Bagian#34

21.6K 1.9K 29
                                    

Semuanya, boleh minta waktunya sebentar🥹

Kalau kalian suka cerita ini, bisa bantu follow akun wattpad aku, ga?

Terima kasih sebelumnya ya🤗

Happy reading🌷
________________________________

Menu pagi ini sangatlah sederhana, hanya ada bacon, telur mata sapi, sosis dan segelas kopi. Tidak butuh waktu lama bagi Fabian untuk menyelesaikan semua ini. Berbeda dengan Philip yang cukup kewalahan membersihkan apartemen kecil ini.

Fabian menaruh dua piring dan dua gelas di atas meja makan, kemudian dari dapur dia memanggil Philip untuk datang.

"Philip, kemarilah. Aku sudah selesai membuat sarapan."

Layaknya guntur yang datang dengan cepat, Philip langsung berada di dapur. Keringat bercucuran dari atas kepalanya. Padahal cuaca masih sangat dingin.

"Apakah sudah selesai tuan?"

Philip duduk di kursi makan, menatap Fabian dengan mata besarnya. Mata biru itu terlihat memukau, namun memiliki sisi misterius dan dingin. Fabian menarik kursi dan duduk di atasnya.

"Ya, makanlah."

"Terima kasih, tuan!"

Setelahnya, Philip dengan lahap makan, Fabian hanya menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya pelan. Mungkin sudah dua tahun lebih dia dan Philip saling mengenal satu sama lain.

Philip adalah tetangga Fabian, apartemen miliknya ada di seberang milik Fabian. Mereka berdua juga adalah orang yang hanya tinggal di lantai 5 ini. Tidak ada penghuni lain selain mereka. Selain itu, umur mereka juga tidak terlalu jauh berbeda.

Mungkin karena itulah mereka berdua menjadi cepat akrab. Awalnya mereka hanya menyapa satu-sama lain ketika tidak sengaja berpapasan ataupun pergi ke minimarket terdekat.

Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi dekat kepada satu sama lain.

Philip pun jadi sering menghabiskan waktu di apartemen Fabian, seperti saat ini.

"Aku selesai!"

Secepat kilat dia telah menyelesaikan makanannya, di sisi lain Fabian bahkan belum  menyentuh makanannya sama sekali.

"Apa kamu tidak mau memakannya?"

"Kenapa? Kamu masih belum kenyang?"

Dengan malu-malu, Philip mengangguk, "Ya."

Entah kenapa kelakuan Philip yang terkadang memalukan tapi juga terlihat menggemaskan. Padahal dia adalah orang dewasa. Apalagi tubuhnya juga lebih bongsor dibandingkan Fabian. Namun kelakuannya itu tampak seperti anak anjing yang lucu.

"Makanlah. Lagi pula aku juga tidak terlalu berselera."

Fabian mendorong piringnya ke depan Philip, pria itu langsung memyambutnya dengan bahagia. Fabian pun hanya memperhatikannya saja.

Ring~~

Fabian tersentak mendengar alarm dari kamar tidurnya, Fabian beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke dalam kamarnya. Di ponselnya menunjukan kalau ini sudah waktunya Fabian pergi keluar.

Tidak mau membuang waktu lebih lema, Fabian mengganti pakaiannya dengan yang baru, selanjutnya dia menhambil buku dari atas meja dan memasukannya ke dalam tas. Tidak lupa dia juga memakai mantel tebal dan panjang. Melindungi tubuhnya dari cuaca di musim dingin.

Saat keluar, di ruang tamu, Philip tengah bersantai sambil menonton tayangan televisi. Bahkan seleranya seperti anak-anak, menonton kartun.

"Pulanglah ke apartemenmu."

"Tuan, mau pergi?"

"Ya."

"Yahhh, tuan tega kepadaku. Meninggalkanku sendirian."

