Bagian#41

19.2K 1.7K 40
                                    

Dia terlalu lelah untuk membalas.

Devan datang mendekat setelah menutup pintu di belakangnya. Di tangannya dia membawa sapu kecil dengan kantong plastik hitam. Lalu berjongkok di atas lantai yang berantakan. Sambil membersihkan lantai, dia berbicara kepada Fabian.

"Bagaimana harimu? Sudah merasa betah?"

Fabian tahu, kalau dia menjawab Devan malah semakin senang. Apalagi saat Fabian berbicara dengan keras, itu malah semakin membuat Devan terus menggodanya.

Tahu dia diabaikan, Devan tidak menyerah begitu saja.

"Hariku cukup melelahkan. Sepanjang hari, aku terus memikirkanmu. Dan menimbang-nimbang apa yang tengah kamu lakukan disini. Apa kamu merasa bosan ataupun mulai merindukanku?"

Entah kenapa, kata-katanya itu terdengar tulus. Seperti nada dari seorang teman yang merindukan teman lamanya. Yang terpaksa harus ditinggalkannya bahkan ketika mereka baru bertemu.

Itu mengingatkan Fabian pada sosok Devan sebagai sahabatnya. Sebelum Fabian benar-benar mengembangkan obsesi nya dulu. Sebelum dia menyatakan cintanya kepada Devan. Sebelum semuanya berubah.

Dari atas ranjang, Fabian masih tetap mengabaikan Devan. Hanya saja dia mulai memperhatikan Devan. Rambutnya sedikit acak-acakan daripada terakhir kali mereka berpisah. Selain itu, dia tidak lagi memakai jas dan hanya meninggalkan kemeja biru berlapis rompi hitam. Melekat begitu indah dan memperhatikan tubuhnya yang semakin berotot.

"Tampaknya kamu masih tidak bisa mengagumiku?"

Atas kata-kata itu, Fabian menarik lagi matanya. Ia akui Devan memang jauh lebih menawan. Kalau saja perilakunya tidak bengkok. Atau hubungan mereka tidak seburuk ini. Fabian mungkin hanya akan diam-diam mengaguminya sebagai sahabat.

Tapi, itu semuanya sudah berakhir.

"Ingat, aku tidak lagi menyukaimu. Aku membencimu, Devan."

Fabian akhirnya buka suara, dia merasa lebih lelah membiarkan Devan terus saja bersuara. Mengeluarkan semua omong kosongnya. Agar Fabian bersimpati kepadanya.

Devan yang baru saja menyelesaikan pekerjaanya, bangkit dan mendekati Fabian. Dia tersenyum begitu lembut dan hangat. Fabian yang melihat itu merasa tidak terbiasa dengan ekspresi Devan yang baru-baru ini.

"Aku lebih suka itu daripada dilupakan olehmu. Setidaknya jika kamu membenciku, kamu masih memikirkanku."

Dengan suara riangnya itu, Devan menjawab dengan lugas. Seolah tidak memiliki masalah besar kalau Fabian membencinya.

Setelah itu, dia keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Fabian menatap pintu itu, sambil menimbang kapan dia akan keluar dari sini dan mendapatkan kebebasan yang direnggut secara tiba-tiba.

Tidak lama, Devan kembali dengan membawa makanan. Hanya saja dia membawa piring dan gelas dari plastik. Tampaknya dia tidak mau mengulang hal yang sama lagi.

"Makanlah. Kamu belum makan apapun sejak siang tadi."

Mendengar itu, Fabian menduga kalau sekarang sudah malam. Saat dia menatap makanan nasi goreng dengan toping yang melimpah, Fabian tidak bisa menghilangkan ngilernya. Dia sampai tidak tahu kapan terakhir kali makan. Karena sepanjang jalan di pesawat pun dia tidak memiliki nafsu makan karena terus gelisah.

Tapi, jika dia menerima makan, Devan menang disini.

Pada akhirnya, dia hanya mengabaikan makanan itu di atas lemari samping ranjang. Sedangkan Devan yang tadi datang membawa kursi kecil duduk di atas itu.

"Tampaknya kehidupanmu di Inggris begitu  nyaman?"

Fabian yang mendengar itu mengerutkan keningnya, dia menatap tajam Devan. "Bagaimana kau tahu dimana aku tinggal?"

Devan hanya tersenyum lebar dan berkata, "Tentu saja itu nyaman. Kamu bahkan tinggal di sebuah kota kecil di pinggiran. Sebuah pedesaan yang sedikit lebih maju."

"Kau! Kau mematai-mataiku?!"

"Aku lebih suka menyebutnya dengan mengecek keadaanmu."

Fabian membeku begitu saja, dia kira dia telah lepas dari genggaman Devan selama 4 tahun tinggal jauh di Inggris. Dia bahkan tinggal di sebuah kota kecil yang jauh dari perkotaan maupun hiruk pikuk kebanyakkan orang. Demi menghindari kalau suatu saat mereka tidak sengaja berpapasan.

Bahkan, keluarganya pun tidak tahu persis dimana Fabian tinggal. Fabian tidak pernah mengatakan kepada siapapun dia tinggal. Yang keluarganya tahu kalau dia tinggal di Inggris. Itu saja. Tidak lebih.

"Tapi, bagaimana, kau?"

Devan menyeringai pelan, kemudian dia bangkit dari kursi kecil itu dan duduk di sudut ranjang bagian depan. Fabian yang merasa tidak nyaman segera mundur ke belakang. Hanya saja punggungnya sudah menyentuh kepala ranjang.

"Jika kamu mau menghindariku, setidaknya lakukan itu dengan benar."

Fabian yang marah akhirnya melempari Devan dengan kedua bantal, "Kau pria gila! Penguntit! Kriminal! Pergi!"

Devan masih tersenyum dengan hangat saat mendapatkan cacian dan makian dari Fabian. Dia juga tidak marah ketika bantal dengan keras menghantam wajahnya.

"Sejak kapan kau mengetahuinya?!"

"..."

Devan tidak menjawab.

Sial.

Fabain tidak mengira kalau Devan benar-benar mengetahui keberadaan Fabian. Padahal Fabian sempat berpikir kalau Devan bahkan tidak akan mencarinya.

Seharusnya Fabian pergi lebih jauh. Ke tempat antah berantah. Dimana tidak ada satu orang pun selain dirinya. Seharusnya dia melakukan itu. Pergi ke Inggris dan tinggal di kota kecil tampaknya hanya sia-sia belaka.

"Kenapa kau melakukan ini kepadaku Devan?"

Fabian bertanya dengan lemah. Apa ini karena dosa dia di masa lalu? Di kehidupan pertamanya. Saat dia dengan paksa menginkan cinta Devan? Atau semua kelakuan jahatnya kepada orang-orang disekitar Devan?

"Tapi, kenapa harus aku?"

Suara Fabian semakin lemah dan getir. Namun, di sisi lain Devan masih diam dengan punggung yang kokoh. Dia menatap langit-langit dalam waktu lama. Membuat keheningan diantara mereka berlama-lama.

"Hanya saja..."

Akhirnya suara Devan muncul namun masih tertahan.

"Itu harus kamu."

Devan akhirnya menoleh dan menatap Fabian. Kedua matanya berkilauan dengan senyuman lebar miliknya. Itu terlihat seperti seorang iblis yang bersembunyi di wajah malaikat.

"Aku benci padamu!"

Setelahnya Fabian mengurung tubuhnya di dalam selimut. Fabian tidak mau Devan melihatnya. Dia ingin bersembunyi dari Devan walaupun itu mustahil di keadaanya saat ini.

Fabian jadi sedikit menyesali dirinya yang memutuskan untuk pulang. Tapi, mengingat apa yang dikatakan oleh kakaknya, Fabian tidak bisa menyesali itu.

"Itu semua salahmu!"

"Devan bajingan!"

"Pria brengsek!"

Fabian begitu marah dan frustasi lagi. Dia marah dan ingin menghakimi Devan, tapi dia sudah tidak berdaya. Dia ingin keluar dari sini tapi Devan menahannya. Semuanya tidak sesuai dengan kemauan Fabian.

Setelah beberapa waktu berlali, Fabian yang kelelahan akhirnya jatuh tertidur.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang