Setelah malam yang panjang, Fabian bangun ketika mendengar ketukan dari balik pintu.
"Fabian, aku masuk."
Setelahnya, knop pintu bergerak ke bawah dan daun pintu didorong dari luar. Devan datang dengan membawa meja dorong. Bagian samping tubuhnya di bantu oleh alat jalan. Baik perban di bagian bahu ataupun kaki, itu semua sudah diganti baru.
"Selamat pagi."
Fabian hanya diam dan menarik wajahnya. Di sisi lain, Devan sedikit kesulitan untuk bergerak sambil mendorong meja beroda itu. Di bagian atas meja itu terdapat sarapan dan beberapa perlengkapan yang tidak Fabian ketahui.
Butuh waktu lebih lama dari biasanya bagi Devan untuk mendekati Fabian. Duduk di tepi ranjang dan menyerahkan sarapan yang dibawanya kepada Fabian.
"Makanlah. Kamu sudah lapar kan?"
Fabian tidak menolak, dia mengambil sandwich diatas piring dan susu hangat di gelas. Dia makan dengan perlahan. Saat Devan terus menatapnya dalam waktu lama, Fabian menatap tajam ke arahnya.
"Maaf. Tapi pemandangan ini sayang untuk dilewatkan."
Suaranya begitu hangat, seolah-olah berasal dari seorang suami kepada pasangannya yang baru bangun tidur. Langsung memanjakannya dengan sarapan yang dibuat oleh dirinya sendiri.
"Jadi, abaikan aku seperti tidak ada disini."
Hingga Fabian menyelesaikan sarapannya, dia tidak membalas ucapan Devan satu kata pun. Fabian merasa kehilangan harapan. Semua harga dirinya jatuh serendah-rendahnya. Dan yang dia bisa lakukan, hanya menerima perlakuan Devan dan berharap dia tidak akan menyiksa tubuhnya.
"Karena kamu selesai. Mari kita obati luka di bagian kakimu."
Fabian tidak menolak, apalagi saat Devan menyikap selimut putih tebal dari atas tubuhnya. Fabian baru sadar, kalau jejak merah darah di selimut dan ranjang sudah hilang. Entah kapan dia menggantinya di situasi kakinya yang seperti itu.
"Lihatlah, akibat ulahmu sendiri, kaki mulus ini menjadi lecet dan penuh luka."
"Ah!"
Suara erangan sakit tertahan keluar dari mulutnya. Saat telapak kakinya disentuh oleh tangan Devan. Rasa perih segera menyebar ke bagian atas tubuhnya. Padahal beberapa saat lalu, dia tidak merasakan apapun disana.
"Itu karena kamu tidak memakai alas kaki."
Mendengar pernyataan itu, Fabian menatap tajam Devan. Di situasi seperti semalam, memikirkan alas kaki di waktu sempit itu sama saja dengan membuang waktu. Walaupun pada akhirnya di kembali tertangkap.
"Lain kali, pakailah sandal saat keluar."
"Memangnya kamu akan membiarkanku keluar?"
"..."
"Maka, hentikan harapan kosong itu."
Devan menatap Fabian dalam diam, Fabian membencinya. Dia memalingkan mukanya untuk melihat ke arah lain.
"Itu, bukanlah harapan kosong. Suatu hari ini, jika kamu sudah sepenuhnya menjadi milikku. Aku berjanji akan membawamu keluar."
"..."
Tidak mendapat respon apapun, Devan kembali beralih kepada kedua kaki Fabian. Dia mengambil obat salep dari atas meja dorong, kemudian mengoleskan itu secara perlahan pada kaki Fabian.
"Argh!"
Fabian berusaha menahan sakit, tapi rasa perih itu sulit ditahannya.
"Bertahanlah. Ini tidak akan lama."
Selanjutnya, Devan mengoleskan salep ke seluruh area kakinya. Tidak hanya di bagian kaki kanan yang di rantai, namun di bagian kiri juga.
"Ini akan menjadi terakhir kalinya."
Fabian menoleh saat mendengar Devan mengatakan itu. Dia menaruh salep di tangannya Fabian. Fabian sedikit kebingungan dengan tindakannya.
"Aku menyesal karena tidak bisa merawatmu dengan benar, namun ini adalah keadaan mendesak. Aku akan pergi selama beberapa hari dan tidak akan pulang selama itu."
"Padahal situasimu saat ini kamu butuh bantuan seseorang di sampingmu. Tapi, aku malah harus pergi. Aku sangat marah."
"Oleh karena itu, selama kepergianku, akan akan membiarkan seseorang menemanimu."
Fabian mengerutkan keningnya mendengar hal itu, Devan akan segera pergi dan membiarkan Fabian bersama orang lain? Dia tidak salah dengar kan?
"Jangan berpikir yang tidak-tidak."
Devan seperti bisa langsung membaca pikiran Fabian, dan Fabian sedikit kesal akan hal itu.
"Rencana pelarianmu, dia tidak akan mau membantumu."
Fabian menelan ludahnya dalam-dalam. Lagi pula orang suruhan Devan adalah bawahannya juga. Jadi, sudah dipastikan dia akan patuh terhadap Devan. Kecuali kalau Fabian memang ahli merayunya agar membantunya lolos dari sini.
"Heri, masuklah."
Kedua bola mata Fabian terkejut mendengar nama itu. Setelahnya seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam, masuk ke dalam penjara. Di ruangan yang biasanya ada 2 orang, sekarang bertambah satu orang lagi.
Fabian tidak bisa bertemu dengan matanya secara langsung, karena Heri, pria itu tengah memakai kacamata hitam. Bagian tubuhnya yang terekspos hanya setengah wajahnya saja.
"...dia?"
"Ya, itu adalah Heri, mantan suruhanmu dulu."
"Tapi, kenapa?"
Padahal terakhir kali mereka bertemu, Fabian mengirimkan sejumlah uang serta tawaran pekerjaan di perusahaan milik ayahnya. Walaupun setelah itu dia tidak mendengar kabar apapun lagi dari Heri, Fabian yakin pria itu menerima tawaran pekerjaannya atau bekerja di tempat lain.
Tapi dia bekerja dengan Devan?
"... sejak kapan?"
Fabian menatap Devan, dia merasa ingin marah. Tapi apapun kata-kata kasar yang terlontar dari mulutnya, Devan tidak akan bergeming apapun.
"Heri, temani Fabian selama 3 hari aku tidak ada disini. Rawat dia dengan baik. Apapun yang diinginkannya, turutilah. Tentu saja, kecuali melepaskannya. Kau mengerti."
"Siap, Tuan Devan. Saya mengerti."
Heri, pria itu langsung mengangguk pelan. Devan kemudian datang untuk memeluk Fabian. Tapi, Fabian sudah lebih dahulu mendorongnya.
"Pergilah!"
Devan hanya tersenyum tipis, kemudian dia berusaha berdiri menggunakan tongkat yang dimilikinya. Sebelum benar-benar pergi, dia mencium bagian atas kepala Fabian dan membelainya dengan lembut.
"Baik-baik di rumah. Dan jangan berpikir untuk pergi."
Setelahnya, Devan dibantu oleh Heri. Mereka berdua keluar secara bersamaan. Meninggalkan Fabian dengan semua pertanyaan yang belum terjawab sama sekali.
"Tidak, apa mungkin sejak hari itu aku memergoki Heri, dia telah menjadi bawahan Devan?"
Itu mungkin saja, karena aneh bagi Heri untuk mengikutinya. Dan apa mungkin dia juga lah orang suruhan Devan untuk memantau Fabian di Inggris. Mengintainya selama 4 tahun terakhir ini dan melaporkan semua gerak geriknya kepada Devan.
"Sialan!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
Viễn tưởngFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...