"Kau masih hidup?"
Mendengar suara dingin dan datar itu, Fabian mau tidak mau kembali menoleh ke belakang. Memperhatikan Heri dengan benar.
Berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu, Heri sekarang ini tampak seperti bukan dirinya. Lebam-lebam hampir tercetak di seluruh bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian compang-camping. Selain itu, di bagian wajah, kedua tangan dan kedua kakinya berlumuran darah. Entah dari mana itu berasal.
Kalau dia tidak berdiri disana, Fabian akan mengira dia sebagai mayat hidup.
"Heri?"
Fabian bertanya dengan pelan, Heri menoleh ke arah Fabian secara sekilas. Sebelum memusatkan kembali pistol yang ada di tangannya. Seolah-olah dia berusaha agar tidak terganggu.
"Bagaimana kau bisa keluar dari sana?"
"Diam!"
Fabian yang berada diantara mereka merasa bingung. Sebenarnya apa yang membuat Heri menjadi menyeramkan seperti ini. Dia seperti seorang korban yang baru keluar hidup-hidup dari area pembunuhan.
Tunggu—
"Devan, apa kau menyakiti Heri?"
Atas pertanyaan dari Fabian, Devan hanya diam selama beberapa saat. Seperti berusaha mempertahankan ketenangannya. Dia menoleh ke Fabian dan tersenyum tipis.
"Tidak. Hanya sedikit menghukumnya."
"Sedikit, katamu?"
Fabian seolah tercengang dengan jawaban Devan. Bagaimana itu sedikit ketika penampilan Heri seperti itu. Itu bahkan jauh dari kata sedikit, malah seperti berlebihan.
"Tapi kenapa?"
"Karena dia membuat kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Memberitahumu kalau aku bisa mendengar dan melihat semuanya yang terjadi di dalam sana, sekalipun aku tidak ada disana."
"..."
Sial. Dia mengetahui semuanya.
Saat itu, ketika Fabian berusaha merayu Heri agar membebaskannya, Heri memberikan sesuatu kepada Fabian. Dia membawa makanan, dan di bawah piring yang dibawanya terdapat secarik kertas yang bertuliskan.
[ Devan mendengar dan melihat semuanya]
Setelah hari itu, Fabian tidak lagi berusaha mengerjai Heri ataupun menggodanya untuk kabur dari penjara itu. Kembali berusaha untuk bersikap baik dengan berbohong. Karena Fabian takut Devan akan menemukan itu.
Padahal Fabian langsung memakan kertas kecil itu bersama dengan nasi. Semua barang bukti telah ditelannya. Bahkan setelah semua yang dilakukannya.
Devan masih mengetahuinya.
"Aku benar, kan?"
"Tidak, tunggu—"
"Oleh karena itu, aku berpikir apa mungkin kamu ini ingin keluar itu bagian dari rencana kalian berdua?"
"Tidak—"
"Kamu menjadi lebih baik seperti terakhir kali. Seolah tengah berusaha menipuku. Walaupun aku tahu itu hanya pura-pura, aku tetap mengikutinya. Karena aku penasaran sampai mana kamu bisa melakukannya."
"Aku, Tidak!"
Fabian sekalipun tidak pernah merencanakan apapun dengan Heri. Apa yang Heri katakan terakhir kali seolah memberitahu Fabian untuk berhenti kabur dari sini. Seperti membuat Fabian untuk menyerah saja.
Maka dari itu, saat Fabian melihat Heri saat ini, dia begitu kaget. Kenapa pula Heri datang dengan tubuh berlumuran darah dan memegang pistol ke arah Devan.
"Lepaskan Tuan Fabian."
Heri berseru pelan, suara tegas. Devan di sisi lain hanya menyeringai. Kemudian dia menatap Fabian sambil menaruh wajahnya di atas tangan yang ditekuk.
"Bagaimana menurutmu, Fabian. Apa kamu ingin kabur atau tetap berada disini?"
"Jangan banyak bicara! Cepat lepaskan dia sekarang juga!"
Heri berseru dengan kesal terhadap Devan. Tapi Devan masih mengabaikannya. Dan menatap Fabian begitu lekat. Seolah jawaban dari Fabian itu paling penting.
Dihadapkan pada dua hal seperti ini. Fabian bingung. Pertama, bisa saja terbebas dari Devan dengan benar kali ini. Apalagi dengan bantuan Heri. Itu tidak terdengar mustahil.
Hanya saja, apakah jika dia melarikan diri untuk kedua kalinya akan berhasil atau menghadapi kegagalan lagi. Perasaan takut dan adrenalin ketika Devan mengejarnya itu cukup menyeramkan.
Selain itu, Fabian sudah mengatakan kepada Devan kalau dia tidak akan melarikan diri lagi. Akan tetap berada disini bersama Devan.
"Biarkan aku pergi."
Devan mendengus pelan mendengar jawaban Fabian. Dia seperti telah menebaknya dengan benar.
"Baiklah. Aku akan melepaskannya. Hanya saja turunkan senjatamu itu dulu."
"Tidak! Kau harus melepaskan Tuan Fabian lebih dahulu. Berikan kunci yang ada di saku celanamu dan berikan itu kepada Tuan Fabian."
"Banyak maunya."
"Cepat lakukan!"
Devan tidak lagi membantah, dia mengeluarkan kunci seukuran jari kelingking tangan dan mendorong itu kepada Fabian.
"Ambillah."
Walaupun suaranya hangat, Fabian yakin dia menyembunyikan sesuatu disana. Namun, Fabian tidak mau ambil pusing, dia mengambil kunci itu dan segera membuka borgol besi di kakinya. Saat borgol itu terlepas dia berdiri menjauh dari keduanya.
Sekarang tidak ada lagi yang menahan kakinya.
"Tuan, Pergilah."
"Tunggu!"
Devan berseru, kemudian berdiri dan berjalan satu langkah ke arah Fabian. Fabian secara sadar langsung melangkah mundur.
"Berhenti! Atau pelatuk yang aku tahan akan terlepas. Kemudian peluru di dalamnya akan menembus kepalamu. Membuatmu mati seketika."
Mendengar ancaman itu, Devan tidak berkutik sedikit pun. Dia terlihat sangat santai. Apalagi dengan jelas-jelas dia mengabaikan keberadaan Heri saat ini. Heri layaknya hantu baginya.
"Apa kamu akan benar-benar pergi Fabian.""..."
"Ha... ternyata kau sama saja."
Fabian mendapati raut wajah kesedihan disana. Devan terlihat sakit hati. Tidak ada kalimat yang keluar dari Fabian menyiratkan kalau dia telah kecewa.
"Tuan, aku minta maaf untuk semua yang telah aku lakukan kepadamu. Aku melakukan ini sebagai bentuk pembalasan dosa yang telah aku perbuat. Seperti yang telah tuan katakan terakhir kali."
Wajah Heri yang berlumuran darah itu terlihat penuh penyesalan, Fabian merasakan hatinya terenyuh mendengar itu.
"Tuan! Cepat pergi sekarang! Aku akan menahan bajingan ini."
Fabian mengangguk pelan atas perintah Heri, dia tidak mau lagi masuk dalam kegilaan Devan. Setelahnya dia berlari ke dalam rumah, sebelum benar-benar meninggalkan keduanya. Samar-samar dia mendengar suara dari belakang.
"Kembalilah."
Tapi, Fabian tidak mau berbalik. Kembali kepada pelukan Devan. Dia ingin kebebasan. Tidak ingin terkurung dari dunia luar. Layaknya seekor burung di dalam sangkar.
Fabian terus berlari menuju bagian luar rumah, tapi karena kakinya masih ada sedikit bekas dari terakhir kali, dia tidak bisa berlari dengan cepat.
Dor!
Detik berikutnya, Fabian mendengar suara tembakan. Tubuhnya membeku di tempat. Dia meringis, tidak tahu siapa yang tertembak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasiaFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...