Bagian#53

12.5K 1.1K 89
                                    

Fabian muak!

Dia membanting pintu penumpang disamping tubuhnya. Namun, sebelum dirinya turun dari mobil, tangan Philip segera menahannya.

"Jangan pergi!"

"Lepaskan! Kau bajingan sama saja!"

Fabian berteriak keras, dia begitu frustasi dan marah. Menatap tajam ke arah Philip, giginya berderit dan kedua tangannya mengepal dengan keras.

"Ikutlah bersamaku, aku akan menolongmu—"

Belum sempat Philip menyelesaikan kalimatnya, Fabian segera memukul kepala Philip, lalu membanting pintu mobil dengan keras.

Di jalanan sepi, dimana hanya ada dirinya, Fabian segera berlari. Menyusuri jalan tanah yang mulai menurun. Dia tidak yakin apa yang akan menyambutnya di bawah sana, tapi Fabian harap itu akan menjadi perumahan warga.

Atau, setidaknya dia akan bertemu seseorang. Siapapun itu, dia butuh bantuan. Karena, dia tidak punya alat komunikasi untuk meminta bantuan. Entah itu keluarganya atau kepolisian sekalipun.

"Fabian, berhenti lah!"

Fabian meringis mendengar suara Philip di belakangnya, larinya begitu cepat. Hampir bisa menyusul Fabian. Mungkin itu memang keahlian yang dikembangkan seorang penguntit. Bergerak cepat dan gesit memantau targetnya.

Pesan dari otak Fabian menyuruhnya untuk segera berhenti, tapi karena tubuhnya sedari tadi berlari, dia cukup kesulitan untuk berhenti. Alhasil dia kehilangan keseimbangannya dan jatuh dalam pelukan seseorang.

"Aku menangkapmu."

Fabian melotot terkejut, kaki kanannya segera menginjak bekas luka tusukan di kaki orang yang memegang tubuhnya.

"Aww!"

Devan berseru keras karena luka lama yang hampir sembuh kembali terkena injakan keras dari Fabian. Fabian mundur beberapa meter kebelakang, menatap kaget Devan yang berdiri di depannya bersama mobil hitamnya yang terparkir.

"... bagaimana bisa?"

Padahal, beberapa waktu lalu dia masih ada di belakangnya. Namun, sekarang ini dia sudah ada di depan sini? Selama ini Fabian yakin, tidak ada satupun orang atau mobil yang melewatinya. Dia seperti hantu.

"Tebaklah."

Fabian menggigit bagian dalam mulutnya, dia tidak bisa lari ke depan. Devan dan mobil besarnya itu menghalangi jalan. Selain itu, jika dia berlari ke belakang, dia akan tertangkap oleh Philip.

Pilihan lain adalah kembali ke hutan, tapi mengingat medan yang pernah dirasakannya, itu juga bukan keputusan bagus.

Namun, tiba-tiba tubuh Philip berdiri di depannya, dia seperti orang yang tengah melindungi Fabian. Dia menatap kesal ke arah Devan.

"Kau sudah keterlaluan Devan. Biarkan Fabian pergi!"

Devan bersandar pada bagian depan mobil, pakaian yang serba hitam yang melekat di tubuhnya membawa aura mengintimidasi. Fabian mengakui kalau dia saat ini cukup ketakutan.

"Oh, jadi ini rencana kalian bertiga. Cukup mengesankan."

"Sudah cukup, Devan!"

"Aku menyesali diriku karena tidak menghukum kalian berdua dengan benar sebelumnya. Namun, itu tidak masalah. Lagipula, Heri, pengkhianat itu sudah mendapatkan balasan yang setimpal atas tindakannya. Nah, karena dia sudah selesai, sekarang gilirannya dirimu, kan?"

Devan gila!

"Berhenti bicara, sekarang lawanmu adalah diriku."

Terlepas Philip adalah seorang bule, ternyata aksen bahasa Indonesianya tidak begitu buruk. Fabian benar-benar merasa dibodohi oleh Philip.

Oleh karena itu, untuk apa dia tetap diam berlindung di balik tubuh Philip. Karena mereka berdua sama saja. Fabian mengabaikan mereka berdua dan segera memutari mobil dan Devan menggunakan jalan hutan.

Fabian yakin, kalau tatapan keduanya tengah mengarah kepadanya. Tapi, Fabian segera mengabaikan itu. Dia mengabaikan mereka berdua dan kembali lari di jalanan.

Namun semakin lama dia berlari, dia hanya menemukan jalan yang tidak berujung. Apalagi saat mendengar suara tembakan lain dari belakang tubuhnya.

Burung-burung di atas sana langsung terbang secara sembarangan karena ketakutan oleh suara tembakan itu. Bahkan alam pun merasa tidak senang.

Di situasi seperti ini, dia menemukan beberapa rumah tua di bawah sana. Fabian sedikit merasa lega karena telah menemukan rumah penduduk. Entah berapa jauh dia sudah berlari.

Tidak mau menyia-nyiakan waktu, Fabian segera turun ke bawah, sekalipun dia harus berguling di atas tanah menuju ke bawah. Untung saja dari bagian jalan atas menuju ke bawah tidak terlalu tinggi, dia segera mengetuk pintu berharap ada penduduk.

Namun sialnya, itu rumah tidak berpenghuni.

Saat dia mengecek ke beberapa rumah lain, itu sama saja. Tampaknya itu adalah rumah yang ditinggalkan dalam waktu lama. Karena banyak rerumputan liar yang tumbuh bebas.

"Fabian, apa kamu ada di bawah sana?"

Fabian menghela nafas kesal, Devan tepat berada di atas jalan sana. Fabian tetap diam di tempatnya, berusaha untuk tidak membuat gerakan atau suara sekecil apapun.

"Padahal kemarin kamu bilang tidak akan pernah pergi lagi. Kenapa kamu berbohong, Fabian?"

Hanya ada suara angin yang menjawab, Fabian masih tetap bersembunyi di salah satu rumah bilik yang lusuh.

"Sekarang kembalilah kepadaku. Sedari aku bicara baik-baik."

Fabian memilih untuk berlari lagi, samar-samar di belakangnya dia mendengar suara Devan yang mengeluh, "Jangan menyesali pilihanmu."

Fabian terus berlari turun, melewati area hutan lagi. Karena selain rumah kosong yang ditemukannya, dia tidak menemukan rumah lagi. Selain itu, dia tidak menemukan satupun orang.

Apakah area ini tidak berpenghuni atau semacamnya? Itu karena Fabian tidak bertemu dengan orang lain. Sepanjang dia menuruni hutan yang terjal itu, beberapa kali kakinya tergores, tapi dia tidak memperdulikan itu. Dia sudah sejauh ini melarikan, tidak mau berbalik arah lagi.

Naas, nasib buruk kembali menimpanya. Dia terperosok ke bawah, tubuhnya berguling-guling. Hingga akhirnya dirinya jatuh di tanah yang datar.

Rasa sakit terasa di seluruh tubuhnya yang rusak, dia merasa tidak berdaya. Di situasi seperti ini, Fabian merasa kalau dia sebaiknya mati saja daripada terus hidup dan dikejar oleh Devan.

Apalagi saat ada mobil yang tiba-tiba berhenti di depannya, seseorang keluar dan mendekat ke arahnya. Fabian tidak tahu siapa itu karena dia tidak melihat wajahnya. Hanya sepatunya yang hitam mengkilap yang terlihat.

"F-fabian?"

Itu bukanlah suara Devan, tapi dia familiar dengan suara hangat dan khawatir yang sudah lama tidak didengarnya itu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

Author Note : Kira-kira siapa lagi itu?

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang