"Aku memang terobsesi denganmu. Tapi, aku tidak sampai tega membunuh Laura!"
"Memangnya aku percaya itu?"
Fabian langsung diam membisu. Dia menatap Devan yang melihatnya dengan kedua mata sedingin angin malam. Wajahnya begitu gelap bagaikan langit gelap karena tertutup awan hitam.
Suasana sekarang ini begitu dingin, angin dari pesisir pantai berhembus menyelimuti tubuh Fabian dan Devan.
"Aku sungguh tidak akan pernah melakukan hal sekejam itu!" Seru Fabian membela dirinya sekuat tenaga.
Devan melangkah mendekat, hal itu membuat Fabian ketakutan dan otomatis dia melangkah mundur. Aura gelap dan menyeramkan itu, membuat nyali Fabian menjadi jatuh. Dia tidak lagi berani menatap kedua mata itu.
"Apa kamu tidak punya cermin di rumahmu?"
Suara sarkasme Devan membuat Fabian semakin menunduk. Dia terus melangkah mundur.
Tiba-tiba dagu Fabian ditarik oleh tangan dan diangkat untuk bertatapan dengan kedua mata itu. Kedua mata yang menunjukan kilatan kalau dia telah kehilangan kepercayaan.
"Kamu tidak ingat apa yang kamu telah lakukan kepada Laura selama beberapa tahun terakhir ini?"
Suara Devan begitu tajam terdengar.
"Aku tidak pernah lupa," jawab Fabian sambil menoleh ke arah lain.
Kilatan cahaya petir datang begitu cepat, setelahnya suara guntur datang bergemuruh. Rintik air hujan perlahan jatuh ke atas tanah dan laut.
Devan mendengus, "Tentu saja. Mana mungkin kamu akan lupa. Kamu telah melakukan banyak hal yang menyakiti Laura. Membuatnya dipecat di kantornya, menyebarkan rumor aneh tentangnya atau bahkan membunuhnya."
"Aku tidak pernah membunuhnya!"
Fabian berteriak keras. Tapi, dia rasa, apapun pembelaannya sekarang.Devan sudah tidak lagi mempercayai perkataan Fabian.
Itu semua hanya sia-sia saja.
"Kamu mungkin bisa bebas dari tuduhan dan tidak dipenjara karena pengaruh kedua orang tuamu. Tapi, kamu harus ingat. Kamu tidak akan pernah aku maafkan."
"Percayalah kepadaku,"
Fabian memohon kepada Devan . Wajahnya terlihat menyedihkan.
"Aku tidak akan terpedaya lagi,"
"Devan, aku berusaha untuk menyelamatkan Laura. Tapi, karena aku tidak bisa berenang, aku tidak bisa menyelamatkannya," kata Fabian pelan sambil menunduk.
Devan akhirnya melepaskan tangannya. Dia melangkah mundur.
"Kau tahu! Selama ini aku tutup mata atas perlakuanmu terhadap Laura. Karena aku pikir kau nantinya akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi aku salah, ternyata obsesimu itu membuat dirimu semakin gila!"
Fabian baru kali ini mendengar marah besar kepadanya. Padahal selama 20 tahun mereka bersama, tidak pernah sekalipun marah kepadanya. Dia selalu saja tersenyum dan memperlakukan Fabian dengan baik.
Sekalipun dia telah membuat Laura, kekasihnya, menangis.
"Aku minta maaf."
"Permintaan maafmu tidak akan membuat Laura hidup kembali."
Fabian menatap dengan tatapan nanar, kedua matanya sudah panas dan berair. Namun dia berusaha menjaga agar tidak ada air mata yang jatuh.
"Aku minta maaf untuk semuanya."
Suara Fabian terdengar bersungguh-sungguh. Tidak ada getaran sedikitpun disana. Membuat Devan menoleh dan mereka akhirnya kembali bertatapan.
"Sepertinya ini semua memang salahku,"
Setelah jeda beberapa saat, Fabian melanjutkan.
"Sejak awal seharusnya aku berhenti mencintaimu, ketika kamu terang-terangan menolakku. Aku harusnya sadar diri. Dan bukannya malah menjadi orang gila."
Fabian tersenyum dengan pahit, seolah tengah mengulang masa lalu. Semua kejadian yang berkaitan dengan dirinya dan Devan.
"Aku minta maaf, karena aku, pacarmu, orang yang paling kamu sayangi dan cintai telah meninggal dunia."
"Kamu benar. Obsesi aneh ini membuat diriku menjadi gila."
"Tidak, sejak awal kita seharusnya tidak pernah bertemu."
Hujan deras akhirnya turun membasahi tubuh keduanya. Air hujan itu bercucuran di depan muka Fabian, seolah tengah menyembunyikan air matanya yang jatuh. Senyuman Fabian terlihat sedih, sangat bertolak belakang. Devan yang mendengar itu merasa hatinya sesak dan terganggu. Dan Fabian terus melangkah mundur setiap kali dia berbicara.
"Aku harap kita tidak pernah bertemu lagi."
Devan berbalik melangkah semakin jauh untuk pergi meninggalkan Fabian di belakangnya. Devan merasa aneh, karena Fabian biasanya akan langsung berlari ke arahnya. Mencegahnya untuk pergi dan memohon kepadanya agar Devan memaafkannya.
Devan yang merasa janggal, akhirnya berhenti dan menoleh.
"Apa gunanya kalau aku telah kehilangan kepercayaanmu. Karena itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh apapun."
Itu bukanlah barang atau hal semacamnya. Jika kehilangan kepercayaan, maka habis sudah. Sulit untuk mengembalikan semuanya seperti semula.
"Apalagi kamu sudah tidak mau bertemu lagi denganku,"
Entah kenapa, Devan merasa suara Fabian terdengar tidak berdaya. Seolah telah kehilangan percaya diri.
"Seharusnya aku yang mati, bukannya kekasihmu."
"Jika kehidupan kedua itu ada, aku harap aku tidak akan pernah jatuh cinta kepadamu lagi."
Setelah mengatakan itu, Fabian tersenyum tipis lalu tubuhnya jatuh dari tebing menuju lautan lepas dengan ombak ganas. Bersama-sama dengan air hujan yang dingin.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be ContinuedA/N : Hi semuanya, Aku Teh Bibi/Sun kembali lagi dengan novel baru. Kali ini aku membawa tema mengulang-waktu/kembali-ke-masa-lalu.
Aku tidak akan kasih banyak spoiler bagaimana hubungan Fabian-Devan nantinya. Kalian tunggu saja kelanjutan kisah antara Fabian dan Devan di bagian berikutnya!
Jangan lupa kasih semangat aku dengan cara klik ⭐️ atau komen di bawah ya!
Terima kasih🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...