jelas."

"Terima kasih."

Fabian masih canggung dengan Axel. Mungkin karena Fabian selama ini tidak pernah begitu dekat atau peduli dengan orang-orang disekitarnya kecuali Devan.

"Kamu juga tambah manis," tambahnya dengan senyuman lebar.

"Hei! Kau bilang apa barusan! Menggoda adikku langsung di depanku! Kau punya nyali ternyata!"

Brian langsung berseru keras mendengar godaan Axel kepada adiknya. Setelah itu mereka berdua saling bercanda satu sama lain. Fabian tidak terlalu memperhatikan itu, karena tiba-tiba di bawah sana, Fabian merasa ada seseorang yang memegang tangannya.

Saat Fabian menoleh, Devan tampak asyik mengobrol dengan perempuan itu. Tapi, Hei! Tangan kirinya memegang tangan kanan Devan dengan erat!

Saat ini juga, Fabian hanya menunduk. Berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya dan detak jantung yang sudah menggila.

"Devan!" Seru Fabian dalam hati.

Saat dia ingin melepaskan tangan Devan, tangan Fabian semakin dipegang dengan erat. Mau tidak mau, Fabian membalasnya dengan mencubit tangan Devan dengan keras.

"Arghh."

"Devan kamu kenapa?"

Fabian di belakang pura-pura tidak tahu. Mengabaikan keributan di belakang tubuhnya. Baru saat itulah Fabian kembali fokus ke depan.

"Kenapa kakak malah pilih tempat ini sih!" Seru Fabian kesal.

"Loh, kenapa kamu marah? Ini kan tempat favorit kamu."

"Tapi, kan kakak tahu..."

Fabian begitu geram dengan kakaknya. Padahal dia sendiri yang mendukungnya untuk melupakan Devan. Tapi, dia malah sering membawanya ke tempat yang berhubungan dengan Devan.

"Kamu tahu, salah satu cara move on terbaik itu dengan mendatangi tempat yang sering kamu datangi bersama dengan orang baru."

"Cara dari mana itu. Aku baru dengar."

"Eh, Bian baru saja putus?"

Axel masuk dalam percakapan karena terkejut mendengar itu.

"Tidak. Aku tidak putus."

"Tapi, barusan?"

"Jadi begini," sela Brian diantara keduanya. Kemudian keduanya melihat Brian. Brian duduk dengan tegap dan melirik Devan yang masih duduk di belakang Fabian. Dia berdehem beberapa kali seolah berusaha mengode Devan agar mendengar.

"Adik tersayangku yang manis dan berharga ini sudah menyukai teman semasa kecilnya selama belasan tahun. Dia sudah berusaha menunjukan cintanya,—"

"Kak Rian!"

"Tapi, sayangnya orang itu menolak cintanya. Nah, aku pikir, dari pada terus berjuang mendapatkan hati dari orang yang tidak menghargainya, kenapa adikku tidak move on darinya? Benar, kan?"

"Kak Rian..."

Fabian memijat kepalanya dengan keras, kenapa kakaknya malah repot-repot melakukan hal ini? Padahal dia tahu, di kehidupan pertamanya, kakaknya tidak pernah ikut campur dalam hubungannya. Bukan maksud Fabian tidak suka atas itu, tapi, tidak perlu mengatakannya kepada orang lain juga!

"Siapa pula yang menyia nyiakan Bian yang manis ini?"

"Nah, kan!"

Brian setuju dengan pernyataan Axel, sedangkan Fabian hanya menghela nafas saja.

"Dia sepertinya buta!"

Gebrak!

Fabian terkesiap mendengar suara gebrakan meja dari belakang tubuhnya. Setelah itu semua orang melihat ke belakang mereka. Detik selanjutnya Fabian melihat Devan bangkit bersama perempuan itu. Mereka berdua berjalan begitu saja melewati mereka.

"Ada apa dengannya?" Keluh Fabian.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang