Muntahan air keluar dari mulut Fabian.
Fabian yang tiba-tiba bangun masih merasa syok, jantungnya berdebar dengan kencang, tubuhnya basah, kedinginan dan kepala yang pusing. Saat ini dia masih mencerna apa yang barusan terjadi.
Tapi, kepalanya yang berat menyuruhnya untuk berhenti berpikir terlalu dalam.
"Fabian? Kamu bisa dengar aku?"
Suara tersebut masih samar-samar terdengar oleh Fabian, matanya masih kabur oleh air. Selama beberapa saat, Fabian berusaha memulihkan kesadarannya secara penuh.
"Fabian?"
Baru, di panggilan itulah Fabian bisa sadar penuh. Dia menatap Axel yang ternyata sudah ada di dekatnya. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Dia datang berjongkok di depan Fabian. Memegang pipinya sambil berkata.
"Kamu dingin."
Setelahnya, Axel melepaskan jas miliknya dan menaruh itu di tubuh Fabian. Perasaan hangat langsung menyerbu tubuh Fabian yang dingin.
"Apa yang terjadi kepadamu? Kenapa kamu bisa tiba-tiba jatuh ke dalam danau?"
"Itu—"
"Fabian!"
Belum sempat Fabian menjawab, Devan dengan pakaian basahnya mendekat. Walaupun air bercucuran dari atas kepala dan turun melewati wajahnya, hal itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
"Kau benar-benar tidak punya hati! Bagaimana bisa kau dengan sengaja mencelakai Laura!"
Suara keras Devan itu membuat banyak mahasiswa yang berkumpul di sekitar mereka melotot terkejut. Mereka mulai berbisik-bisik, mengabaikan keadaan Fabian yang sebenarnya dan lebih fokus dengan amarah Devan.
"Hei, jangan menuduh yang sembarangan!"
Axel berseru keras kepada Devan, Devan yang tidak senang segera mendorong tubuh Axel secara asal-asalan.
"Menyingkirlah dari hadapanku!"
Tidak tinggal diam, Axel datang kepada Devan, namun bogeman mentah langsung mendarat di pipi Axel. Seketika itu juga semua orang langsung terkesiap. Tidak menyangka Devan yang menjadi idola semua orang memukul idola baru dari kalangan dosen.
"Jangan ikut campur!"
Setelah itu, Devan segera menarik tubuh Fabian untuk berdiri. Dia memegang kedua kerah baju Fabian, membuat Fabian secara tidak langsung dicekik oleh Devan. Fabian yang masih lemas, benar-benar tidak berdaya di bawah tatapan dingin Devan.
"Aku tidak menyangka kau sampai hati melakukan hal semacam ini! Kau tahu ini kelakuanmu yang paling rendahan!"
"Menyakiti orang yang sama sekali tidak bersalah apapun—"
"Cukup!"
Fabian akhirnya buka mulut, walaupun ada banyak mahasiswa di sekitar mereka, tidak ada satupun yang berusaha memisahkan keributan ini. Mereka hanyalah manusia yang menikmati drama ini sambil merekam dengan kamera ponselnya. Mungkin, rekaman itu akan mereka sebar di suatu tempat.
Para manusia yang tidak memiliki simpati. Hanya peduli dengan konten saja.
"Jangan menuduh Fabian, memangnya kau punya bukti kalau dia yang melakukannya?."
Axel datang mendekat dan memegang bahu Devan, berusaha agar Devan melepaskan Fabian dari genggamannya. Namun Devan sama sekali tidak menanggapi Axel.
"Bukti? Kau pasti bercanda disini?"
"Iya, kau menuduh Fabian tanpa bukti! Apa yang mendasari keyakinan atas pernyataanmu itu?"
"Tidak peduli."
Jawaban singkat itu terasa dingin dan mencekam untuk beberapa alasan.
"Bukti? Ini semua sudah menjadi bukti yang sangat jelas. Tanpa perlu saksi pun, sudah jelas semua orang tahu kalau dia adalah pelakunya! Ini memang lah tabiat aslinya! Saat ini kau belum saja melihat kelakuan aslinya yang bejat itu! Mungkin kau akan menjadi korban dia selanjutnya. Layaknya apa yang dia lakukan kepada diriku dan Laura."
"Tidak. Fabian tidak seperti itu. Kau sendiri lah yang membuatnya menjadi seperti ini."
Devan mendengus pelan, merasa apa yang dikatakan Axel adalah sebuah bualan besar. Dia meremehkan Axel dengan tatapannya, kemudian, sekali lagi bogeman mentah mendarat di perut Axel, lalu tendangan beberapa kali menghantam perut Axel.
"Devan, hentikan!"
Fabian berteriak keras kemudian memegang Devan. Dia memeluk Devan dari belakang. Berusaha menghentikan ini. Axel sudah banyak membantunya. Dia bahkan sudah membela Fabian. Hal yang tidak pernah Fabian terima dari Devan.
"Tidak perlu membawa orang lain dalam urusan kita."
Baru saat itulah Devan berhenti, darah keluar dari mulut Axel. Dia meringkuk tidak berdaya di bawah sana. Dan masih tidak ada siapapun yang mau melaporkan kejadian ini.
Devan sudah benar-benar keterlaluan kali ini. Oke, kalau dia memarahi atau menyalahkan Fabian. Tapi tidak dengan menyakiti orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua.
Tidak jauh dari mereka, Laura tengah duduk sambil merungkuk kedinginan. Dia diselimuti oleh kain agar menjaga tubuhnya tetap hangat. Terlihat menyedihkan.
"Bisakah kamu mempercayaiku?""Setelah apa yang kamu lakukan kepadanya?"
Mendengar jawaban yang sama seperti di kehidupan pertama, Fabian menelan pil pahitnya. Tampaknya, apapun alasan yang dia katakan, Devan dulu dan saat ini masih sama saja.
"Tampaknya, kalian memang sama saja."
Suara Fabian bergetar, senyumannya getir. Menatap nanar Devan. Merasa sia-sia apa yang selama ini dilakukannya.
"Kalau aku bilang, Laura sendiri lah yang menyeretku ke danau, kau pasti tidak akan percaya, akan?"
"Kau gila ya?!"
"Haah!"
Sama seperti kejadian di laut kala itu, Laura dengan sengaja menjatuhkan dirinya ke dalam Laut. Dan berakhir Fabian yang disalahkan. Menjadi pusat pelampiasan Devan tanpa hentinya. Selalu disalahkan tidak akhirnya.
Dan kejadian ini pun kembali terulang.
"Tapi, kali ini Laura masih selamat, kan?"
"..."
"Tidak seperti dulu. Mayatnya sama sekali tidak pernah ditemukan. Kau beruntung kali ini, dia masih hidu—"
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Fabian. Tubuhnya langsung membeku begitu saja. Dia memegang pipinya yang terasa sakit dan menyengat itu. Lalu menatap Devan secara perlahan. Begitu saja, air mata jatuh dari kedua matanya.
"Setidaknya, Devan yang aku kenal tidak akan pernah tega menamparku."
Fabian berusaha untuk tidak menangis, namun dia tidak bisa menahannya lagi. Dibandingkan pipinya yang sakit, hatinya jauh lebih sakit dan hancur. Fabian menutup matanya dalam-dalam, menahan nafasnya lalu perlahan membukanya kembali.
Melihat orang-orang di sekelilingnya, Fabian menyeringai pelan dan berteriak dengan keras, "Dengar semuanya. Pria ini, yang kalian puja puji itu tidak sesempurna yang kalian kira. Dia adalah pria brengsek, suka sembarangan mencium orang lain ketika dirinya jelas-jelas punya kekasih. Selain itu, dia orang denial yang tidak mengakui dirinya kalau tidak bisa melepaskan diriku. Dia benar-benar cowok bajingan yang plin-plan."
Setelahnya Fabian menatap Devan dengan dingin lalu berkata, "Aku berhenti menyukaimu. Dan mulai membencimu."
"Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi!"
"Tidak sekarang ini atau masa depan sekalipun!"
Dengan begitu, Fabian pun mendorong tubuh Devan agar terjerembab ke dalam danau. Seperti yang dilakukan Laura kepada dirinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...