"Enyahlah!"
Fabian dengan kasar mendorong tubuh Devan agar lepas dari tubuhnya. Namun, walaupun dengan dorongan sekuat tenaga dari Fabian, Devan tidak banyak berkutik. Dia hanya mundur satu langkah ke belakang. Dorongan keras itu tidak membuat tubuhnya runtuh ke belakang.
"Seperti yang aku prediksi. Kamu tidak ingin memelukku. Itu benar-benar menyakiti hatiku."
"Siapa pula yang mau berpelukan dengan orang yang aku benci!"
"Tapi aku tidak membencimu."
Raut wajah sedih itu, Fabian benar-benar tidak nyaman melihatnya. Alhasil dia memilih menatap ke arah lain. Namun, satu tangan besar dan kasar segera memegang rahang wajahnya begitu erat.
Menggerakkan kepalanya agar kembali menatap Devan yang tersenyum begitu lembut. Sungguh aneh dan terlihat kaku di wajah dinginnya itu.
"Kalau kamu tidak mau menatapku, apa gunanya aku membawamu kesini. Ini akan menjadi sia-sia."
Devan berusaha tersenyum dengan ramah, walaupun jelas-jelas kelakuannya saat itu cukup kasar. Tangan kanan di rahang Fabian dan tangan lain memegang sepasang tangan Fabian di bawah sana.
Selama beberapa saat, mata mereka bertemu dalam waktu yang Fabian tidak tahu. Mereka seolah tengah menyelam ke dalam sana. Mengulik semua masa lalu yang berusaha dilupakan dan masa lalu yang selalu dikenang.
Bugh!
Fabian menendang keras perut Devan dengan kaki kirinya. Berkat tendangan itu, Devan langsung mundur 2 langkah sambil setengah membungkuk dan memegang perutnya.
Seringaian puas terpatri di wajah Fabian. Dengusan pelan keluar dari mulutnya. Merasa bangga atas tindakannya ini. Walaupun dia sudah lama tidak berlatih bela diri, setidaknya dia masih mengingat tekniknya.
"Tendanganmu cukup kuat, aku suka."
Devan langsung berdiri dengan tegak, seolah tendangan tadi tidak ada apa-apa baginya.
"Aku suka dirimu yang ganas ini. Tapi, aku lebih merindukan sisi dirimu yang terobsesi denganku."
"Setelah semua perlakuanmu kepadaku di masa lalu? Kau masih saja mengharapkanmu terobsesi denganmu? Dasar pria NARSIS!"
Devan malah terkekeh pelan mendengar omelannya, "Aku suka panggilan itu."
Setelahnya Devan seperti mendapatkan pesan dari seseorang. Dia mengecek ponselnya beberapa saat sebelum memasukkannya lagi ke bagian dalam jas kanannya.
Kalau saja Fabian tahu dia membawa itu disana, dia pasti tadi akan mengambilnya. Fabian mengeluh pelan.
"Baiklah. Reuni kita hari ini tampaknya harus berhenti sampai sekarang. Sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu denganmu. Tapi, aku harus pergi. Sayang sekali."
"Aku tidak peduli! Kau enyahlah dari sini!"
Tanpa membalas, Devan membuka pintu, setelah mengeluarkan sesuatu dari jas miliknya. Saat pintu terbuka dia melangkah keluar dan membiarkan pintu sedikit terbuka.
Rasanya kedua kakinya ingin berlari kesana, namun rantai di bawah sana sudah lebih dahulu menghentikan pikiran itu. Kalau saja dia tidak memakai rantai. Tapi, Fabian yakin Devan tidak akan mau membiarkannya
Kemudian Devan kembali masuk sambil membawa satu piring berisi makanan berat dan satu gelas berisi air putih, dia menaruh keduanya di atas lemari samping ranjang tempat tidur.
"Makanlah dengan lahap. Aku tahu kamu pasti lapar kan."
Namun, Fabian tanpa pikir panjang langsung mengambil piring dan gelas itu dan membuangnya ke lantai.
"Aku tidak mau!"
"Pergi kau!"
"Pria gila!"
Devan hanya balas tersenyum melihat lantai yang sudah berserakan makanan dan minuman. Pecahan beling yang berasal dari gelas dan piring juga membuat lantai semakin berantakan.
"Padahal aku memasak ini dengan sepenuh hati."
"AKU TIDAK BUTUH ITU!"
"Ya, sudah. Mungkin kamu memang belum terbiasa disini."
"AKU TIDAK MAU TERBIASA!"
"Hentikan teriak itu, aku yakin kamu sudah lelah. Beristirahatlah dengan baik sampai aku kembali."
Setelahnya Devan pergi keluar dan benar-benar menutup pintu secara rapat. Fabian di tempatnya langsung runtuh ke bawah lantai. Mendapati kenyataan pahit ini semua.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Fabian tidak tahu itu. Apakah langit di luar tengah terang, beranjak berwarna jingga ataupun sudah sepenuhnya berwarna gelap. Perasaan tidak tahu waktu sekarang, membuat Fabian benar-benar tidak nyaman.
Perasaan gelisah semakin menggerogoti hatinya.
Apalagi fakta dia tidak bisa menghubungi keluarganya pun semakin membuatnya khawatir. Dia tidak tahu dengan keadaan mereka. Bertanya kepada Devan sama saja bohong. Dia sendiri yang menculik Fabian dan mengurungnya.
Tidak mungkin dia mau berbagi informasi tentang keluarganya.
Lebih dari itu, Fabian mulai merasa lapar. Dia menatap pecahan beling dan makanan yang masih berserakan di lantai. Dia jadi merasa menyesal atas tindakannya tadi. Dia telah menyia-nyiakan makanan yang entah kapan Devan akan memberikannya lagi.
Fabian mengeluh pelan, dia menatap ke samping, di sebelah sana ada sebuah pintu. Fabian yakin itu adalah kamar mandi. Saat dia turun dari ranjang dan mendekati kamar mandi, ternyata dia bisa masuk ke dalam sana.
Hanya saja, itu terbatas sampai dekat wastafel dan toilet. Jika dia hendak menuju bathtub untuk mandi, dia cukup kesulitan. Fabian akhirnya berdiri di depan wastafel tanpa kaca. Dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan wajahnya saat ini.
Tapi, yang pasti dia perlu menjernihkan pikirannya yang sudah kacau ini.
Setelah melihat sekeliling untuk mencari tempat pelarian, itu semua nihil. Bahkan lubang udara di atap hanya seukuran lengannya saja. Mustahil bagi tubuhnya untuk melewati lubang sekecil itu.
Fabian menghela nafas kecewa kemudian keluar dari kamar mandi dan menatap pintu di depan sana. Itulah satu-satunya jalan keluar dari sini. Hanya saja, rantai di bawah sudah menahannya terlebih dahulu.
Karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, Fabian berdiam diri di atas ranjang sambil menaruh kepalanya diatas lutut kakinya. Menatap pintu itu dalam waktu lama dan menimbang-nimbang apakah Devan akan kembali.
Tidak berlangsung lama, knop pintu itu perlahan bergerak. Dan sosok bertubuh tinggi dengan aura mengintimidasi datang bersamanya sapaan dan senyuman cerah miliknya.
"Kamu menungguku?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasíaFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...