Philip cemberut dengan wajah kecewanya, Fabian mendorong Philip menuju pintu keluar.

"Kau punya rumah sendiri."

"Tapi, ini adalah rumah keduaku. Kamu adalah tuanku!"

"Hentikan itu! Aku bukan tuanmu! Pokoknya kamu pulang. Kalau kamu tidak mau kesepian, setidaknya cari pekerjaan."

Saat mendengar itu, Philip langsung diam membisu. Fabian jadi merasa bersalah, Philip memang sedikit sensitif soal pekerjaan. Fabian jadi tidak enak hati.

"Baiklah. Kamu bisa tinggal disini. Tapi, jangan membuat rumahku berantakan saat aku tidak ada."

Lagi pula di rumah Fabian tidak memiliki banyak barang-barang yang membuatnya khawatir kalau itu akan menghilang. Selain itu, sejauh ini, Philip terlihat bukan seperti orang yang jahat. Selama mereka kenal 2 tahun ini, kekurangan yang dimiliki oleh Philip hanyalah dia seorang pengangguran.

"Siap, tuan! Aku akan menjaga rumahmu dengan baik! Serahkan itu padaku!"

Philip langsung berubah ceria lagi, Fabian pun sungguh tidak habis pikir. Setelah memakai sepatu, Fabian mendekati pintu dan hendak keluar tapi, Philip di belakang menahannya.

"Tuan, kamu meninggalkan ini."

Sebuah penutup telinga dipakaikan Philip kepada Fabian. Fabian tersenyum tipis, "Terima kasih."

Setelahnya Fabian keluar dari rumah, lalu turun melewati tangga dan saat berada di luar apartemen, angin dingin segera berhembus. Untung saja dia memakai mantel, kalau tidak dia sudah mati membeku.

Butuh waktu 15 menit bagi Fabian untuk mengendarai mobil kecilnya sampai di sebuah akademi kecil di kota tersebut. Sebuah akademi khusus musik dengan jumlah guru dan murid yang tidak begitu banyak.

Akademi itu menggunakan bangunan tua hasil peninggalan zaman dulu, namun, walaupun sudah terlihat tua, bangunan itu masih terawat dengan baik.

Saat Fabian tiba, belum banyak orang yang tiba di akademi ini. Itu karena jam pelajaran akan dimulai sekitar 1 jam mendatang. Apalagi, di luar salju turun semakin lebat. Mungkin orang memilih untuk bertahan di rumahnya dan menunggu hingga salju berhenti turun.

Dari pada membuang waktu, Fabian memilih untuk menghabiskan waktunya bermain piano. Di sebuah sudut ruangan, ada piano tua yang berdiri dengan gagah. Fabian kemudian duduk di kursi.

Jari-jari lentiknya bergerak di atas tombol nada piano, bergerak dengan begitu lembut dan memukau. Suara yang keluar dari tekanan tangannya pun terdengar sangatlah luar biasa.

Fabian tenggelam dalam permainannya, menikmati setiap sentuhan tangannya pada tombol nada dan telinganya yang mendengarkan. Begitu menenangkan.

"Luar biasa!"

Fabian yang baru saja selesai, menoleh ke belakang mendengar suara dari sama. Saat dia berbalik, dia menemukan sosok pria tinggi dan besar, memiliki rambut kecoklatan dan mata berwarna hijau cerah. Rambutnya sedikit bergoyang ketika dia berjalan mendekati Fabian.

"Permainanmu sangat bagus, Fabian."

Fabian segera bangkit dan tersenyum lebar, "Terima kasih untuk pujiannya, Pak William. Tapi, permainan saya tidak sebagus itu. Itu hanya permainan standar."

"Kalau permainanmu begitu biasa, aku tidak mungkin memperkejakanmu disini sebagai instruktur musik."

Fabian merasa malu dengan pujian itu, dia bahkan kesulitan untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Oh Tuhan. Kamu begitu cantik."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang