"Itulah yang terjadi."
Brian menoleh untuk memeriksa wajah adiknya, Fabian. Fabian terlihat baik-baik saja. Wajahnya masih tenang. Tidak terlihat sebuah tanda-tanda marah, sedih atau semacam itu.
"Oh itu."
Fabian akhirnya ingat kejadian yang telah kakaknya ceritakan. Fabian tidak pernah melupakan salah satu pengalaman menyakitkannya itu. Itu pertama kalinya Fabian memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanya. Dan berakhir tidak sesuai dengan harapan.
"Kamu baik-baik saja, kan?"
Fabian mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, "Ya, aku baik-baik saja."
"Syukurlah. Sebaiknya kamu berhenti saja."
"Iya, kak"
Di kehidupan sebelumnya, Fabian tidak berhenti begitu saja. Dia tidak menyerah dan bertekad untuk membuat Devan menerima cintanya apapun caranya. Sekalipun itu tindakan melanggar peraturan.
Karena aplikasi untuk melacak sudah di hapus oleh Devan. Fabian lama segera menyewa suruhan untuk memata-matai Devan.
Mengikuti kemanapun Devan pergi. Menginformasikan apa saja yang tengah Devan lakukan. Bertemu dengan siapa saja. Dan dengan tujuan apa. Fabian benar-benar mengulik jauh kehidupan Devan tanpa sepengetahuannya.
"Aku memang gila," gumam Fabian setelah mengingat kelakuannya di masa lalu.
Selanjutnya dia dan keluarganya menghabiskan waktu bersama di meja makan. Sesekali candaan datang silih berganti dari kakaknya. Ketika semuanya selesai, ayah dan kakaknya pergi ke kantor. Sedangkan ibunya pergi bersama temannya.
Sekarang hanya ada Fabian sendirian di rumah.
Fabian kembali ke kamarnya, disana dia menemukan banyak foto Devan yang telah dicetak dan ditempel di salah satu dinding kamarnya. Foto itu diambil dari beberapa sudut dan diambil secara diam-diam. Karena saking banyaknya foto, itu sampai memenuhi seluruh dinding.
"Aku juga seorang stalker."
Fabian meneliti setiap foto. Disana berbagai momen Devan ditampilkan. Seperti Devan yang tengah berlatih renang, Devan yang pergi dengan temannya, Devan yang pergi bersama perempuan. Dan masih banyak lagi bukti dari kerja keras Fabian sebagai seorang stalker.
Beberapa berasal dari dirinya yang mengikuti Devan secara diam-diam. Dan sisanya dari orang suruhan Fabian.
"Bagaimana aku tidak gila? Devan memanglah sosok sempurna. Tampan? Dia lebih tampan daripada aktor blasteran yang sering wara wiri di televisi! Kaya? Dia adalah pewaris tunggal dari salah satu konglomerat dan mitra bisnis papa! Baik? Dia lebih baik dari siapapun yang pernah aku kenal."
"Tapi sayangnya, semenjak aku mengembangkan obsesi ini, Galang tidak lagi baik. Dia tidak lagi tersenyum saat menatapku. Berbicara dengan dingin dan datar."
"Yah, itu tidak bisa dihindari," guamam Fabian pada dirinya sendiri.
Kalau melihat dari perspektif Devan, Devan tentunya akan merasa risih. Semua kelakuan Fabian berada diluar batas wajar orang normal pada umumnya. Selain itu Devan cukup penyabar dan tidak melaporkan kelakuan Fabian ke pihak yang berwajib.
"Aku tidak tahu apa yang membuatnya tetap tahan dengan semua kelakuan anehku ini?"
"Tapi, sepenyabar apapun dia. Dia tetaplah manusia biasa. Kesabarannya berakhir di pantai itu."
Fabian kemudian mengecek ponsel lamanya. Ternyata ponselnya sudah tidak hidup lagi. Mungkin karena masuk ke dalam air bersama dirinya. Fabian melempar ponselnya itu secara sembarangan.
"Lagipula aku tidak akan menghubunginya,"
Di kehidupan sebelumnya, Fabian selalu mengirim berbagai pesan kepada Devan. Menanyakan Devan tengah apa, bersama siapa dan berbagai hal yang pastinya berlebihan dan membuat Devan merasa tidak nyaman.
Selain mengirim pesan, Fabian juga menelpon Devan tanpa henti. Fabian tidak akan menyerah sampai Devan mengangkat teleponnya. Sekalipun ia harus menelpon secara berpuluh-puluh kali.
Kegigihan Fabian cukup mengerikan.
Setelah itu Fabian bergerak mendekati meja belajar. Alih-alih dipenuhi berbagai jenis buku dan alat tulis, meja belajar dipenuhi oleh berbagai figura foto Devan dan Fabian. Mulai dari mereka masih berusia 7 tahun, saat mereka memasuki usia remaja, sampai terakhir kali mereka masuk universitas yang sama. Selain itu, beberapa buku album dikelompokan dalam 5 tahun sekali.
Fabian melihat kenangan lama itu. Sudah lama sekali dia tidak melihat album ini karena di kehidupan sebelumnya Devan yang membuangnya.
Waktu mereka masih berusia 7 tahun, mereka berdua sangatlah lucu. Saat itu, Fabian lebih tinggi daripada Devan. Ketika mereka berdua beranjak remaja, perlahan Devan mulai menyusulnya. Dan puncaknya ketika mereka berada di bangku sekolah menengah atas.
Devan sudah jauh di atasnya. Tubuhnya tinggi menjulang akibat latihan renang yang ditekuninya, badannya atletis dan berotot karena hasil gym dan makanan sehat.
Devan memang tubuh menjadi pria yang matang.
"Arghhh! Kenapa aku kembali memikirkan Devan!"
Fabian mengeluh. Karena dia tanpa sadar mengingat Devan lagi. Apalagi dia sampai memuji Devan tanpa henti.
"Sepertinya aku butuh waktu yang lama agar kebiasaan ini menghilang."
Dia kemudian mengumpulkan figura dan buku album menjadi satu. Lalu masukkan semuanya ke dalam karton besar. Tidak lupa, Fabian juga melepaskan semua foto yang ditempelnya di atas dinding.
Pekerjaan itu cukup melelahkan dan menguras tenaga. Karena ada ratusan foto yang di tempel. Keringat sudah bercucuran dari wajahnya di dalam ruangan ber-AC itu.
Semua barang-barang yang berhubungan dengan Devan sudah Fabian taruh di dalam karton yang hendak dia buang. Ada perasaan sedih dalam hatinya dan perasaan enggan.
"Tapi, aku harus melakukannya!"
"Ini demi misi move on dari Devan!"
"Aku pasti bisa."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
![](https://img.wattpad.com/cover/374041126-288-k75492.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
خيال (فانتازيا)Fabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...