Tidak mau membuang setiap detik yang berharga.
Fabian segera mengambil jas Devan yang tergeletak di atas kasur. Dia merogoh sesuatu dari dalam sana. Wajahnya menyeringai saat menemukan barang yang paling penting ini.
"Pria bodoh!"
Fabian berseru kesal menatap Devan yang berbaring tidak berdaya di atas kasurnya. Darah segar dari bagian tangan dan kakinya sudah bercucuran kebawah, jejak merah tercetak di atas ranjang putih. Dia meringis kesakitan berkat tusukan beling dari Fabian.
Mengabaikan tangan dirinya yang juga berdarah akibat memegang beling yang tajam, Fabian segera berlari menuju pintu depan. Dengan kunci yang dimilikinya ini. Dia bisa keluar dengan mudah.
"Fabian."
Suara lemah dari belakang memanggil Fabian, tapi dia tidak mau mendengar itu. Suara klik terdengar setelah Fabian membuka kunci pintu dengan benar.
Setelahnya Fabian lari keluar dari ruangan pengap itu. Dia menyusuri lorong gelap di depannya. Mencari jalan keluar dari tempat ini. Saat melihat tangga di bawah sana, dia segera turun ke bawah melewati rumah besar namun sedikit gelap ini. Hanya ada satu lampu remang yang menyala. Walaupun begitu, dia terus berlari.
Melihat jendela besar disampingnya, Fabian dapat melihat area di luar rumah yang sudah gelap. Tampaknya ini sudah malam hari. Bersama dengan hujan ringan yang turun.
Menemukan pintu di samping jendela besar, Fabian segera membukanya. Berharap ini tidak terkunci.
"Ini terbuka!"
Fabian segera berlari keluar, melewati taman menggunakan jalan setapak dari batu. Menuju gerbang besar dan tinggi di depan sana. Untungnya gerbang itu sedikit terbuka. Gemboknya tidak mengunci. Jadi, Fabian bisa melewatinya dengan mudah.
Hanya saja, jalanan di depannya tampak tidak biasa. Jalanannya begitu sepi. Bahkan tidak ada satupun lampu jalan yang menyala. Tidak ditemukan juga rumah penduduk di sekitarnya.
Seolah-olah rumah tempat Fabian dikurung berada di tengah hutan. Jauh dari pemukiman penduduk. Mendapati kesulitan seperti ini, Fabian tidak mau menyerah.
"Lebih baik aku tidak menyusuri jalan gelap ini."
Itu, karena mungkin nanti Devan bisa saja mencari Fabian ke arah sana. Fabian akhirnya memilih hutan lebat di seberang jalan. Walaupun itu medan berat, apalagi sekarang tengah hujan dan penerangan hanya berasal dari bulan di atas sana.
"Aku rasa ini pilihan tepat."
Dia segera berlari ke dalam hutan tersebut. Karena dengan begitu, Devan akan kesulitan mencari jejaknya. Fabian tahu dirinya tidak mungkin bisa sepenuhnya melarikan diri dari Devan. Jadi, setidaknya sampai malam ini, dia hanya perlu bersembunyi.
Jangan sampai Devan menemukannya.
Itu adalah hal yang penting saat ini. Jadi, Fabian terus masuk ke dalam hutan lebat, gelap, dingin dan basah. Kaki telangjangnya yang terus berlarian di atas medan hutan mulai merasakan sakit.
Fabian yakin, kalau kakinya sudah lecet. Karena dia beberapa kali tidak sengaja menginjak ranting yang tajam. Ataupun kakinya tersandung batu karena jarak pandang yang terbatas.
Walaupun begitu, ini bukan waktunya menyerah!
Karena Fabian tidak tahu Devan akan segera mencarinya. Yang Fabian lakukan hanya dengan mencegah Devan mencarinya dengan cepat. Dia berusaha mengulur waktu.
"Hutan ini benar-benar menyeramkan."
Bukan hanya banyak pohon besar yang lebat, namun sesekali terdengar suara hewan. Fabian sedikit merinding. Selain itu, tubuh bagian bawahnya tidak memakai apapun.
Dia tadi tidak sempat memakai celana karena terlalu sibuk untuk melarikan diri. Karena Fabian tahu dia tidak mungkin akan mendapatkan kesempatan seperti ini.
"Aku sudah merencanakannya sejak awal."
Setiap kali dia ditinggalkan Devan, Fabian sebenarnya tidak diam begitu saja. Di dalam otaknya dia sudah menyusun berbagai rencana pelarian. Dia hanya fokus bagaimana cara agar kakinya terlepas dari rantai dan selanjutnya adalah mengambil kunci.
"Ah, sial. Kenapa hujannya turun semakin lebat!"
Hujan dari langit malam semakin deras, tidak hanya membuat jarak pandang menjadi lebih sempit, tanah yang di pijaknya juga semakin licin. Jika Fabian tidak hati-hati mungkin dia sudah tergelincir. Dan Fabian tidak tahu apa yang menunggunya di bawah sana jika itu terjadi.
Fabian masih terus berlari tanpa arah, dia berlari sebisa mungkin. Walaupun tenaganya sudah hampir kehabisan, dia tidak mau menyerah begitu saja.
"Fabian?"
Suara dari suatu tempat menghentikan Fabian, dia menoleh ke segala arah. Tapi, tidak menemukan dengan jelas sumber suara tersebut. Tapi, Fabian sangat yakin kalau itu adalah suara Devan!
"Tapi, bagaimana dia bisa secepat ini?" Gumam Fabian dengan sangat pelan.
Fabian tidak bisa terus berlari, dia yakin dengan begitu, Devan akan segera menemukannya. Apalagi hujan juga tidak mau berhenti. Pilihan sekarang ini adalah bersembunyi dari hujan dan Devan.
Tampaknya, tuhan tengah berbaik hati kepada Fabian. Di bawah sana, Fabian menemukan gundukan batu. Saat dia berusaha untuk turun, dia sedikit tergelincir, namun untungnya dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Fabian, kamu dimana?"
Entah kenapa, suara itu terdengar sangat menyeramkan. Layaknya seorang pembunuh berantai dalam film horor-thriller. Membuat bulu kuduk Fabian berdiri.
Di antara gundukan batu, terdapat sebuah celah kecil. Fabian berjongkok agar tubuhnya bisa masuk di celah sempit tersebut. Untungnya, area itu tidak terkena hujan. Jadi, Fabian bisa sedikit merasa lega.
Bersembunyi dari hujan adalah satu hal, dan bersembunyi dari Devan adalah hal lain. Fabian pun berusaha untuk tidak membuat suara apapun. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Berharap suara nafasnya pun tidak terdengar oleh dirinya sendiri.
"Fabian, keluarkah. Sedari aku masih berkata dengan baik."
Suara itu tepat berada diatas Fabian!
Devan sepertinya tengah menginjak gundukan batu tempat Fabian bersembunyi. Fabian melotot terkejut. Jantungnya sudah berdegup kencang. Di waktu seperti dia bahkan khawatir kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh Devan.
Fabian menutup matanya rapat-rapat sambil berharap Devan akan segera pergi.
Setelahnya Fabian samar-samar mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Tapi, Fabian tidak mau senang dulu. Dia tetap diam sampai akhirnya hujan juga perlahan mulai berhenti.
Dari atas batu, air hujan perlahan menetes ke tanah, Fabian yakin sekarang waktu sudah lama berlalu. Dan dia tidak melihat tanda-tanda Devan masih di sekitar area ini. Fabian sedikit merasa lega sekarang.
Untuk saat ini dia akan bertahan disini, sebelum akhirnya sinar mentari pagi akan menarangi jalannya. Di waktu itulah dia akan melarikan diri sejauh mungkin.
"Ketemu."
Suara hangat dan ramah itu datang bersamaan dengan tubuh yang basah kuyup oleh air hujan. Senyumannya di dalam kegelapan lebih seperti iblis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be ContinuedAuthor Note : Jujur di bagian akhir, aku bayangin wajah Devan kayak setan. Serem banget😔
***
Semuanya, aku mau istirahat dulu selama dua hari kedepan. Jadi, selama itu aku tidak akan upload chapter baru. Maaf ya harus membuat kalian digantung kembali.
Aku akan kembali di hari Senin. Sampai jumpa nanti😊
Love yall🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...